Dinamika Geopolitik Virtual Indonesia
Ribut Lupiyanto ; Deputi Direktur
C-PubliCA
(Center for Public Capacity Acceleration) -Yogyakarta
HALUAN,
07 April 2014
Dinamika kontentasi elektoral tidak hanya hadir di dunia faktual
melainkan juga jagad virtual. Fenomena ini terjadi seiring dengan
perkembangan dunia teknologi informasi dan komunikasi. Era komunikasi dan
informasi telah menciutkan dunia menjadi seperti desa (global village). Ukuran
geografis menjadi tidak bermakna dengan kehadiran media elektronik dan media
virtual. Lalu lintas komunikasi menjadi tidak terbatas secara ruang dan
waktu.
Kampanye pemilu lazim
digencarkan melalui serangan darat dan udara. Serangan darat adalah metode
kampanye konvensional tetapi diyakini optimal dengan komunikasi langsung.
Serangan udara menjadi metode kontemporer dengan memanfaatkan berbagai
media. Salah satu bentuk media yang paling mutakhir digunakan adalah media
virtual, seperti website dan media sosial.
Warga di dunia maya (nitizenship) meledak keras beberapa
tahun belakangan ini. Kementerian Kominfo RI mencatat pada tahun 2013
pengguna internet mencapai 71,19 juta orang, Facebook 65 juta orang, dan
Twitter 19,5 juta orang di Indonesia. Regulasi kepemiluan juga telah melegalkan
strategi kampanye media virtual.
Peraturan KPU No 01 Tahun 2013 Pasal 20 menegaskan
bahwa kampanye pemilu salah satunya dapat berbentuk layanan pesan singkat dan
jejaring sosial melalui Facebook, Twitter, email, website dan lainnya. Jagad
virtual dengan demikian menjadi medan potensial bagi kampanye berebut
elektoral.
Peta Virtual
Geopolitik virtual merupakan
istilah yang penulis tawarkan untuk mengakomodasi terapan konsep geopolitik
di media virtual. Selama ini geopolitik masih sebatas dikaji dalam konteks
dunia nyata. Geopolitik merupakan bidang kajian kontemporer hasil perkembangan
ilmu geografi politik.
Fokus kajian geopolitik salah
satunya menyangkut dinamika pemilihan umum. Glassner (1993) menyatakan bahwa
ada tiga fokus utama geopolitik pemilu. Pertama, the
geography of voting, yaitu kajian yang menjelaskan
pola dan sebaran suatu hasil pemilu. Kedua, pengaruh faktor geografi dalam
perolehan suara.
Beberapa hal yang masuk di dalamnya adalah isu saat pemilu,
kandidat/calon, pengaruh kampanye, serta the neighborhood effect (efek ketetanggaan) atau hubungan antara hasil pemilu dengan
rumah sang kandidat. Ketiga, geografi perwakilan, yaitu mencermati
bagaimana sistem representasi atau sistem pemilu yang dipakai dalam sebuah
wilayah.
Geopolitik virtual dapat
dipetakan berbasis aktivitas maya yang bersinggunan dengan partai politik
(parpol), calon legislator (caleg), atau politisi. Aktivitas maya tersebut
dapat dilacak di media sosial, seperti Facebook dan Twitter serta website.
Peta geopolitik virtual ditunjukkan melalui jumlah kunjungan website, tingkat
keseringan menjadi bahan perbincangan, atau jumlah pertemanan.
Statistik politik dari hasil
penelusuran bahan perbincangan dapat dipetakan berbasis wilayah geografis.
Basis pemetaan geopolitik virtual misalnya terbagi menjadi empat region yaitu
Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan dan Sulawesi, serta Pulau
Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Papua, Bali, NTB dan NTT. Berikut adalah
peta geopolitik perbincangan media sosial yang ditunjukkan oleh kajian
Siddik (2014) berbasis data politicawave.com per tanggal 19 Maret 2014.
Pulau Sumatera menempatkan
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai parpol terbanyak
diperbincangkan netizen. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menempati posisi
kedua di semua provinsi kecuali di Sumatera Barat. PKS unggul atas PDIP di
Sumatera Barat. Partai Nasional Demokrat (Nasdem) mampu menjadi jawara di
Aceh. Kemudian Partai Demokrat di sebagian provinsi maksimal menempati
peringkat ketiga. Partai Golkar juga muncul di peringkat ketiga di Provinsi
Sumatera Barat, sedangkan Gerindra menempati tempat ketiga di Provinsi
Lampung.
Pulau Jawa dengan suara dan
kursi terbanyak diambil lagi oleh PDIP. PKS tetap menguntit PDIP di semua
provinsi. Peringkat ketiga dihuni oleh Partai Demokrat. Partai Golkar muncul
sebagai peringkat ketiga di Provinsi Banten.
Pulau Kalimantan dan Sulawesi
tetap dipegang PDIP dan PKS rapat mengikuti di bawahnya. PDIP unggul atas partai
lain di semua provinsi. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyodok peringkat
ketiga di Sulawesi Tengah. Di Sulawesi Barat dan Sulawesi Utara, Golkar
mampu menempatkan diri di posisi ketiga dan kedua. Partai Demokrat umumnya
bercokol di posisi ketiga, kecuali di Kalimantan Selatan dan Sulawesi
Tenggara bertengger di peringkat kedua.
Region terakhir yaitu Pulau
Maluku, Papua, Bali dan Nusa Tenggara juga menempatkan PDIP sebagai parpol
terbanyak diperbincangkan di media sosial. PKS mampu unggul atas PDIP di dua
provinsi yaitu Maluku Utara dan Nusa Tenggara Barat. Hal yang mengejutkan,
PKS sebagai partai berbasis massa Islam mampu menempatkan diri di posisi
pertama dan kedua di semua provinsi dalam region ini.
Pemetaan secara umum juga
pernah dilakukan Awesometric di berbagai media antara 27 Januari sampai 26
Februari 2014. Hasilnya PKS menjadi partai politik yang paling disebutkan (the most mentioned). PKS
dilaporkan lebih dari 213.000 kali pada arus utama dan media sosial selama
periode tersebut. Posisi kedua adalah Partai Demokrat dengan 203.247 kali,
disusul oleh Partai Golkar, Gerindra, dan PDIP.
PKS kembali menduduki peringkat
teratas sebagai partai yang paling disebutkan di media sosial, yaitu 206.600
penyebutan di Twitter dan 3.200 penyebutan di Facebook. Partai Demokrat
menduduki posisi kedua dengan 175.600 penyebutan di Twitter dan 2.100 di
Facebook. Sementara itu, Gerindra terbanyak penyebutan di Facebook dengan
4.200.
Korelasi Elektoral
Dinamika virtual baru booming pada Pemilu 2014 ini. Pemilu 2004 dan 2009 masih didominasi
media konvensional untuk serangan udara kampanye. Belajar pada dua pemilu
sebelumnya itu, politik pencitraan media terbukti ampuh menyihir publik.
Faktanya Partai Demokrat dan SBY meraup dukungan signifikan. Hal yang penting
dicermati media elektronik memiliki karakter dan pengaruh yang berbeda
dengan media virtual. Artinya, korelasi antara dinamika virtual dan
dukungan elektoral sifatnya masih relatif. Relatifitas tersebut
tergantung pada kemampuan parpol mengoptimalkan virtualitas politiknya agar
berbuah suara nyata.
Media virtual memiliki
keunggulan sekaligus kekurangan dibandingkan media mainstream
(konvensional). Keunggulannya antara lain daya jangkau luas, komunikasi
bisa dua arah, serta kontennya tanpa batas. Kelemahannya membutuhkan
perangkat dan kemampuan melek teknologi sehingga lebih elitis untuk
kalangan berpendidikan, ekonomi menengah ke atas, kaum muda, dan warga kota.
Kelemahan ini kian terkikis seiring perkembangan zaman. Media virtual juga
sudah mulai ekspansi ke perdesaan, kaum tua, hingga rakyat biasa. Kondisi ini
menjadi peluang dan tantangan bagi parpol dan caleg.
Dinamika politik di jagad
virtual umumnya terdiri dari tiga bentuk, yaitu pencitraan, serangan politik,
dan melawan serangan. Politik sebagai representasi persepsi publik cukup
terbantu dengan media virtual. Implikasinya praktik demokrasi kental
didominasi oleh politik citra. Piliang (2005) menyebutkan fenomena
politik seperti ini sebagai ontologi citra (being images). Pencitraan
menjadi keniscayaan asalkan bersifat positif sebagai bagian pendidikan
politik dan penyeimbangan informasi publik. Data akurat menjadi poin kunci
untuk menguatkan pencitraan.
Upaya defensif atau kontra
politik terhadap serangan yang menjatuhkan citra mesti dikelola baik. Jika
tanpa sanggahan dan klarifikasi, maka bisa dinilai sebagai kebenaran. Sebaliknya
sanggahan asal-asalan dan emosional bisa menimbulkan antipati.
Serangan politik ke parpol lain
sebaiknya dihindari. Selain sebagai etika politik juga memancing reaksi
ekstrim lawan. Ibaratnya membangunkan macan tidur. Serangan-serangan yang
serampangan justru bisa kontra produktif. Umumnya setiap parpol memiliki
kartu truf parpol lain. Kondisi ini menyebabkan saling sandera, sehingga
serang menyerang menjadi terminimalisasi. Serangan politik lazimnya menjadi
bagian balas dendam. Parpol dapat menyerang secara terhormat dengan data
akurat demi pendidika politik rakyat.
Peta geopolitik virtual bukan
tidak mungkin berkorelasi positif terhadap peta geopolitik faktual. Fenomena
ini menjadi tren positif menuju modernisasi demokrasi di negeri ini. PDIP
dan PKS memiliki potensi dan peluang memperjuangkannya. Kita tungga parpol
mana yang mampu mengoptimalkan virtualitas politiknya ke medan kontentasi nyata. Wallahu
a’lam bish-shawabi.
0 Komentar untuk " Dinamika Geopolitik Virtual Indonesia "