Belajar Menapaki Kehidupan & Berevolusi Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik.
Mutiara Hati

Visi :
"Menapaki Revolusi Era Baru Bangsa Indonesia Tahun 2045"
Sang Mutiara Hati. Diberdayakan oleh Blogger.
Anda Butuh Training Manajemen, Training SDM, Survey Kepuasan Pelayanan dan Research di Perusahaan Anda?

Membangun Gerakan Moralitas untuk Melawan Pragmatisme



Membangun Gerakan Moralitas untuk Melawan Pragmatisme
Oleh : Dr. H. Noor Achmad, MA (Rektor Unwahas Semarang)

Ada dua tonggak fundamental mengapa gerakan perbaikan akhlak bangsa sangat dikedepankan untuk mendapatkan prioritas yang bersifat simultan dan serius. Dalam perspektif konstitusi, rumusan Undang-Undang Dasar pasal 31 ayat 3 UUD 1945 amandemen dengan tegas menunjukkan bahwa arah dan tujuan pendidikan nasional adalah peningkatan iman dan takwa serta pembinaan akhlak mulia. Kemudian terbitnya undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yaitu UU Nomor 20 tahun 2003 semakin menegaskan, memperkuat, dan memperteknis fungsi dan tujuan pendidikan bangsa Indonesia, misalnya pada UU Sisdiknas Bab I Pasal (2) menyebutkan, bahwa ”Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama....”. Demikian pula rujukan penyusunan kebijakan nasional pendidikan karakter tertuang dalam regulasi khusus yaitu Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005 – 2025, lalu Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, lalu Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Arahan Presiden RI dalam Sidang Kabinet Terbatas Bidang Kesra tanggal 18 Maret 2010, Arahan Presiden RI pada Rapat Kerja Nasional  di  Tampak  Siring,  Bali  Tanggal 19- 20 April 2010, dan Arahan Presiden RI pada Puncak Peringatan Hari Pendidikan Nasional di Istana  Negara Tanggal 11 Mei 2010.
Dari perspektif ideal, akhlak yang berasal dari bahasa Arab, secara etimologi berarti perangai (as-sajiyah), ath-thabi’ah (الطبيعة / kelakuan dasar), al-‘adat (العادة / kebiasaan), al-Muruah (peradaban baik), bahkan akhlak juga dapat diartikan dengan agama (الدين / ad-din).[i] Secara terminologis, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan suatu perbuatan tanpa melalui pertimbangan yang rumit terlebih dahulu.[ii] Sedangkan Imam al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang darinya timbul perbuatan-perbuatan secara mudah tanpa memerlukan banyak pertimbangan dan pemikiran rumit.[iii]
Dengan demikian, secara umum akhlak dapat diartikan sebagai sebuah GABUNGAN antara KEHENDAK dan KEBIASAAN, yang secara jangka panjang mampu mewarnai ALAM BAWAH SADAR menjadi KARAKTER manusia, yang dengannya memiliki kekuatan penting dalam perubahan personal, dan secara kolektif dapat berperan secara signifikan dalam PERUBAHAN SOSIAL.
Dalam tataran ideal, perspektif kebangsaan dan keislaman telah mewariskan tata nilai yang unggul, bersahaja, dan adiguna terhadap karakter dan tatanan Negara bangsa yang sudah melintas zaman dan peradaban. Misalnya dalam perspektif Islam, dikenal dan muslim ditekankan untuk memegang prinsip religius (al-Mutadayyin / المتدين), jujur (ash-Shidqu / الصدق), kredibel (al-Amanah / الامانة), transparansi (at-Tabligh / التبليغ), cerdas (al-Fathanah / الفطانة), keteladanan (al-Uswah / الاسوة), kebersamaan (al-Jama’ah / الجماعة), toleran (at-Tasammuh / التسمح), Keadilan (al-I’tidal / الاعتدال), Proporsional-Non Sektarian (at-Tawazun / التوازن), Berkebangsaan (at-Tawaththun / التوطن), komitmen (al-wafa bi al-‘ahdi / الوفاء بالعهد), tolong-menolong (at-Ta’awun / التعاون), Gotong-royong (al-Musyarakah / المشاركة), Ksatria/kepahlawanan (asy-Syaja’ah / الشجاعة), Kerja Keras (al-Mujahadah / المجاهدة), Akademis (‘Amal Al-‘Ilmiyah wa ‘Ilmu ‘Amaliyah / عمل العلمية و علم العملية), dan Wisdom (al-Hikmah al-Muta’aliyah / الحكمة المتعالية). 
Nilai-nilai akhlak dalam Islam tersebut “diamini” oleh Deklarasi Aspen dengan Enam Nilai Etik Utama (core ethical value) yang disepakati diajarkan dalam system pendidikan Amerika yang meliputi sifat dapat dipercaya (trustworthy), jujur (honesty), integritas (integrity), tanggungjawab (responsible), adil (fair), kasih sayang (caring), menjadi warga Negara baik (good citizen), dan menghormati orang lain (treats people with respect).[iv]
Dengan nilai dan karakter unggul itulah, Islam dengan gemilang dapat diterima oleh hampir satu Milyar populasi penduduk dunia saat ini. Islam mampu menorehkan tinta emas saat Nabi Muhammad saw dengan begitu sukses mempersatukan wilayah Arab yang begitu plural baik secara agama maupun suku, menjadi wilayah yang damai dan tenteram (Dar as-Salam/ دارالسلام), usai hegemoni kebudayaan tribalis dan kanibalis pra Islam. Demikian pula Islam mampu memperkenalkan dan menebarkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada dunia Barat yang saat kejayaan Islam itu Barat belum sampai di era pencerahan dan revolusi industri Enlightenment.
Demikian pula dengan karakter-karakter unggulan di atas, bangsa Indonesia mampu mencapai kematangan sejarah dan jati diri luar biasa ketika tahun 1928 para pemuda dari beragam suku bangsa bisa bersepakat untuk mengidentitaskan perbedaan mereka pada satu ikatan pemuda, bangsa, dan bahasa, yaitu Indonesia. Padahal belum ada jaminan dan kepastian bahwa Indonesia sebagai Negara bisa terwujud. Pun demikian dengan karakter-karakter unggulan di atas, tahun 1945 bangsa Indonesia mampu memproklamirkan menjadi sebuah Negara baru, Negara merdeka, Negara yang berdaulat dan berhak menentukan langkah dan nasibnya secara mandiri. Dalam konteks inilah akhlak bangsa menemukan korelasi positifnya, dimana bangsa Indonesia tidak saja hanya menjadi bangsa yang berbeda dengan karakter bangsa lain, namun akhlak bangsa saat itu menjadi faktor modal utama dan fundamental bagi pengembangan dan pembangunan Indonesia selanjutnya.     

A.     Potret Besar Realitas Kekinian: Indonesia “Darurat Akhlak Bangsa”
Hegemoni Kapitalisme-Neo Liberalisme ke Segala Lini
Indonesia hingga kini masih menjadi obyek perebutan bahkan eksploitasi ideology-ideologi global. Di antaranya adalah intervensi kapitalisme yang merasuk ke segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, baik dalam masalah perekonomian, perpolitikan, kebudayaan, hingga masalah keagamaan. Pasca runtuhnya ideology sosialis-komunis Sovyet, Indonesia pun masih belum bisa terlepas dari dependensi kapitalisme global melalui instrument hukum, HAM, dan demokrasi liberal. Konsekwensi dari sebagai obyek hegemoni, maka segala denyut nadi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia tidak bisa merdeka dalam arti yang sejati. Lebih jauh lagi, segala aspek kehidupannya sudah ada “blue print” nya dan harus sesuai dengan grand design ideology hegemonic global. Dari aspek ekonomi, sejak merdeka Indonesia masih belum bisa mewujudkan ekonomi yang berkemandirian apalagi berkedaulatan. Sehingga capaian pembangunan nasional pun masih berorientasi kepada pertumbuhan, belum kepada pemerataan. Penguasaan sumber daya alam dan hal-hal lain yang menguasai hajat hidup orang banyak di Indonesia pun praktis di bawah pengaturan dan kekuasaan luar negeri.     
Contoh kasus:
·         kontrak Freeport yang sangat merugikan perekonomian Indonesia.
·         Privatisasi BUMN oleh pemodal asing.
·         Kurang proporsionalnya keberpihakan Negara kepada peningkatan nasib buruh dan karyawan berupa masih rendahnya upah minimum karyawan.
·         Masih dominannya kebijakan perdagangan nasional yang berorientasi impor, dan kurang mendorong kebijakan pro produk dalam negeri.
·         Pembakaran pasar tradisional disinyalir bermotif pembangunan mal sehingga perekonomian rakyat terpinggrikan.
·         Amandemen UUD 1945 pasal 33 disinyalir meruntuhkan kedaulatan ekonomi nasional, diiringi dengan penguasaan kekayaan sumber daya alam Indonesia oleh pihak asing sehingga menyengsarakan rakyat.
  
Intrik Perpolitikan Nasional (Politik)
Sebagai respons atas hegemoni kapitalisme global di Indonesia melalui instrument politik, misalnya Pelarangan Negara terhadap eksistensi lembaga dan ideology komunis-atheis di era Orde Baru, hal itu berbuah pada evolusi massifnya gerakan sosialisme-sekularis (kelompok kiri) ke dalam politisasi isu-isu kesetaraan, kerakyatan,  keadilan,  dan demokratisasi tanpa batas. Sosialisme-sekuler yang bermazhab Pertentangan Kelas model Marxian pun menjadi primadona anak-anak generasi reformasi. Kelas pemerintah versus kelas rakyat, kelas pemilik modal versus buruh, dan kelas agamawan versus non agamawan. Pada kenyataannya, semangat reformasi justru mengulangi kesalahan era Orde Baru. Reformasi menjadi gerakan perubahan yang tanpa control (otoriterianisme kebebasan). Akibatnya Negara menjadi lemah, dan civil society terlalu kuat. Check and balances tidak berjalan sesuai koridor konstitusi. Pembangunan tidak berjalan. Kesetaraan menjadi monopoli elit-elit proletarian sementara rakyat kecil tetap tidak terangkat derajat hidupnya.  Keadilan menjadi lips service dan utopis. Masyarakat menjadi alienatif sehingga lebih mempercayai paranormal yang berkedok agamawan.  
Motif politisasi proses perpolitikan inilah yang mengakibatkan budaya perilaku curang dalam mekanisme pemilihan kepala daerah maupun anggota legislative. Kekuasaan dan keuangan sangat menentukan potensi kecurangan dalam proses politik ini.     
Contoh kasus:
·         Semakin kuatnya upaya pencabutan Tap MPRS No. 25 tahun 1966.
·         Semakin kuatnya upaya pencabutan Kepres No. 28 tahun 1975 tentang golongan C (PKI).
·         Semakin kuatnya desakan kepada pemerintah untuk meresmikan bahwa PKI bukanlah organisasi terlarang di Indonesia.
·         Semakin kuatnya tuntutan rehabilitasi eks anggota PKI yang menuntut Negara meminta maaf kepada eks anggota PKI dan membayar kompensasi material atas kerugian HAM.
·         Kurang menghargai realitas sosio-kultural keagamaan masyarakat dalam manajemen aparatur pemerintahan. 
·         Maraknya pertikaian masalah rebutan lahan pertanahan antara masyarakat, pengembang swasta, dan pemerintah.
·         Maraknya penipuan perdukunan berkedok agamawan.
·         Praktik jual beli dan penggelembungan pemungutan suara dalam proses pemilu dan Pileg.

Intoleransi Kehidupan Beragama (Agama)
Kapitalisme juga mengambil keuntungan dengan memanfaatkan konflik keagamaan yang mengakibatkan terciptanya konflik umat beragama, baik antar maupun internal agama. Bahkan, kapitalisme mampu berselancar dengan lihainya ke dalam tema-tema gerakan aliran pemahaman internal umat beragama itu sendiri. Sehingga, antar sesame umat beragama yang beraliran mazhab atau pemikiran bisa saling bertikai tanpa sadar bahwa penabuh gendang koflik tersebut adalah kepentingan kapitalisme global.
Liberalism agama yang mengusung paradigm kebebasan dalam menafsirkan ajaran agama sangat dipengaruhi oleh tradisi filsafat yang mendasarkan pemikiran kritis. Sehingga paradigm kritis tersebut memantik fundamentalisme kelompok literalis yang menstigmatisasi tradisi berpikir kelompok liberalis dengan stigma penodaan ajaran agama.
Sementara, literalisme agama mendasarkan tradisi berpikirnya ke model fundamental-tekstual dan menabukan inflitrasi interpretasi lainnya. Sehingga paradigm fundamentalistik-tekstualis tersebut oleh kelompok liberalis dianggap sebagai cara beragama yang kolot, stagnan, dan anti perubahan.
Demikian pula, harmoni antar umat beragama juga mendapat rintangan hebat. Antar umat beragama diprovokasi masalah pendirian rumah ibadah, kebebasan menjalankan peribadahan, dan kebebasan menyiarkan agama.
Walhasil, perbedaan metode berpikir dalam umat beragama dengan mudahnya dimanfaatkan oleh kelompok kapitalis, sehingga dari semula berupa perbedaan menjadi konflik keagamaan dan chaos nya stabilitas politik dan pembangunan daerah dan nasional. Akhirnya, konsentrasi umat beragama hanya terfokus pada persaingan, kebencian, saling melemahkan sesama pemeluk agama, bukan kepada orientasi bagaimana mencerdaskan umat beragama dalam segala bidang kehidupan terutama pemberdayaan umat beragama di sector riil, dan mentransformasikan nilai-nilai keagamaan ke dalam ranah produktif dan kontributif bagi kemajuan bangsa.  
Contoh kasus:
·         Konflik berdarah antara Syiah dan Sunni dalam kasus Sampang.
·         Konflik berdarah antara aliran agama menyimpang dan masyarakat di Cikeusik.
·         Pendirian rumah ibadah yang masih rentan konflik.
·         Provokasi penyiaran agama yang disiarkan melalui radio dan internet.
·         Provokasi dan agitasi dalam pagelaran event-event keagamaan.
·         Terminologi agama resmi dan agama diakui yang rentan memicu ketegangan.


Candu Fetisisme Dunia Entertainment (Budaya)
Kapitalisme juga merasuk ke dalam jagat dunia hiburan, baik melalui acara televisi maupun lainnya. Dunia pesohor dunia entertainment adalah instrumennya. Fetisisme adalah kekaguman yang mengarah kepada pemujaan kepada personal. Dalam hal dunia pesohor, fetisisme ini terjadi antara pesohor dan fans nya. Pesohor  di jagat hiburan mampu menghipnotis fans sehingga gaya hidup dan lika-liku dan pernak-pernik kehidupannya ditiru dan diidolakan tanpa kritik.  Sementara, gaya hidup dan cara berpikir para pesohor tersebut lebih didominasi oleh hedonis, glamour, westernis, dan bebas bergaul yang kesemua gaya hidup pesohor tersebut tidak hanya bertentangan dan merusak adat dan tradisi luhur bangsa Indonesia, melainkan juga bertentangan dan merusak ajaran agama.
Di titik inilah relevansi mengkorelasikan antara masalah akhlak dengan kedaulatan bangsa menjadi terlihat jelas. Disinyalir ada upaya sistematis merusak proses pendidikan generasi masa depan bangsa Indonesia melalui ekspose gaya hidup yang ahistoris dan kontraproduktif, melalui budaya pop yang merusak akhlak dan ajaran agama. Dengan mengikuti gaya hidup model kebebasan tanpa batas, maka akan tersedia pangsa pasar yang sangat besar bagi kepentingan kapitalis, tanpa mengindahkan dampak kerusakan moral dan akhlak bangsa Indonesia.    
Contoh kasus:
·         Free sex di kalangan remaja seolah menjadi wajar. Akibatnya, kasus kehamilan di luar nikah meningkat yang berujung kepada melonjaknya kasus aborsi di kalangan pelajar dan mahasiswa.
·         Angka perkelahian, pencurian, dan korban kematian juga semakin meningkat, disebabkan oleh pengaruh alkohol dan minuman keras baik di night club maupun di tengah lingkungan masyarakat.  Misalnya tingginya kriminalitas di banyak daerah akibat Miras dan korban minuman Cukrik di Jawa Timur yang merenggut banyak korban jiwa.
·         Mengguritanya kasus-kasus kejahatan seksual di lingkungan remaja dan usia anak akibat tiadanya proteksi dan filter yang serius dari stake holders penyiaran terhadap acara-acara di media massa baik televisi maupun cetak yang mengumbar perilaku seks bebas. Akibatnya,  kebebasan seksual dan bahkan kejahatan seksual pun menular ke dunia anak-anak. Kasus JIS, Emon, Robot Gedek adalah tumpukan fakta tak terbantahkan.
·         Hilangnya nyawa peserta didik di tempat pendidikan akibat aksi kekerasan, misalnya kasus STPDN, STIP, Renggo, Guru membunuh guru.   
·         Perjudian terselubung yang diselipkan dalam acara kuis-kuis hiburan berhadiah berbasis kompetisi di televisi.
·         Normalisasi perilaku Gay dan lesbian di ranah public.
·         Tawuran pelajar dan gank motor susah dikendalikan karena telah menjadi trend anak muda karena pengaruh adegan kekerasan di media televisi dan layar lebar.
·         Konten-konten pornografi masih sangat mudah ditemukan di media massa, baik di koran, majalah, maupun di internet.
·         Materi pornografi yang ditebarkan media internet, dicatat sebagai tantangan paling berat. Terdeteksi indikasi, bahwa industri pornografi sengaja membidik anak-anak dan remaja menjadi pecandu pornografi dan pasar masa depan bagi industri pornografi. Akses pada produk pornografi makin mudah, bisa diakses di mana saja, dari ruang kelas hingga kamar mandi, dan disajikan melalui piranti beragam: situs, game, film, hingga komik anak-anak.

 
Korupsi di Birokrasi (Aparatur Negara)
Salah satu mekanisme distribusi ekonomi kapitalis adalah system trickle down effect, yaitu bagaimana hasil pembangunan secara bertahap meretas ke bawah melalui alur birokrasi. Mekanisme sentralistik tidak dikenal karena rentan korup (الرشوة). Meskipun seolah-olah kapitalisme itu anti korupsi, namun faktanya system kapitalisme inilah yang melahirkan pemimpin-pemimpin Negara obyek hegemoninya menjadi koruptor-koruptor yang dimanfaatkan oleh kapitalis asing. Kelompok kapitalisme hanya berkepentingan bagaimana para pemimpin Negara kapitalis itu “menyerahkan” hasil pembangunan dalam negeri masing-masing ke perusahaan-perusahaan asing milik kelompok kapitalis. Pada titik inilah penegakan hukum terhadap kasus korupsi yang melibatkan perusahaan-perusahaan raksasa apalagi milik PMA menjadi tumpul dan antitesa dengan semboyan clean corporate. Sehingga, korupsi di birokrasi dan aparatur Negara sudah menjadi budaya dan berkelindan dengan kepentingan politik. Semakin mendekati zona waktu perhelatan politik nasional, baik pilpres maupun pileg, kasus korupsi birokrasi senantiasa menjadi kasus hangat.
Contoh  kasus:
·         Polemic Bailout Century
·         BLBI
·         Status tersangka untuk mantan kepala BPK tentang perpajakan perbankan.
·         Pejabat daerah dan mantan pejabat Negara banyak yang terjerat kasus korupsi.
·         Kasus SKK Migas.
·         Kasus Hambalang
·         Kasus money laundering yang menyeret banyak pejabat.
Masyarakat yang Terasing (Alienatif)
Hegemoni kapitalisme melahirkan dua sisi masyarakat yang kontras. Di satu sisi muncul kelas-kelas hegemoni, dan di sisi lainnya melahirkan kelas-kelas yang terbuang dan tersisa dari percaturan kepentingan kapitalisme. Kelas masyarakat yang terbuang dan tersingkirkan dari system social yang timpang inilah yang disebut dengan masyarakat alienatif.
Secara ekonomis, masyarakat alienatif ini berlatarbelakang ekonomi lemah. Secara budaya, masyarakat alienatif ini memiliki pilihan yang anti kemapanan. Masyarakat alienatif cenderung memiliki problem psikologis sebagai kelas yang tertindas dan tersingkirkan. Oleh karenanya mereka memiliki motif ingin membuang beban ketertindasan dan menyalurkan kekuasaan social mereka kepada segmen masyarakat yang kurang pendampingan dan perlindungan secara serius dari negara. Di sinilah kemudian posisi anak dan perempuan menjadi obyek yang rentan dijadikan obyek beban alienasi tersebut.
Contoh kasus:
·         Indonesia mendapat status “Darurat Predator Anak” dari berbagai lapisan masyarakat, baik nasional maupun internasional. Beruntunnya kemunculan kasus kekerasan seksual dan kriminal yang semula dianggap tabu dan mustahil –yaitu terjadi di dalam lingkungan pendidikan dan menimpa bahkan juga dilakukan oleh usia anak- kini seolah tumbuh bermunculan dan begitu mengagetkan di beberapa daerah di Indonesia.
·         Kekerasan seksual terhadap anak (pedofilia) yang merujuk kasus Robot Gedek hingga yang teraktual adalah kasus Pedofilia di Jakarta Internastional School (JIS),
·         kasus pedofilia yang dilakukan oleh Emon yang memakan banyak korban kekerasan seksual pada anak hingga mencapai angka mencengangkan,
·         kasus hubungan seksual secara terbuka oleh siswa SMP dan direkam oleh sesama rekannya di Jakarta,
·         kasus pembunuhan di lingkungan sekolah dan kampus: seperti terbunuhnya Renggo, siswa kelas 5 SD di Jakarta Timur,
·         kasus terbunuhnya mahasiswa STIP yang dilakukan oleh senior terhadap yuniornya,
·         Kasus pembunuhan terhadap seorang guru yang dilakukan oleh rekan seprofesinya di depan murid-muridnya di sebuah sekolah di Yogyakarta. Dan entah masih berapa kasus lagi yang belum mencuat ke permukaan.
·         Kasus terancamnya hukuman pancung TKW Indonesia di luar negeri akibat kurangnya pelatihan dan jaminan kerja yang aman.
·         Kasus peredaran narkoba di dalam sel penjara.

Rentetan kasus “darurat akhlak bangsa” yang melingkari hampir seluruh dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut seolah menunjukkan, bahwa nilai-nilai keluhuran bangsa ini yang dibangun di atas fondasi agama, budaya, dan intelektualitas sudah mudah rentan menghadapi terjangan nilai-nilai kebebasan sebagai konsekwensi era globalisasi. Kekerasan seksual yang akhir-akhir ini terjadi di dalam lingkungan pendidikan tersebut juga menjadi ancaman masa depan bangsa Indonesia, mengingat korbannya adalah anak-anak, pelajar, dan mahasiswa dan terjadi di “jantung” lembaga penyelenggara pendidikan yang seharusnya menjadi benteng pembangunan akhlak mulia.
B.      Hipotesis: Akibat-akibat Keterputusan Idealita Akhlak dengan Realitas Kekinian
Semakin rapuhnya konstruksi nilai, pendidikan agama, dan budaya luhur Bangsa ini dalam menghadapi derasnya era globalisasi yang di dalamnya terdapat kebebasan, semakin menempatkan Indonesia berada dalam garis putus antara Karakter Ideal yang pernah mengantarkan bangsa Indonesia menggapai identitas adiluhung, dan Realitas Tabiat yang semakin menjerumuskan bangsa ini ke titik nadir jati diri yang memprihatinkan. Terciptalah Mentalitas Instan (isti’jal / استعجال); yang menyajikan perilaku reaksioner, mudah heran, mudah marah, dan berpikir pendek. Mentalitas Tak Berperadaban (بدوية / uncivilized) dan mentalitas preman; yang semakin memburamkan wajah bangsa ini sebagai bangsa yang memiliki tingkat kriminalitas tinggi. Mentalitas Egois (ananiyah / انانية); yang menciptakan warga bangsa Indonesia menjadi warga yang tidak mengenal tetangga dan saudara. Mentalitas Sekuler (علمانية); yang semakin alergi dan phobi dengan agama dan tuntunan syariat. Sehingga tanpa disadari bangsa ini semakin jauh meninggalkan ajaran agama. Mentalitas Partisan (Syu’biyah / شعبية); yang semakin mengikis nilai-nilai persaudaraan sebangsa dan setanah air. Lalu terciptalah Mentalitas Ikutan (Follower/muqallid / تقليد). Bangsa ini terkungkung dalam kekerdilan, sepi prestasi dan inivasi, serta semakin kehilangan identitas dan DNA sebagai bangsa yang besar dan kreatif. Mentalitas Asal Beda (khalif tu’raf /  خالف تعرف);  yang dalam ranah aliran keagamaan dan kepercayaan semakin marak dan semakin banyak munculnya kelompok menyimpang, sempalan, atau aliran sesat. Kemunculannya tidak serta-merta sebagai konsekuensi kebebasan berekspresi dan berpendapat serta berkeyakinan, namun disinyalir lebih didominasi oleh motif-motif trouble maker, memecah belah, dan mengail di air keruh, hingga pada motif Pencarian Jatidiri (existence searching). 
Lalu lahir pula mentalitas kebebasan liberal (borderless), yang akhirnya menjadi pemicu lahirnya perilaku seks bebas, hidup bebas, dan juga pergaulan bebas dalam segala lini kehidupan baik di sekolah, kampus, kantor, bahkan di rumah. Dan yang mengerikan, mentalitas kebebasan tanpa batas ini telah jauh merasuki ruang bawah sadar masyarakat Indonesia melalui media massa, perilaku hedonis, budaya selebritis, sehingga dengan terbata-bata dan terkaget-kaget seluruh anak bangsa ini berupaya menciptakan media proteksi dan recovery dari darurat akhlak tersebut.

C.      Faktor Penyebab: Kurangnya Pengamalan Pancasila secara Konsekwen.
Siapa yang bersalah hingga bangsa yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang besar, berpengaruh, dan disegani di dunia internasional di bidang perdamaian, intelektual, budaya, kekayaan alam, dan keindahan panoramanya, hingga bangsa ini terkesan menjadi bangsa yang miskin, terbelakang, anarkhis, dan tidak punya haluan dan visi yang tegas?
Allah swt berfirman,
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Pancasila diterima oleh bangsa Indonesia karena Pancasila disarikan dari ajaran agama Islam itu sendiri. Maka, melanggar Pancasila dapat diartikan mengkhianati ajaran agama. Demikian pula, menjalankan Pancasila berarti konsisten dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Sila pertama Pancasila menyebutkan, Ketuhanan Yang Maha Esa, secara jelas menggambarkan visi bangsa Indonesia yang berketuhanan dan religious (QS. Al-Ikhlas). Indonesia adalah Negara religious yang menjunjung tinggi kesucian dan sakralitas agama, meskipun Indonesia sendiri bukan Negara agama dan apalagi Negara sekuler. Dengan demikian akhlak dan moral bangsa Indonesia adalah moral yang religious.
Namun, realitanya semakin banyak bermunculan klaim aliran-aliran keagamaan yang mereduksi dan bahkan menistakan kesucian agama itu sendiri. Semakin sering terjadi pula politisasi pendirian rumah ibadah untuk kepentingan agamanya sendiri dengan tidak mengindahkan hukum yang berlaku. Masih sering terjadi pula mendakwahi umat agama lain dengan iming-iming materi dan bantuan social. Semakin sering terjadi upaya sekularisasi symbol-simbol religious masyarakat Indonesia dengan alasan penegakan HAM dan pluralisme. Semakin mengerasnya pemikiran keagamaan liberal yang mereduksi ajaran agama secara tanpa batas. Semakin meningkatnya kecenderungan pemahaman agama secara tekstual-literal yang telah mereduksi dan mengecilkan universalitas dan konvergensi substansi ajaran agama yang selalu dinamis dan aplikatif. Popularitas gaya hidup yang mengumbar syahwat, glamor, dan serba kebebasan pun seolah menjadi menu wajib untuk dipertontonkan di layar televisi melalui sinetron dan iklan, tanpa mengindahkan ajaran agama dan norma luhur yang diwariskan dari budaya dan agama bangsa. Melebihi pornografi, perilaku porno sendiri dalam bentuk perselingkuhan sudah semakin tak asing lagi dan mencoreng kesakralan mahligai rumahtangga oknum aparatur sipil Negara. Prostitusi dan perjudian terselubung yang mampu mengecoh regulasi komunikasi dengan begitu bebasnya terpampang di layar hand phone sehingga memudahkan potensi perilaku seks yang salah dan tindak kriminalitas.   Penyalahgunaan Narkoba oleh para public figure dan pelajar semakin tak terkendali dan mencoreng kredibilitas lembaga pendidikan.     
Ini semua adalah cerminan masyarakat yang sudah tidak lagi konsekwen dengan pengamalan Pancasila yang otomatis pula mengkhianati sakralitas tuntunan agama Islam.

Allah swt berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, secara gamblang menuntun dan menuntut seluruh elemen bangsa Indonesia untuk menjunjung tinggi penghormatan hubungan kemanusiaan secara beradab dan bermartabat (QS. Al-Anbiya: 107). Namun faktanya, menghilangkan nyawa seseorang sudah terlihat begitu mudah meskipun dengan alasan yang sangat sepele. Murid kelas 6 SD telah menghajar adik kelasnya hingga tewas hanya karena alasan uang seribu rupiah. Seorang guru dengan begitu mudahnya membunuh rekan sesama guru di dalam kelas di depan murid-muridnya hanya karena permasalahan jual beli tanah pribadi. Kasus trafficking yang menjadikan perempuan dan pekerja di bawah umur sebagai komoditas tenaga kerja di luar negeri semakin mempermalukan martabat bangsa Indonesia di luar negeri. Majikan yang menyiksa, mengintimadasi, tidak menunaikan hak gaji pembantu atau pegawainya, bahkan menghilangkan nyawanya masih saja terjadi di zaman anti perbudakan saat ini, seolah-olah Indonesia masih berada di zaman perbudakan.    
Allah swt berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
 فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, secara jelas mengatur aturan main aspek perbedaan dan pluralitas bangsa Indonesia dalam satu frame, yaitu Persatuan (QS. An-Nisa: 59). Perbedaan agama, perbedaan politik, perbedaan suku, perbedaan tingkat ekonomi tidaklah dilarang oleh Negara asalkan perbedaan tersebut tidak menyebabkan satu elemen bangsa merasa terdiskriminasi dan tidak membuat perpecahan dalam kehidupan bernegara. Jika mampu bersatu di atas perbedaan, maka bangsa dan Negara Indonesia lebih maju dari Negara atau bangsa yang bersatu karena tidak ada perbedaan.
Namun, dalam realitanya, aspek pluralitas dan multibeda Indonesia ini belum termanage secara baik. Aspek perbedaan masih terasa lebih menonjol dibandingkan dengan aspek persamaan dan persatuan. Sehingga masing-masing unsure terlihat lebih berkuasa, lebih benar, dan lebih berjasa dibandingkan elemen rakyat lainnya. Masih saja terjadi gerakan-gerakan separatis yang ingin memisahkan wilayahnya dari NKRI. Otonomi Daerah justru menjadikan kepala daerah sebagai “raja-raja kecil” di daerah masing-masing.  Tidak kalah penting juga adalah peran media massa. Beberapa kajian akhlak yang digelar, baik di lingkup keluarga, masyarakat, mauoun sekolah, menunjukkan bahwa faktor media massa memainkan pengaruh siginifikan dalam pembentukan akhlah-karakter bangsa. Baik berupa media cetak, elektronik, maupun cyber media. Sorotan lebih banyak diberikan kepada media televisi dan internet yang dinilai paling berpengaruh, khususnya dalam menebarkan perilaku kekerasan, eksploitasi seksual, pornografi, dan sikap intoleran. Pemberitaan besar-besaran mengenai pornografi, perkelahian, gesekan, atau konflik di media cetak dan elektronik, kadang bahkan menjadi  model bagi anak didik.
Allah swt berfirman,
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
Sila keempat Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan jelas mengedepankan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat (QS. Asy-Syura: 38). Pancasila tidak mengenal oligarki aspirasi politik. Semua elemen berdiri sama tinggi duduk sama rendah dalam menyuarakan pendapatnya. Di situlah kekuasaan tertinggi adalah rakyat Indonesia yang bijak dan bermartabat.
Realita yang masih sering terjadi adalah, masih maraknya pemaksaan pendapat berdasarkan pertimbangan mayoritas-minoritas. Ada juga liberalisme hak azasi dan demokrasi, dimana hak azasi manusia begitu dituntut secara sepihak saja, tanpa berupaya menunaikan kewajiban azasi manusia.
Allah swt berfirman,

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
Sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dengan sangat jelas mengatakan bahwa amanat kemerdekaan Indonesia adalah mewujudkan  masyarakat yang adil dan makmur (QS. Al-Ma’un: 1-7). Semua elemen rakyat tanpa terkecuali memiliki hak yang sama untuk memperoleh pelayanan public dari Negara. Pembangunan nasional juga wajib memperhatikan prinsip-prinsip keadilan.
Realita di lapangan menyebutkan, orientasi distribusi kesejahteraan yang kurang berpihak kepada rakyat kecil, hingga kekayaan alam bangsa justru mengenyangkan kelompok asing sehingga rakyat bangsa ini ibarat seperti ayam mati dalam lumbung beras. Ada juga faktor lemahnya pemberdayaan pendidikan, sehingga ilmu pengetahuan tidak lancar tertransformasi hingga kepada rakyat miskin. Pendidikan seolah hanya berpihak kepada mereka yang berpunya sehingga mampu mengenyam bangku pendidikan ke tingkat tertinggi bahkan sampai ke luar negeri yang bonafide. Sementara ada warga bangsa ini yang tidak mengenal bangku sekolah, ada yang terpaksa putus sekolah dan lebih memprioritaskan untuk bekerja untuk mempertahankan hidup.

Kesimpulannya, kerusakan akhlak bangsa secara multidimensional ini, khususnya kekerasan seksual dan kriminalitas di lingkungan lembaga pendidikan adalah gambaran masyarakat Indonesia yang sedang sakit  (sickness society) yang membutuhkan penanganan yang sifatnya segera (emergency) namun terencana dari seluruh elemen bangsa, terutama oleh elemen agama jika tidak ingin peran agama tergerus dan digeser oleh norma sekuler dan pro kebebasan liberal yang pragmatis, permisiv terhadap hal-hal yang munkarat.





[i] Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi.
[ii] Ibnu Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq.
[iii] Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulumi ad-Din.
0 Komentar untuk " Membangun Gerakan Moralitas untuk Melawan Pragmatisme "
Back To Top