Mengukur Partai Terkorup
Adnan Topan Husodo ;   Anggota
  Perkumpulan Indonesia Corruption Watch, 
Sedang belajar di University of Melbourne,
  Australia
KOMPAS,
 29 Maret 2014
BEBERAPA
  kalangan telah melansir daftar partai terkorup, yang menurut pengakuan
  penyusunnya, diambil dan diolah kembali dari laporan Indonesia Corruption Watch.
Berbagai
  pertanyaan lantas mengemuka, terutama berkaitan dengan kebenaran nukilan data
  tersebut. Sebagai salah satu penggagas penelitian mengenai tren korupsi di
  Indonesia yang biasanya dilansir oleh ICW secara rutin setiap semester, ada
  beberapa hal yang perlu diluruskan dalam laporan daftar partai terkorup
  tersebut. Hal ini untuk menghindari persepsi publik yang keliru sekaligus
  menjelaskan metodologi riset yang dilakukan ICW berikut catatan mengenai
  kelemahannya.
Selama
  ini laporan tren korupsi yang disusun ICW hanya bergantung pada publikasi
  penanganan kasus korupsi di media massa, terutama media online yang tersebar
  di berbagai wilayah di Indonesia. Sedari awal pendekatan ini sudah mengandung
  kelemahan, yakni tak bisa menggambarkan secara lebih representatif
  kecenderungan korupsi secara umum karena tidak semua media massa di Indonesia
  memiliki versi online. Pada saat yang sama data mengenai kasus korupsi yang
  dikumpulkan akan sangat bergantung pada ada atau tidak pemberitaan akan hal
  itu.
Demikian
  halnya data atau informasi yang terkumpul juga akan sangat bergantung pada
  kejelian peneliti untuk mencarinya. Bisa saja ada kelengahan, baik pada sisi
  jurnalis maupun peneliti. Jurnalis mungkin tak akan terus-menerus
  memberitakan proses hukum kasus korupsi karena sangat bergantung pada
  beberapa faktor. Misalnya, cepat atau lambat penanganan perkara korupsi itu
  dan terbuka atau tidaknya lembaga peradilan dalam persidangan. Sementara
  peneliti mungkin alpa memasukkan informasi yang sebenarnya ada dalam
  pemberitaan.
Daftar partai terkorup?
Meski
  demikian, secuil informasi dalam laporan tren korupsi bisa menunjukkan fakta
  tindak pidana korupsi dari berbagai sisi. Misalnya kecenderungan aktor yang
  terlibat, sektor pemerintahan yang rawan, estimasi nilai kerugian negara, dan
  modus korupsi yang terjadi di mana semua data tersebut sangat bermanfaat
  dalam penyusunan kebijakan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Akan
  halnya daftar partai terkorup―—PDI-P pada urutan pertama dengan 84 kasus
  korupsi, disusul Golkar 60 kasus, sementara dua partai terbawah, yakni PKS 2
  kasus dan PKPI 1 kasus―—yang ramai diperbincangkan di media sosial perlu
  disikapi secara kritis dari berbagai sisi. Daftar partai terkorup dapat
  melahirkan kesimpulan prematur yang menyebabkan persepsi publik atas kategori
  mana partai yang korup dan yang bukan jadi sangat sederhana karena hanya bergantung
  pada angka kasus korupsi. Padahal, besar kecil jumlah kasus korupsi yang
  melibatkan politisi akan sangat bergantung pada banyak hal. Ditambah lagi
  data tersebut disebarluaskan menjelang pemilu yang menimbulkan dugaan adanya
  motif politik tertentu dari penyusunnya.
Kader
  partai yang bermain proyek, memeras, menyelewengkan wewenang, menerima suap,
  dan berbagai jenis korupsi lainnya tak akan mungkin bisa terpantau sepenuhnya
  oleh otoritas penegak hukum. Hasilnya, tak semua praktik korupsi dalam jumlah
  yang riil dapat diungkap dan diproses secara hukum, terkecuali sedikit di
  antaranya karena adanya laporan masyarakat atau temuan audit. Dengan kata
  lain, mengukur tingkat korupsi adalah pekerjaan teramat mustahil karena angka
  aktual korupsi tidak akan pernah bisa diperhitungkan (Wedeman, 2004).
Sementara
  itu, integritas dan profesionalisme penegak hukum juga jadi salah satu faktor
  penting apakah korupsi (politik) bisa diproses secara hukum. Bisa saja dalam
  sistem rule of law yang lemah, kejahatan korupsi tak dapat diungkap secara
  serius. Dalam konteks Indonesia, nyatanya baru Komisi Pemberantasan Korupsi
  (KPK) yang lebih sering menangani perkara korupsi politik dibandingkan kolega
  mereka, yakni Kejaksaan Agung dan Mabes Polri. Sementara itu, di sisi lain, jangkauan
  KPK sangat terbatas. Pendek kata, kasus korupsi yang ditangani penegak hukum
  tak dapat digunakan sebagai satu-satunya cara menyimpulkan bahwa A partai
  terkorup dan B partai paling tidak korup.
Karena
  kasus korupsi tak bisa dijadikan ukuran tunggal untuk memberikan label partai
  terkorup dan bukan, perlu digunakan cara lain yang lebih obyektif, yakni
  dengan melihat tata kelola internal partai politik. Transparansi
  Internasional Indonesia (TII) telah melansir metodologi bernama CRINIS untuk
  mengukur tingkat transparansi dan akuntabilitas partai yang dapat dilihat
  dari bagaimana partai mengelola dana politik mereka. Karena pendanaan partai
  politik adalah jantung dari persoalan korupsi, dengan melihat aspek
  transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pendanaan partai publik dapat
  menilai lebih obyektif mana partai politik yang korup dan mana yang bukan.
Definisi partai terkorup
Secara
  sederhana, korup atau tidaknya partai dapat dilihat dari apakah partai
  menyediakan informasi kepada publik mengenai laporan pendanaan politik mereka
  (dana kampanye maupun dana partai). Selain tersedia, apakah partai juga
  memublikasikan data/informasi tersebut seperti melalui situs, dan apakah
  partai politik sudah taat melaporkan penggunaan dana partai politik yang bersumber
  dari APBN kepada pemerintah.
Dari
  penelitian tersebut, TII menyimpulkan bahwa secara umum partai politik di
  Indonesia belum memiliki keterbukaan yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat
  transparansi dan akuntabilitas yang baik. Ini terutama untuk kategori
  informasi yang wajib tersedia seperti buku laporan keuangan partai politik,
  daftar identitas penyumbang, rekening keuangan partai politik, dan sebagainya
  (TII, 2013).
Sejalan
  dengan penelitian TII, uji informasi publik yang dilakukan ICW beserta mitra
  kerja di sejumlah daerah juga menemukan gejala serupa, yakni partai cenderung
  resisten jika dimintai laporan keuangan mereka (ICW, 2012). Dari dua
  penelitian tersebut, bisa dikatakan jika partai politik Indonesia belum bisa
  dikategorikan sebagai partai yang transparan dan akuntabel.
    
0 Komentar untuk " Mengukur Partai Terkorup "