Konflik
Papua, Presiden Salah!
Natalius Pigai ; Komisioner/Koordinator
Subkomisi Pemantauan
dan Penyelidikan Pelanggaran
HAM, Komnas HAM RI
SINAR
HARAPAN, 26 Februari 2013
Kematian
delapan prajurit TNI dan empat warga sipil di Puncak Jaya cukup
menggetarkan kita semua. Bahkan dengan kejadian ini menunjukkan bahwa
konflik di Papua masih belum berakhir dan berlarut-larut, serta tidak
ada titik temunya.
Saya sendiri
cukup prihatin dengan kematian prajurit yang bertugas di daerah konflik
dan rakyat sipil yang meninggal sia-sia. Karena itu pada konferensi pers
di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jumat (22/2) kemarin, secara tegas
dan jelas saya sampaikan bahwa konflik Papua yang tidak pasti ini
merupakan kesalahan presiden sebagai kepala negara dan panglima
tertinggi.
Andai saja
penempatan jumlah pasukan yang diperkirakan mencapai 12.000-16.000 dan
200 intelijen di atas jika didahului dengan audit manajemen keamanan
nasional (termasuk Papua) tentu tidak mungkin korban prajurit dalam
jumlah yang banyak sebesar ini.
Audit Manajemen
Keamanan di Papua sangat penting untuk memutus rentang antara kuantitas
prajurit dan kualitas prajurit tetap terjaga sehingga keamanannya
menjadi efektif. Pertanyaannya adalah mengapa presiden tidak mau audit
kemanan?
Saya menduga
presiden kurang berani atau juga mungkin merasa dirinya hilang kewibaan
di hadapan stafnya: Menko Polkam, Menteri Pertahanan, Panglima TNI dan
Kapolri. Padahal jika kita melihat institusi TNI dan Polri selama 10
tahun terakhir sangat responsif dengan irama reformasi dibandingkan
dengan institusi sipil (kementerian, atau LPND dan BUMN sebagai
lembaga-lembaga milik negara) yang mandek.
Pada masa yang
akan datang, bagaimana menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh
atas dasar perdamaian abadi dan kemanusian yang adil dan beradab, tentu
tentu berpulang pada presiden sebagai kepala negara. Harapan demi
harapan telah Presiden SBY sampaikan selama menjabat kurang lebih
delapan tahun ini, terakhir saat pidato kenegaraan presiden 17 Agustus
2012 dengan menyatakan bahwa: “kita selesaikan masalah Papua dengan
hati”.
Secara simbolis
kata-kata ini cukup menyejukkan perasaan rakyat Papua dan aktivis
kemanusiaan, juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Namun dengan
melihat ekskalasi konflik yang makin membara tentu saja secara
substansial tidak mengalami perubahan signifikan terhadap kondisi Papua.
Pada saat ini
rakyat sedang menagih janji presiden di hadapan rakyat Indonesia, juga
di hadapan Tuhan Yang Maha Esa yang diungkapkan di depan perlemen kita
yang terhormat. Seorang pemimpin harus teguh pada prinsip dan konsisten
antara tutur kata dan perbuatan, voice of accountability, tiap kata
dapat dikuntifikasi dan dihitung. Itulah letak dan titik puncak kewibaan
seorang pemimpin.
Saya apresiasi
Bapak Menkopolkan, terakhir kami dua berkomunikasi dua hari yang lalu.
Beliau juga ingin melakukan berbagai upaya penyelesaian masalah Papua
secara menyeluruh tentu juga dengan mendengarkan masukan dari Komnas HAM
tentang penyelesaian konflik Papua dengan memperhatikan aspek hak asasi
manusia (HAM) dan ingin menyelesaikan masalah 11 kasus pelanggaran HAM
masa lalu yang sampai saat ini masih belum ditindaklanjuti oleh
pemerintah, khususnya Kejaksaan Agung.
Pernyataan pers
presiden bahwa “ingin menciptakan perdamaian abadi”, saya maknai
sebagai sekadar menjawab kritikan cukup tajam yang saya sampaikan dalam
beberapa hari terakhir ini, termasuk melalui Menko Polkam Bapak Djoko
Suyanto.
Namun kita juga
beri harapan kepada presiden agar kata-kata tersebut tidak hanya
sebagai ungkapan simbol empati atas berbagai kondisi di Papua, namun
harus dilaksanakan secara konkret dengan langkah-langkah penyelesaian
masalah Papua secara menyeluruh.
Dalam
perspektif Komnas HAM, ada beberapa kerangka penyelesaian yang perlu
dilakukan; 1) penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Papua; Peristiwa
Wasior, Wamena, Abepura yang saat ini masih di ranah pemerintah. 2)
Penyelidikan secara tuntas pelanggaran HAM yang menjadi memori buruk
bagi orang Papua, yakni Pembunuhan Arnold Ap, Dr Thomas Wappay Wanggai,
Mako Tabuni, dan peristiwa dom Papua. 3) Perhatian bagi tahanan politik
dan narapidana politik (tapol/napol) yang saat ini ada di berbagai
lembaga pemasyarakatan di Indonesia khususnya (kenyamanan, kesehatan,
dan amnesti bagi mereka); 4) TNI-Polri dan Kelompok Sipil Bersenjata
harus berdialog bersama agar konflik di antara mereka tidak merembes ke
masyarakat lokal yang tidak berdosa. 5) Perlunya dialog agar tercipta
prakondisi dengan kebijakan desekuritisasi sebelum dialog menyeluruh
yang digagas oleh berbagai Tokoh, baik Jakarta maupun Papua dilakukan.
0 Komentar untuk " Konflik Papua, Presiden Salah! "