Belajar Menapaki Kehidupan & Berevolusi Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik.
Mutiara Hati

Visi :
"Menapaki Revolusi Era Baru Bangsa Indonesia Tahun 2045"
Sang Mutiara Hati. Diberdayakan oleh Blogger.
Anda Butuh Training Manajemen, Training SDM, Survey Kepuasan Pelayanan dan Research di Perusahaan Anda?

Saat Melawan Bangsa Sendiri

Oleh : SULARDI


Nasionalisme Indonesia adalah keinginan untuk terlibat dalam pembebasan orang-orang kecil di Indonesia dari eksplorasi kaum kaya-kuasa dalam segala bentuk oleh siapa pun, termasuk oleh oknum/lapisan bangsa Indonesia sendiri (JB Mangunwijaya, 1996).
Setiap generasi mempunyai tantangan berbeda, karena itu diperlukan cara berbeda untuk mengatasinya. Pada tahun 1908 dan tahun 1928, semangat untuk menjadi bangsa dan bersatu melatarbelakangi munculnya kesadaran berbangsa. Hal itu kemudian ditegaskan dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 dengan berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu, yakni Indonesia.
Demikian pula semangat berdikari tahun 1945, memusuhi kolonial dan kolonialisme untuk memerdekakan bangsa. Jika tahun 1908, 1928, dan 1945 melahirkan kesadaran berbangsa yang bersatu dan merdeka, secara jujur harus diakui, reformasi 1998 yang heroik ternyata hanya menghasilkan pergantian penguasa. Substansi reformasi yang begitu mulia gagal diwujudkan.
Kini, spirit kebangsaan diperlukan untuk menghadapi tantangan generasi, yakni melawan diri sendiri. Spirit untuk tetap bersatu sebagai bangsa mandiri pada era perubahan yang begitu cepat harus tetap terjaga guna mewujudkan dan menumbuhkan kembali sisa nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kini tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah situasi ekonomi global yang begitu kuat memengaruhi perilaku kehidupan, gaya hidup, konsumtif, hedonisme, kapitalisme, egoisme, dan situasi dalam keterpurukan ekonomi, kemiskinan, pengangguran, dan kecemasan menghadapi ketidakpastian masa depan.
Bangsa dalam paradokisme
Kini bangsa ini ada dalam situasi paradoks. Pemerintah sebagai sosok yang seharusnya memikirkan dan menyejahterakan rakyat, menciptakan lapangan kerja, serta mencerdaskan rakyat justru sibuk membuat kebijakan yang memiskinkan, menjadikan pekerja menganggur, melakukan pembodohan, dan memikirkan diri sendiri.
Suami menganiaya istri dan ibu membunuh anak adalah paradoks paling tragis sekaligus ironis dalam komunitas bernama keluarga. Kisah inilah yang kerap ditemukan di negeri yang katanya mengedepankan nilai-nilai keluarga yang saling menghormati.
Ekonomi dikabarkan terpuruk. Kemiskinan diberitakan bertambah. Namun, setiap hari ratusan mobil baru terjual, ratusan barang mewah berpindah tangan dari penjual ke pembeli, mal-mal penuh orang yang tertawa dan berbelanja dengan keranjang berlimpah barang, mobil mewah berseliweran memacetkan jalanan, serta restoran mahal penuh dengan kenikmatan konsumen. Dan, ungkapan filsuf Rene Descartes (1596-1650), cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada), dipelesetkan menjadi aku ada karena aku berbelanja.
Paradokisme mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan yang seharusnya membuat pandai telah berubah menjadi teror bagi murid, guru, dan orangtua hanya karena ritual rutin bernama ujian nasional.
Pemerintah, yang seharusnya menampung aspirasi dan keluhan rakyat tentang pendidikan yang sulit, mahal, dan tidak menjamin masa depan, justru tampil seperti manusia keras kepala tanpa telinga, tidak mau mendengar keluhan guru, orangtua siswa, dan pengamat pendidikan perihal ujian nasional.
Paradoks lainnya bertebaran di mana-mana. Hukum yang tanpa keadilan, aparat negara yang tidak mengayomi rakyatnya, dan kekerasan dilakukan atas nama ajaran agama dan lainnya.
Tantangan kebangsaan
Mengingat Boedi Oetomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, proklamasi kemerdekaan RI 1945, dan reformasi 1998 tidak sekadar memutar memori masa lalu untuk dihadirkan hari ini. Mengingat masa lalu adalah menghadirkan spirit agar dapat menata hari ini dan menyiapkan masa depan. Karena itu, diperlukan gagasan besar dan visi jauh ke depan. Nasionalisme nyata hari ini adalah kepedulian atas kemiskinan, kesenjangan, dan kebodohan di tengah globalisasi.
Upaya berpikir dan bekerja dengan fokus mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan serta melawan korupsi adalah nasionalisme yang dibangun pada era abad ke-21 ini.
Mengkritik kebijakan negara yang paradoks dengan visi dan misi negara harus terus dilakukan sehingga menyadarkan pelaku negara untuk membangun bangsa yang kuat dengan mencerdaskan warganya agar bebas dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan.
Musuh kita adalah diri kita sendiri, kebodohan, kemiskinan, dan egoisme.

Sulardi Dosen Universitas Muhammadiyah Malang; Tinggal di Pasuruan, Jatim
Sumber: Kompas Cetak, cetak.kompas.com
0 Komentar untuk " Saat Melawan Bangsa Sendiri "
Back To Top