Koalisi dan Zaken Kabinet
Kiki Syahnakri ;   Ketua
  Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
KOMPAS,
21 April 2014
MENYUSUL
  beredarnya hasil Pemilu Legislatif 9 April 2014 versi quick count, kini media diramaikan oleh wacana publik tentang
  pembentukan koalisi.
Potret
  perolehan suara serta manuver elite politik mengindikasikan bakal ada tiga
  atau empat kelompok koalisi. Langkah koalisi tak terhindarkan karena tak ada
  satu pun partai yang berhasil melewati presidential threshold 20 persen suara
  untuk mengusung calon presiden/wakil presiden secara mandiri.
Berbagai
  diskursus bermunculan membahas kemungkinan pola koalisi yang akan lahir.
  Misalnya, tentang corak koalisi yang mungkin dibangun berdasarkan kesamaan
  ideologis dan platform kepartaian, atau sekadar karena kebutuhan pragmatis,
  temporer.
Pola
  koalisi macam apa yang akan mampu menumbuhkan soliditas di parlemen serta
  dapat membangun zaken kabinet atau kabinet ahli yang berorientasi pada
  kepentingan nasional dan meninggalkan kepentingan kelompok, mampu memberikan
  performa (ter)baik sehingga menjamin efektivitas kinerja pemerintahan ke
  depan.
Pola koalisi
Menilik
  pola gaul elite politik serta model pendekatan antar-parpol dalam beberapa
  hari belakangan ini, ada isyarat masih adanya kemungkinan koalisi yang tidak
  didasarkan atas kesamaan ideologi atau platform partai politik, seperti
  pendekatan antara Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai
  Persatuan Pembangunan (PPP).
Indikasi
  corak koalisi dengan orientasi bagi-bagi kekuasaan pun masih cukup besar
  karena masih ada parpol papan tengah yang menawarkan calon wakil presiden
  sebagai syarat berkoalisi, seperti yang dilakukan
Partai
  Kebangkitan Bangsa (PKB).
Namun,
  patut pula diberi acungan jempol atas sikap Partai Nasdem yang bersedia untuk
  berkoalisi dengan PDI-P tanpa menyodorkan cawapres atau meminta kursi
  menteri. Penilaian atas hal ini sangat penting karena koalisi dengan motif
  kekuasaan yang biasanya berujung pada politik dagang sapi dapat dipastikan
  akan melahirkan pemerintahan yang mudah goyah dan sulit mewujudkan kinerja
  optimal manakala setiap partai merasa kepentingannya tidak lagi diakomodasi.
Rapuhnya
  pemerintahan era SBY serta selama era sistem parlementer tahun 1950-an—karena
  pola koalisi pragmatis yang tidak mampu melahirkan dukungan bulat di parlemen
  ataupun kabinet—seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia,
  khususnya bagi para elite politik. Sistem demokrasi dalam kondisi multipartai
  seperti yang sedang berjalan di Indonesia saat ini mutlak membutuhkan pola
  koalisi yang kuat.
Pola
  koalisi seperti itu hanya mungkin terbentuk bila tiap-tiap parpol beserta
  elite politiknya mampu meninggalkan kepentingan kelompok dan berorientasi
  pada kepentingan nasional, mendukung presiden terpilih dan kabinet
  profesionalnya, serta presiden terpilih punya keberanian untuk membentuk
  zaken kabinet apa pun risikonya.
Oposisi
  di parlemen tetap dibutuhkan, tetapi harus merupakan koreksi atas kebijakan
  dalam upaya mencapai tujuan nasional, bukan dengan orientasi pada kepentingan
  kelompok/parpol.
Zaken kabinet
Siapa
  pun presiden terpilih nanti niscaya akan langsung dihadang banyak pekerjaan
  rumah yang amat rumit. Kondisi perekonomian nasional dihadapkan pada total
  utang luar negeri (pemerintah dan swasta) pada akhir 2013 yang mencapai Rp
  3.000 triliun, sementara debt service
  ratio (DSR) atau perbandingan antara devisa dari ekspor yang didapatkan
  dihadapkan pada kewajiban membayar utang pokok dan bunganya setiap tahun
  mencapai 41,4 persen. Persentase ini telah jauh melampaui lampu merah.
Rasio
  gini yang lazim digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan telah
  mencapai 0,41 (Data Badan Pusat Statistik, 2012), naik tajam dari 0,32
  (2002). Kemunduran serius yang menunjukkan jurang antara si kaya dan miskin
  tambah menganga. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2013
  menempati urutan ke-121 dari 185 negara, dengan skor 0,629, jauh di bawah
  Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei, dan Filipina. Posisi kita hanya berada
  satu tingkat di atas Vietnam dan negara-negara Indochina lainnya, serta
  Myanmar dan Timor Leste.
Laporan
  BPS September 2013 mencatat 11,37 persen (28,55 juta) penduduk Indonesia
  berstatus miskin. Angka ini dihitung dengan ambang batas kemiskinan BPS,
  yaitu Rp 271.626 per bulan. Bila menggunakan standar Bank Dunia, yaitu 2
  dollar AS
per
  kapita per hari, penduduk berstatus miskin Indonesia menjadi hampir 100 juta
  orang. Data BPS lainnya menyebutkan pada Agustus 2012 jumlah penganggur
  terbuka mencapai 7,6 juta atau sekitar 6,32 persen dari angkatan kerja 120,4
  juta orang.
Dari
  perspektif politik, implementasi otonomi daerah (otda) yang bertendensi
  federalistis, melahirkan banyak ”raja kecil” yang cenderung feodalis dan
  korup, pada ujungnya telah menumbuhkan hasrat pemekaran daerah yang nyaris
  tak terkendali. Di bidang pertahanan dan keamanan, kita masih memiliki
  pekerjaan rumah besar, terutama di Papua dan Aceh. Dalam aspek budaya tumbuh
  subur materialisme, hedonisme, KKN, dan anarkisme.
Potret
  di atas menuntut pemerintahan mendatang harus merupakan kabinet ahli (zaken kabinet). Kebiasaan dagang sapi
  harus segera diakhiri. Koalisi di parlemen harus didasarkan pada kepentingan
  nasional, bukan kepentingan pribadi/kelompok. Para menteri di kabinet harus
  terdiri atas para profesional. Kalaupun direkrut dari kader parpol,  harus merupakan ahli di bidangnya.
Dalam
  pemilu presiden/wakil presiden yang akan datang, sebaiknya para kandidat
  telah menyertakan susunan kabinet. Bersamaan dengan itu, media massa
  menyosialisasikan biodata serta rekam jejak mereka.
 
    
0 Komentar untuk " Koalisi dan Zaken Kabinet "