Belajar Menapaki Kehidupan & Berevolusi Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik.
Mutiara Hati

Visi :
"Menapaki Revolusi Era Baru Bangsa Indonesia Tahun 2045"
Sang Mutiara Hati. Diberdayakan oleh Blogger.
Anda Butuh Training Manajemen, Training SDM, Survey Kepuasan Pelayanan dan Research di Perusahaan Anda?

Pendidikan mahal, ancaman bagi kelas menengah

Oleh: Ahmad Djauhar
Mahkamah Konstitusi ternyata masih mau mendengar jeritan rakyat. Melalui palu saktinya, institusi yang menjadi wasit perundang-undangan di negeri ini dengan tegas memutuskan bahwa Undang-Undang No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan dianggap inkonstitusional, alias bertentangan dengan konstitusi.
Berdasarkan penilaian MK, UU No. 9/2009 melanggar UUD 1945, terutama Pasal 28 D Ayat 1, yang menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama. UU BHP juga bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Padahal, pemerintah sebelumnya ngotot menolak tudingan bahwa UU tersebut merupakan bentuk liberalisasi sektor pendidikan, yang dengan sendirinya bertentangan dengan semangat konstitusi.
Dengan memberlakukan UU No. 9/2009 pemerintah kemudian menjadikan sejumlah perguruan tinggi negeri unggulan-Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (Unair)-sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Dengan status BHMN tujuh PTN unggulan itu seakan 'diperbolehkan' melaksanakan otonomi penuh. Nah, di sinilah letak persoalannya kemudian. Otonomi penuh tersebut diterjemahkan sebagai "boleh memungut biaya pendidikan-termasuk jumlah mahasiswa-secara bebas, tanpa pengaturan pemerintah lagi."
Walhasil, muncullah ironi dari penerapan konsep BHMN itu bahwa untuk berkuliah di PTN favorit, calon mahasiswa harus membayar ongkos yang mahal, bahkan beberapa di antaranya lebih mahal dari pada universitas swasta sekalipun. PTN favorit seakan menjadi kampus penampung mahasiswa dari golongan berkecukupan.
Berbeda dengan kondisi kampus beberapa PTN favorit hingga akhir 1990-an, yang didominasi anak-anak dari keluarga menengah ke bawah, sehingga anak petani, buruh pabrik, pegawai negeri golongan rendah, dan sebagainya dapat menikmati pendidikan berkualitas, sepanjang mereka mampu lulus seleksi masuk.
Sebagai gambaran kasar, untuk mengikuti seleksi masuk pendahuluan PTN favorit di Bandung, misalnya, calon mahasiswa harus membayar formulir pendaftaran sebesar Rp800.000. Ini kan jumlah yang tidak sedikit bagi rata-rata masyarakat di negeri ini. Belum lagi bila dinyatakan diterima, calon mahasiswa harus berani menyumbang setidaknya Rp50 juta atau senilai lima buah sepeda motor baru.
Bagi mereka yang berkecukupan, tentu saja tidak ada masalah bila harus menyumbang sebesar itu, meski mungkin kemampuan otak mereka pas-pasan. Seharusnya, bagi yang berpunya dan cenderung malas belajar, tersedia cukup banyak pilihan bagi mereka, selain perguruan tinggi swasta yang kini semakin bagus, juga bersekolah di luar negeri.
Namun, bagi kaum marginal, pilihan mereka amat sangat terbatas. Kondisi ini sempat tercium oleh sebuah negara sahabat yang kemudian mencoba memberdayakan sejumlah perguruan tinggi keagamaan-universitas Islam negeri-untuk membuka fakultas penghasil tenaga profesi seperti teknik dan kedokteran, tentu saja dengan biaya yang relatif tetap terjangkau.
Mereka merasa khawatir tenaga dokter yang dihasilkan PTN favorit akan teralienasi dari masyarakat karena mereka sudah sepenuhnya mengalami fase pendidikan yang terkomersialkan. Dalam bahasa sederhana, dokter lulusan PTN favorit akan mengenakan tarif yang mahal pula kepada masyarakat, karena mereka harus mengeluarkan ongkos tidak kecil ketika menempuh pendidikan.
Seolah cuci tangan
Ironi yang lain adalah negara seolah-olah cuci tangan dari kewajiban untuk mendidik rakyatnya. Negara seakan-akan menelantarkan rakyatnya dengan tidak menyediakan fasilitas pendidikan yang baik tetapi terjangkau bagi masyarakat pada umumnya.
Bagaimana tidak? Dengan ongkos pendidikan yang sedemikian mahal di perguruan tinggi-yang notabene masih didukung dengan anggaran negara alias pajak rakyat-kok tega-teganya mengenakan sedemikian mahal. Dengan bahasa sederhana, ini merupakan sebuah 'pengkhianatan' terhadap masa depan bangsa.
Harus diakui bahwa untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi berkualitas memang tidak murah. Hal itu sudah menjadi pemahaman kita bersama. Sebuah perguruan tinggi yang unggul haruslah mampu menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar yang dinamis.
Kondisi tersebut tentu saja membutuhkan beberapa prasyarat seperti ketersediaan dosen yang kompeten atau bahkan mumpuni, fasilitas penunjang belajar-misalnya ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, dan jaringan Internet-yang lengkap, sehingga dosen dan mahasiswa dapat mengakses pengetahuan seluas-luasnya.
Sudah menjadi tugas negara untuk menyediakan lembaga pendidikan berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat, terlebih bagi kalangan yang secara ekonomi kurang beruntung, tetapi memiliki kualitas inteligensia yang baik. Dengan demikian, terdapat semacam subsidi silang bagi rakyat dari kelompok marginal. Bahwa jika mereka cerdas dan berusaha keras, silakan meraih pendidikan tinggi yang murah untuk nantinya menjadi salah satu pemimpin masyarakat dan atau bangsa.
Dengan keberhasilan menempuh pendidikan di PTN tersebut, akan semakin banyak warga masyarakat yang diharapkan mengalami peningkatan kualitas penghidupan. Pada gilirannya, kelompok terdidik yang memiliki penghidupan lebih baik dari generasi orang tua mereka inilah yang akan turut memperkuat pembentukan kelas menengah di negeri ini.
Penguatan kelas menengah ini sangat penting dan memiliki arti strategis, karena dengan demikian mampu memperkokoh kesinambungan sistem demokrasi yang kita anut. Sejarah membuktikan bahwa sebagian besar negara maju yang memiliki kesejahteraan relatif tinggi, iklim demokrasi pun terjamin.
Bukankah Boediono, yang kini menjadi Wakil Presiden, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Gadjah Mada pada 24 Februari 2007 menyampaikan bahwa demokrasi akan dapat dipertahankan apabila pendapatan per kapita masyarakat berada di kisaran US$6.000 per tahun. Untuk mengejar angka tersebut bagi orang yang berpendidikan pas-pasan tentu saja amat berat. Saat ini saja, pendapatan rata-rata penduduk Indonesia baru mendekati US$3.000 per kapita.
Kalau pendapat Boediono itu diterjemahkan lebih jauh, tentu saja masyarakat kelas menengah yang kuat yang seharusnya dikembangkan negeri ini. Kelas menengah bukan hanya tahu bagaimana mematuhi hak dan kewajiban. Mereka juga mampu memerintah bagi kepentingan bersama, berdasarkan prinsip persamaan dan penghormatan atas individualitas setiap warga negara. Kelas tersebut haruslah diberi kesempatan untuk berkembang. (ahmad.djauhar@bisnis.co.id)
    Sumber : http://web.bisnis.com

0 Komentar untuk " Pendidikan mahal, ancaman bagi kelas menengah "
Back To Top