Belajar Menapaki Kehidupan & Berevolusi Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik.
Mutiara Hati

Visi :
"Menapaki Revolusi Era Baru Bangsa Indonesia Tahun 2045"
Sang Mutiara Hati. Diberdayakan oleh Blogger.
Anda Butuh Training Manajemen, Training SDM, Survey Kepuasan Pelayanan dan Research di Perusahaan Anda?

Peta Gerakan Pro-Pluralisme di Indonesia



Laporan Penelitian
Peta Gerakan Pro-Pluralisme di Indonesia;
Pola Transformasi dan Penggunaan Pengetahuan
Ahmad Suaedy – The Wahid Institute


A. Pengantar                                                    
Laporan ini didasarkan pada hasil penelitian tentang peta gerakan pro-pluralisme di Indonesia dengan fokus isu pada pola transformasi dan penggunaan pengetahuan. Sampel terdiri dari kelompok-kelompok pro-pluralisme di enam wilayah: Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Ambon. Pilihan ini diambil dengan pertimbangan bahwa di wilayah-wilayah tersebut problem-problem pluralisme makin mencuat dalam beberapa tahun terakhir.
Penelitian menggunakan metode gabungan antara review literatur, riset lapangan dan focus group discussion (FGD). Riset lapangan dilakukan dalam rentang waktu Februari hingga Maret 2008. Mewawancari rata-rata 5 organisasi dan 4 informan perorangan untuk masing-masing daerah. Mereka yang dipilih umumnya organisasi berbasis advokasi atau organisasi akar rumput dengan mempertimbangkan proporsi representasi antara organisasi-organisasi berbasis sekuler, agama, dan kelompok perempuan, serta mempertimbangkan kriteria-kriteria berikut: pertama, merupakan kelompok atau organisasi yang berpengaruh dalam isu-isu pluralism; kedua, merupakan kelompok yang memiliki jaringan kuat; ketiga, mempunyai program-program nyata; keempat, telah menunjukkan hasil nyata dari program-program yang telah dijalankan.
Perlu ditegaskan, penelitian ini lebih memfokuskan pada upaya memetakan tipe dan pola pengetahuan yang dikembangkan oleh kelompok pro-pluralisme paska Orde Baru, sekaligus proses transformasi pengetahuan tersebut ke dalam program dan kegiatan-kegiatan mereka. Karenanya secara khusus penelitian dimaksudkan untuk tujuan: pertama, mengetahui apa dan bagaimana para aktor pro-pluralisme memperoleh dan memahami beragam pengetahuan menyangkut isu-isu pluralisme; kedua, Mengetahui bagaimana para aktor pro-pluralisme merumuskan dan menerjemahkan pengetahuan tersebut ke dalam aksi dan gerakan mereka; ketiga, bagaimana format dan strategi penguatan gerakan pro-pluralisme?
Laporan penelitian ini berisi dua pokok. Pertama, konteks kelahiran kelompok pro-pluralisme berikut berbagai tantangannya. Ini dimaksudnya agar hasil penelitian mampu menyajikan konteks lebih utuh mengenai beragam faktor yang mempengaruhi muncul dan berkembangnya gerakan ini, berikut tantangan aktual yang dihadapi dewasa ini.
Kedua, terkait dengan berbagai temuan.  Di bagian ini terdapat enam tema pokok yang disajikan, yakni respon dan peran para aktor pro-pluralisme; isu-isu yang diperjuangkan; penggunaan Pengetahuan; simpul pengetahuan kalangan akademisi dan aktivis pro-pluralisme; tipologi pengetahuan yang dibutuhkan; dan metode transfer pengetahuan. Dua terakhir merupakan isu-isu penting yang menjadi rekomendasi penelitian ini.




B.   Beberapa Konsep
1.  Gerakan

Dalam konteks ini kata gerakan merujuk langsung pada konsep “gerakan sosial” (social movement). Beberapa ahli mendefiniskan gerakan sosial sebagai serangkaian perfomance perdebatan dan kampanye-kampanye yang dilakukan masyarakat dengan membuat klaim-klaim kolektif terhadap yang lain. Gerakan ini biasanya diikat oleh semangat untuk meneruskan  meneruskan eksistensi, meski mereka harus mengubah komposisinya. Selain menjadi kendaraan penting untuk berpartisipasi dalam urusan politik, gerakan sosial adalah upaya penentangan kolektif (kepada elit, pemangku kewenangan, kelompok-kelompok lain atau kode-kode budaya) dari masyarakat yang memiliki kesamaan tujuan dan solidaritas dalam interaksi antar mereka. Tujuan akhir gerakan ini adalah terjadinya perubahan fundamental dalam tatanan sosial. Namun demikian gerakan sosial dibedakan dengan partai politik atau kelompok kepentingan.
Term ini pertama kali diintrodusir tahun 1850 oleh seorang sosiolog Jerman, Lorenz von Stein dalam History of the French Social Movement from 1789 to the Present (1850). Charles Tilly, profesor Ilmu Sosial di Columbia Univerirsty, berpandangan bahwa perkembangan awal gerakan ini sangat terkait dengan perluasan ekonomi dan perubahan politik termasuk isu kapitalisasi pasar dan ploretariat.
Namun sejak era 80-an tema dan isu yang diangkat mulai merambah luas hingga ke isu-isu seputar hak perempuan, perdamaian, hak-hak sipil dan gerakan lingkungan. Gerakan terakhir ini kemudian dikenal dengan Gerakan Sosial Baru (New Social Movement) yang banyak berkembang di Eropa dan Amerika.  Yang membedakan dengan gerakan sebelumnya adalah gerakan ini tujuan universalistik yakni untuk mempertahankan esensi manusia dan memproteksi kondisinya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Relasi peran-peran struktural anggota yang tidak begitu jelas, beragamnya status sosial anggota kelompok ini seperti pemuda, orientasi seksual, atau profesi –dan membuat penjelasan struktur kelas tak lagi memadai—adalah ciri penting gerakan baru ini.
Sementera tiga ciri lain Gerakan Sosial Baru adalah:  pertama, gerakannya banyak berkelindan dengan isu-isu identitas seperti yang ditunjukkan oleh gerakan etnis di beberapa bekas negara Uni Soviet atau gerakan kemerdekaan di Palestina. Kedua, isu yang diangkat seringkali terkait dengan aspek personal dan mendalam dari dimensi kehidupan manusia seperti gerakan New Age, hak aborsi, atau anti-rokok. Ketiga, gerakannya seringkali muncul sebagai akibat krisis kredibilitas dari pola partisipasi konvensional dalam sistem demokrasi Barat. Keenam, gerakan ini cenderung tersegmentasi, menyebar, dan terdesentralisasi.


2.  Pluralisme

Secara sederhana pluralisme bisa diartikan sebagai realitas, kesadaran, sekaligus keterlibatan dalam keragaman (diversity). Merujuk Webster’s, pluralisme ini didefinisikan sebagai “a state of society in which members of diverse ethnic, racial, religious, or social groups maintain an autonomous participation in and development of their traditional culture or special interest within the confines of a common civilization”.  
Untuk menempatkan koanteks makna pluralisme ini rasanya penting mengemukakan pendekatan yang dikembangkan Richard J Mouw dan Sandra Griffioen terhadap istilah yang masih digugat sebagian kelompok ditanah air. Menurut keduanya, pluralisme dapat diletakan dalam dua makna: normatif dan deskriptif. Yang pertama adalah bentuk pemahaman yang berusaha menganjurkan (advocating) akan keanekaragaman, sementara yang kedua lebih sebagai pengakuan (acknowledging) atas keanekaragaman. Makna kedua ini jelas menegaskan hadirnya sebuah kenyataan tak terelakkan, bahwa manusia dengan segala konteksnya hidup dalam keberbedaan. 
Sementara itu jika pluralisme hendak dipahami sebagai makna normatif atau preskriptif, ia bisa diihat dalam tiga level: konteks budaya (contextual pluralism), asosiasi-asosiasi kelembagaan (associational pluralism), dan sistem nilai yang memberi arahan pada kehidupan manusia (directional pluralism).  Pada aspek terakhir inilah perdebatan konseptual bahkan hingga yang berujung kekerasan terjadi antara mereka yang dikategorikan kelompok anti-pluralisme dan mereka yang mendukung ide-ide pluralisme di Indonesia.
Dalam horizon yang senada, Diana L. Eck memberi kategori yang jelas tentang pluralisme. Pluralisme, kata Diana, tidak hanya sekadar fakta keragaman, tetapi keterlibatan aktif dalam keragaman. Pluralisme dengan begitu bukanlah sesuatu yang terberi (given), tapi sebuah pencapaian (achievement). Kedua, pluralisme bukan sekadar toleransi tetapi the active seeking of understanding across lines of difference. Ketiga, pluralisme bukan relativisme, tetapi the encounter of commitments. Pluralisme bukanlah usaha menghargai perbedaan dengan cara meninggalkan identitas dan komitmen masing-masing pihak. Keempat, pluralisme didasarkan pada dialog yang jujur dan terbuka.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa pluralisme tidak sepatutnya dipahami sebagai kata benda yang statis, melainkan sebuah kata kerja. Yakni sebuah usaha aktif untuk menciptakan situasi ideal tersebut; sebuah kerangka kerja untuk menciptakan tatanan kehidupan yang lebih terbuka dan demokratis.
Dengan merujuk pengertian gerakan sosial dan pluralisme di atas, konsep gerakan pro-pluralisme dalam penelitian ini dimaksudkan untuk merujuk kepada :
(a) Gerakan yang berusaha memperjuangkan dan merawat keragaman agama, kepercayaan, hak-hak politik, ekonomi, keadilan gender, etnis, budaya, dan lain-lain. 
(b)        Gerakan yang berusaha menciptakan kesadaran, kultur, dan kebijakan-kebijakan yang menjamin sekaligus mendorong keterlibatan aktif berbasis dialoh dalam dan melalui pluralitas.  
 
3.   Pengetahuan

Pengetahuan ini merujuk pada sekumpulan informasi yang dimiliki para aktor terkait isu-isu pluralisme dan demokrasi, termasuk setting sosial, politik, ekonomi, kultur di masing-masing lokal, berbagai pendekatan dan strategi yang mereka kembangkan.
Tentu saja konsep pengetahuan demikian tak bisa dilihat sebagai sesuatu yang universal dan netral seperti yang diusung tradisi pengetahuan modern. Pengetahuan dalam kontek ini erat kaitannya dengan konsep kekuasaan, rezim kekuasaan, periode historis, produksi pengetahuan, dan kebudayaan tertentu. Pengetahuan tidak hanya menunjukkan apa yang perlu dikatakan, tapi juga siapa, kapan, dan dimana harus berbicara –dan karenanya bukanlah sesuatu yang netral.
Dengan menggunakan pendekatan Michel Foucalt, misalnya, pengetahuan dapat menunjukkan relasi yang rumit antara pengetahuan itu sendiri dengan rezim pengetahuan, serta konteks historis yang melingkupinya.
Melalui pendekatan itu pula, lewat Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Dhaniel Dhakidae, misalnya, berhasil menunjukkan bagaimana Orde Baru memproduksi pengetahuan dan tumbuh menjadi, ia menyebutnya, “Neo-Fasisme Militer”.
Penggunaan akronim, eufemisme, dan disfemisme seperti cap PKI (Partai Komunis Indonesia), OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), atau subversif, Orde Baru sangat berhasil menancapkan pengetahuan yang dianggap benar dalam pikiran masyarakat. Buku itu juga berhasil menunjukkan jejaring kekuasaan dan pengetahuan yang diproduksi Orde Baru hingga ke dunia penelitian, organisasi kecendekiaan, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, dan HIPIIS, Universitas, Pers, Majlis Ulama Indonesia (MUI), atau CSIS (Center for Strategies and International Studies).
Tetapi kekuasaan tidaklah selalu bermakna negatif dimana ia selalu berusaha menyubordinasikan sekumpulan orang atas yang lain. Kekuasaan juga perekat yang menyatukan kehidupan sosial sekaligus yang membuka jalan bagi adanya segala bentuk tindakan, hubungan atau tatanan sosial. 
Kekuasaan Orde Baru, seperti juga ditunjukkan Dhaniel Dhakidae,  pada akhirnya melahirkan pula kekuasaan-kekuasaan dari kelompok-kelompok kritis yang menyerukan perlawan dan terbangunnya tradisi baru seperti diperlihatkan oleh para aktivis NGO , pemikir-pemikir muda dari kalangan Nadhliyin, dan orang-orang seperti Budiman Sudjatmiko atau Marsinah.
Dalam wacana kekuasaan, Foucalt sesungguhnya berhutang kepada Friedrich Nietzsche, seorang filosof Jerman pada abad ke-19, tokoh penting mazhab pemikiran postmodernisme. Nietzsche menggambarkan kebenaran sebagai “tentara metafora dan metonimia yang terus bergerak”.Kebenaran baginya bukan sekumpulan fakta, melainkan interpretasi-interpretasi yang terus-menerus diproduksi. Itu artinya, pengetahuan adalah pertanyaan yang tidak terkait dengan dunia sejati yang diyakini benar. 
Konsep penting Foucalt yang berguna untuk melihat jejaring pengetahuan dan kekuasaan dimulai dari pendekatan metodologis yang disebutnya dengan “arkeologi”.  Ini adalah metode untuk mengeksplorasi sejumlah kondisi historis nyata dan spesifik dimana berbagai pernyataan dikombinasikan dan diatur demi membentuk dan mendefinisikan suatu bidang pengetahuan atau obyek yang terpisah, yang mensyaratkan adanya seperangkat konsep dan penghapusan batas “rezim kebenaran” tertentu.
Jadi, Foucalt memang percaya, bahwa diskursus sebagai cara berbicara yang teratur untuk mendefinisikan, mengkonstruksi, dan memproduksi obyek pengetahuan adalah bersifat diskontinyu. Sebab, transisi dari satu era historis kepada era historis lainnya menurut Foucalt tidak lagi bisa dipersepsikan, dijabarkan, dan diketahui dengan cara yang sama.  Dan untuk mengetahuinya orang bisa membuktikan dengan menelusuri episteme-episteme yang terbentuk pada periode historis tertentu. Episteme adalah konfigurasi pengetahuan yang membentuk sejumlah praktik sosial dan tatanan sosial dari periode historis tertentu. Sedang proses dimana kondisi historis dan nilai-nilai tertentu berkembang dan sangat menentukan pembentukan cara bertutur tentang obyek tertentu ini dikenal dengan praktik diskursif.
Dengan pendekatan ini Foucalt menunjukkan betapa konsep mengenai kegilaan hadir secara berbeda dalam periode historis tertentu, khususnya abad pertengahan dan modern. Dalam Madness and Civilization (1961), Foucault mendokumentasikan bagaimana definisi kegilaan di kalangan elit tertentu pada komposisi elit tersebut, pada kebutuhan masyarakat akan orang-orang yang perlu disingkirkan; menggambarkaan bagaimana nalar itu diproduksi oleh rezim tertentu.
Dan dengan metode arkeologi ini pula diharapkan beragam bentuk dan proses produksi pengetahuan para aktor pro-pluralisme termasuk konteks historis yang melingkupinya bisa dipetakan.
Jika Arkeologi menyarankan adanya penggalian (excavation) masalah lalu dalam tempat tertentu, maka “geneologi” mengambil bentuk berupa pencarian kontinyuitas dan diskontinyuitas historis dari diskursus. Geneologi adalah pendekatan terakhir Foucalt yang lebih menitikberatkan pada kondisi material dan institusional diskursus dan operasi kekuasaan. Dengan pendekatan ini, Foucalt berhasil menunjukkan beroperasinya kekuasaan dan disiplin dalam pembentukan dan penggunaan pegetahuan dalam institusi-institusi seperti sekolah, penjara, dan rumah sakit. 

C. Beberapa Studi Terdahulu
Tampaknya belum banyak buku atau hasil-hasil penelitian yang secara khusus dan sistematis memotret bagaimana tipe dan pola pengetahuan yang dikembangkan aktivis pro-pluralisme sekaligus proses transformasinya untuk gerakan sosial. Tapi beberapa hasil riset berikut sangat membantu memberi informasi aktual mengenai peta gerakan pro-pluralisme berikut isu yang diusung termasuk berbagai tantangan yang dihadapi. Misalnya riset yang dilakukan Demos pada tahun 2004 tentang gerakan pluralisme di Indonesia dan Gerakan Muslim Progresif Paska Rezim Suharto di Indonesia (2007). Buku yang diterbitkan Madia, lembaga interfaith di Jakarta pada tahun 2001 juga sangat membantu melihat denyut perdebatan konseptual dan konteks sosio-kulturaldi tingkat lokal. Buku ini merupakan hasil dari catatan kegiatan dialog Madia dengan mitra lokal di empat daerah (DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan).
Buku yang cukup sistematis membicarakan gagasan dan gerakan pluralisme di Indonesia di antaranya adalah karya Budhy Munawar-Rahman (2003). Buku yang disunting Nur Achmad (2001), Abdul  Hakim dan Yudi Latif ( 2007) adalah dua di antara karya berbentuk bunga rampai yang juga mengangkat tema serupa.
Beberapa karya berikut juga cukup turut memperkaya pengetahuan konseptual seputar pluralisme. Di antaraya buku karya Anis Malik Thoha (2005), Jalaludin Rahmat (2006) dan Gamal Banna (2006). Selain itu ada karya lain yang lebih mengarah pada pemetaan gerakan. Sebut saja buku yang disunting Imam Tolkhah dan Neng Dara Affiah (2005), buku karya Fatimah Husein (2005), dosen UIN Yogyakarta dan mengambil gelar doktor di University of Melbroune, dan Saiful Muzani (2007).
Imam dan Neng Dara berupaya memotret beragam varian gerakan Islam yang lahir paska reformasi yang mereka bagi dalam tiga varian: Islam radikal, Islam sufistik, dan Islam kritis. Jaringan Islam Liberal (JIL), Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah dan Islam Emansipatoris P3M dalam buku itu dimasukan dalam tipe ketiga
Jika karya Fatimah Husein relatif gamblang memetakan kelahiran dan kiprah kelompok pro-pluralisme – ia menyebutnya inklusif—paska orde baru sekaligus sejumlah isu-isu pokoknya, maka karya Saiful Muzani Buku banyak memberi informasi aktual terkait peta gerakan pluralisme dan islamisme di Indonesia.  Dalam buku yang  didasarkan pada hasil dua riset berskala nasional itu, muzani menunjukkan fakta bahwa 54% muslim mendukung ide-ide yang diperjuangkan kelompok islamisme.

D. Konteks Kelahiran dan Tantangan
Secara garis besar kelahiran gerakan pro-pluralisme di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari problem dan tantangan yang muncul dari relasi antar tiga pilar penyokong kehidupan demokrasi negara-bangsa (nation-state): masyarakat sipil, negara, dan pasar. Sebagian besar akademisi dan teoritikus berpandangan, jika hubungan ketiga sektor ini relatif seimbang, maka kehidupan sebuah negara-bangsa relatif baik, begitupun sebaliknya. Berikut dalam gambar:












Masyarakat sipil adalah arena dimana kelompok warga negara berusaha mencapai kepentingan bersama melalui tindakan kolektif, dari hal-hal yang bersifat sosial, politis, hingga kultural. Mereka terdiri dari organisasi perkumpulan profesional, NGO, lembaga keagamaan, media, perkumpulan kelompok lokal atau lembaga-lembaga pendidikan. Sebagai kelompok yang beroperasi melampaui bidang keluarga dan individu, masyarakat sipil berhak meminta pertanggungjawaban institusi negara dan pasar.
Negara adalah wilayah publik yang menyentuh kehidupan semua warganegara sekaligus arena perpolitikan dimana keputusan tentang kebijakan publik, hak-hak rakyat, dan pembagian kekayaan masyarakat dibentuk dan ditantang.
Jika fokus masyarakat sipil pada kelompok warganegara, maka pasar cenderung memperlakukan orang secara individual, baik sebagai masing-masing pekerja atau konsumen. Pasar merupakan merupakan mesin ekonomi bagi masyarakat negara dan masyarakat sipil.
Di masa Orde Baru (Orba), hubungan ketiga sektor ini ditandai dengan peran dan kekuasaan negara yang begitu powerfull dalam mengontrol kehidupan masyarakat sipil. Kekuasaan Orde Baru –yang oleh Daniel Dhakidae disebut kekuasaan “neo-fasisme militer”--  menjadi produsen tunggal kebenaran nyaris di segala lini kehidupan sosial politik masyarakat, termasuk dalam urusan agama dengan kebijakan pendefinisasi agama resmi.
Kontrol serupa juga dijalankan Orde Baru terhadap pasar. Meski secara politik dikebiri, etnis Tionghoa misalnya, justru mendapat keistimewaan di bidang ekonomi. Pada tahun 1980-an, setelah reformasi ekonomi Orde Baru berlangsung, sekitar 70-75 persen modal swasta domestik dimiliki sebagian konglomerat Tionghoa yang memiliki hubungan khusus dengan elit politik dan keluarga Suharto. Komunitas etnis yang jumlahnya berkisar empat persen dari total penduduk Indonesia ini telah menangguk banyak keuntungan dari monopoli-monopoli perdagangan, proteksionisme, akses terhadap kredit dan kontrak-kontrak negara. 
Reformasi ekonomi yang gulirkan Orde Baru membawa konsekuensi lain. Demi mengantongi modal dari Barat termasuk Asia Barat dan Timur, pemerintah dituntut memastikan adanya stabilitas harga dan keamanaan, pemberlakukan deregulasi industri-industri domestik, dan pengurangan tarif-tarif protektif. Salah satu yang selanjutnya dilakukan Orde baru adalah membuat sistem kontrol terhadap sektor pertanian demi mengamankan keterjangkauan harga bagi penduduk kota yang terus meningkat.
Orde baru menjalankan kebijakan ekonomi yang sentralistik.  Sebuah penelitian tahun 1976- 1999 menunjukkan, hampir 90 persen aktivitas bisnis dan tenaga kerja terpusat di Jawa. Kebijakan inilah yang akhirnya memunculkan kritik dari kelompok civil society yang diwakili NGO, terutama sejak 80-an. Kelompok-kelompok ini di antaranya menyoroti ideologi developmentalisme ala Orde Baru. Mereka, termasuk NGO yang berkembang di lingkungan muslim, muncul menjadi salah satu kekuatan kritik strategis terhadap negara saat itu.
Perkembangan ini terus berlangsung dan telah membentuk jaringan yang lebih luas lagi hingga tumbangnya Orba. Kelompok-kelompok di lingkungan Islam, terutama yang berasal dari kalangan Nahdliyin, yang muncul paska Orde Baru adalah Lakpesdam NU, The Wahid Institute, ICIP, Jaringan Islam Liberal di Jakarta; LKiS di Yogyakarta; Incres di Bandung; Fahmina di Cirebon; Indipt di Kebumen; Averroes di Malang; Lapar di Sulawesi Selatan; Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) di Kalimantan selatan; LAIM (Lembaga Antar Iman Maluku), LKSP (Lembaga Kajian Strategis dan Pemberdayaan), dan Humanum di Maluku.   
Selain kelompok ini, tumbuh pula kelompok sipil yang berorientasi pada politik identitas dengan mengusung ide Negara Islam. Demi mencapai tujuan itu, kelompok islamis ini tidak jarang menggunakan aksi-aksi kekerasan. Belakangan muncul pula kekuatan sisa-sisa Orde Baru yang berkelindan dengan mereka. Dewasa ini kelompok tersebut nyaris menguasai public sphere melalui media massa dan penguasaan lembaga-lembaga agama seperti MUI atau ormas-ormas lain, termasuk beberapa kelompok paramiliter dan vigilante.
Dalam sidang Tahunan MPR-RI Tahun 1999 dan Tahun 2000, kelompok Islamis getol memperjuangkan agar Piagam Jakarta dimasukan dalam amandemen UUD 1945. Mereka adalah Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbuttahrir Indonesia (HTI), Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), Komite Persiapan Penerapan Syariat Islam (KPPSI) Cabang Sulawesi Selatan, Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, Front Hizbullah, Front Pembela Islam (FPI). Dalam bentuk partai terdapat Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembanguan (PPP), termasuk PKS (sebelumnya PK) meski tak dilakukan secara terbuka.
Setelah ditolak, mereka kemudian menggeser keinginan “mencantumkan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya itu”  ke dalam perubahan Batang Tubuh UUD 1945. Usaha itu tetap gagal. Selesai? Belum. Tak berhasil dipusat, mereka memperjuangkan keinginan ini di tingkat lokal melalui payung kebijakan otonomi daerah. Mereka berhasil menjadi penyokong sekaligus “marketing” bagi penerapan perda-perda bernuansa Syariat Islam. Tidak heran di sejumlah Peraturan Daerah (Perda) muncul di beberapa wilayah. Menurut catatan Robin Bush (2007) Perda-perda ini berjumlah 78 buah di 52 Kabupaten dan Kota. Itu belum termasuk Surat Keputuasn Gubernur, Bupati, dan Walikota, atau draf yang belum diketuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Berbeda dengan Orde Baru yang sentralistik, desentralisasi adalah salah satu ciri pengelolaan kekuasaan negara paska Orde Baru. Konsep itu diwujudkan dalam bentuk sistem pemilihan kepala daerah secara langsung (UU No. 25 Tahun 2004) dan otonomi daerah (UU No. 23 Tahun 2004). Sayangnya ketidaksiapan pelaksana di tingkat lokal menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah tampak menyimpan sejumlah paradoks.
Pertama, bangkitnya primordialisme lokal yang berbasis agama, etnis, dan kewilayahan. Di Maluku misalnya pembagian wilayah menjadi Maluku yang dihuni mayoritas Kristen dan Maluku Utara yang mayoritas muslim pada 1999 juga memunculkan tragedi perang sipil antar agama. Tampaknya dari sekian wilayah yang menjadi sampel penelitian ini, Maluku merupakan wilayah yang menghadapi tantangan pluralisme paling serius.
Meningkatnya kasus kekerasan dan penyesatan akhir-akhir ini, setidaknya paska Pemilu 2004, berbanding lurus dengan menguatnya kelompok Islamisme.
Dalam beberapa tahun terakhir, serangkaian kasus aksi kekerasan bermotif agama menjadi fenomena umum paska kekuasaan Orde Baru. Wahid Institute mencatat, sejauh bisa diakses melalui media, sekitar 27 kasus kekerasan berlangsung sejak 2004 hingga Februari 2006. Sepanjang Januari hingga Nopember 2007, Laporan Tahunan Setara Institute for Democracy and Peace mencatat telah terjadi 135 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sementara dalam laporan pengurus Persatuan Gereja Indonesia (PGI) dan Wali Gereja Indonesia kepada Komnas HAM pertengahan Desember 2007, sejak 2004-2007 sudah terjadi 108 kasus penutupan, penyerangan, dan pengrusakan gereja.
 Dalam beberapa kasus kelompok islamis seringkali “memanfaatkan” kelompok mayoritas seperti NU dan Muhammadiyah. Melalui ormas ini, mereka menelusup hingga ke desa-desa. Di Sulawesi Selatan, selain KPSI (Komite Penegakan Syariah Islam)–sebelumnya bernama KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariah Islam), Wahdah Islamiyah (WI) muncul sebagai organisasi Islamis cukup berpengaruh. Kelompok ini berhasil mempengaruhi Pemda untuk membuat proyek percontohan desa percontohan, puluhan sekolah, dan beberapa klinik.
Kedua, inefisiensi birokrasi dan lemahnya kapastitas legislatif dalam pembuatan undang-undang dan kontrol terhadap eksekutif. Sebagai contoh, pada September 2001 Kamar Dagang Indsustri (Kadin) mencatat lebih dari seribu peraturan lokal yang dinilai memberatkan industri seperti penetapan pajak dan biaya distribusi antar kota. Tidak heran jika penanaman modal asing pada 2002 menurun drastis menjadi 172 proyek dari sebelumnya berjumlah 250 proyek.
Ketiga, konflik pengelolaan sumber daya alam antara daerah kaya dan miskin. Untuk daerah kaya seperti Kalimantan Timur atau Riau, desentralisasi memicu keuntungan besar. Ini berbanding terbalik dengan daerah miskin, yang bahkan berdampak pengurangan alokasi dana dari pusat.    
Alih-alih melawan kebijakan sistem neo-liberalisme yang telah menyengsarakan rakyat seperti di masa Orde Baru, kebijakan-kebijakan yang dipilih pemerintah  justru seperti mendukungnya. Setiap kali terjadi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok masyarakat, pemerintah memandang itu sebagai perubahan yang normal dari hasil mekanisme pasar. Pemerintah lebih berorientasi pada peningkatan usaha menengah besar padat modal, tanpa mengimbanginya dengan dukungan terhadap usaha kecil menengah. Kebijakan yang tidak pro-poor ini juga dilakukan pemerintah-pemerintah di tingkat lokal. 
Kemiskinan adalah dampak nyata dari kebijakan tersebut. Jika menggunakan ukuran Bank Dunia, kategori miskin adalah mereka yang berpenghasilan di bawah 2 dollar AS, maka angka kemiskinan mencapai angka yang mencengangkan: 49 persen atau sekitar 108.7 juta jiwa (Bank Dunia, Oktober 2006). Sementara jika menggunakan ukuran Badan Pusat Statistik dimana kategori miskin adalah mereka yang berpenghasilan 110 ribu per bulan, jumlahnya mencapai 19,6 persen. Jika sebelumnya pertumbuhan ekonomi satu persen mampu menyerap 300-400 lapangan kerja, kini hanya mampu menampung sekitar 178.000 lapangan kerja.  Jumlah  pengusaha pun dari tahun ke tahun terus berkurang. Menurut catatan Badan Pusat Statistik 2006, Jika pada 2001 berjumlah sebanyak 2,8 juta, maka tahun 2006 menjadi 2,7 juta.
Perubahan peta sosial politik dari dan sesudah Orde Baru tentu saja membawa implikasi lain dari langgam dan orientasi program kelompok pro-pluralisme yang akan diuraikan selanjutnya.

E.        Beberapa Temuan:
1. Respon dan Peran Para Aktor Pro-Pluralisme
Secara umum pola pendekatan yang dikembangkan kelompok pro-pluralisme bisa dikategorikan dalam tiga tipe pendekatan: kebijakan publik, tindakan warga negara, dan transformasi. Lihat gambar berikut:
Ketiga pendekatan ini erat kaitannya dengan bagaimana para aktor memahami kekuasaan yang hadir dalam relasi antara pasar, negara, dan masyarakat sipil dan bagaimana memastikan bahwa kerja-kerja mereka mampu mempengaruhi keseimbangan relasi tersebut.
Dalam praktiknya sering dijumpai dimana para aktor menggunakan pendekatan campuran atau kombinasi dari ketiganya, yang juga bergantung pada konteks dan urgensitas masalah yang mereka hadapi. Pada kurun tertentu pola ini mungkin efektif digunakan, tetapi tidak cukup efektif untuk jangka panjang. Mereka perlu mempertimbangkan fokus, kapasitas sumber daya, dan tujuan yang hendak dicapai dari sekian kompleksitas masalah yang mereka hadapi.
Kelompok yang memilih pendekatan sekaligus bertujuan melakukan perubahan pada “kebijakan publik” biasanya cenderung menggunakan dan berpartner dengan kelompok-kelompok profesional untuk menyuarakan, memengaruhi atau “memenangkan” isu-isu pluralisme yang diusung. Contohnya lembaga-lembaga bantuan hukum atau para pakar.
Agar mudah “dimenangkan” lewat mekanisme yang tersedia, masalah dan isu-isu yang diusung biasanya lebih dipersempit dan lebih spesifik. Misalnya isu tentang pasal-pasal dalam Perda-perda yang bernuansa Syariat Islam, Rancangan KHUP, dan kasus-kasus hukum terkait penodaan agama. Pada saat yang sama, mereka juga berusaha membekali diri dengan berbagai pemahaman dan pengetahuan praktis seperti lobbying, litigasi, dan lain-lain.
Pendekatan ini biasanya didasari atas pertimbangan bahwa perubahan kebijakan dianggap penting agar masalah-masalah yang mereka suarakan ditangani para pengambil kebijakan; bahwa peran pakar, pelobi, dan informasi yang tepat sangat berpengaruh mencapai perubahan yang diinginkan; bahwa kekuasaan adalah produk dari kelompok mana yang menang dan yang kalah. 
Dalam isu Perda-perda bernuansa syariat Islam dan beberapa kasus penyesatan, beberapa kelompok seperti Puspek Averroes Malang, Lapar Makasar, dan LK3 di Banjarmasin menggunakan pendekatan ini. Seperti kasus Yusman Roy pertengahan 2005 silam, kegiatan advokasi Puspek Averroes dilakukan secara berjejaring dengan beberapa kelompok pro pluralisme di Malang, Jawa Timur, dan Jakarta. Kelompok profesional yang digandeng adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya yang kemudian menjadi tim pengacara Yusman Roy.
Berbeda dengan pendekatan kebijakan publik. Jika pola pendekatan itu melihat kekuasan pada siapa yang menang dan kalah, maka pendekatan “tindakan warga” lebih menekankan pada pertanyaan untuk menentukan masalah apa dan siapa pelaku yang pertama kali mencapai tujuan. Ini mengandaikan, apabila masyarakat mampu mengorganisir diri dan menjadi kelompok atau koalisi-koalisi yang kuat, maka mereka akan berhasil mengatasi masalah dan mengangkatnya menjadi masalah publik. Mereka bisa pula meminta pertanggungjawaban pihak tertentu terhadap masalah mereka.
Karena itu langkah yang dikembangkan kelompok pro-pluralisme tipe ini adalah mengorganisir kelompok-kelompok yang tadinya tidak terkelola dan terpinggirkan. Tujuannya agar kelompok itu bisa mengorganisir diri, menyuarakan kepentingan dan berpartisipasi langsung dalam proses pengambilan kebijakan publik terkait isu-isu yang menjadi concern mereka.
Untuk tujuan itu para aktivis mengembangkan sejumlah pendampingan dan pelatihan bagi organizer dan pemimpin warga setempat. Selain prinsip-prinsip pokok mengenai pluralisme dan demokrasi, bentuk keterampilan yang diberikan bisa berupa strategi koalisi, media, lobi, penggalangan dan lain-lain.
Beberapa tokoh dalam kelompok-kelompok yang didampingi itu mulai tampak terlibat dalam kegiatan-kegiatan jaringan pro-pluralisme. Mereka mulai memiliki kemampuan berkomunikasi dengan media, termasuk dengan pihak pemerintah.
Dibanding dua pendekatan sebelumnya, “pendekatan transformasi” lebih berdampak jangka panjang. Tujuan besar dari pendekatan ini adalah mencegah lebih dulu timbulnya konflik, dan pada saat yang sama membangun kesadaran masyarakat. Pendekatan ini diarahkan demi terjadinya perubahan politik melalui kontra diskursus dan kontra hegemoni, yang tidak hanya melalui community development.
Jadi, kekuasaan tidak lagi dipandang sebagai siapa yang menang dan kalah, siapa yang pertama kali berpartisipasi di dalamnya, tetapi bagaimana menginternalisir kesadaran bahwa kekuasaan seyogyanya dijalankan untuk tujuan ideal dan mengakomodir apirasi serta hak-hak mereka sebagai warga negara.
Selain keterampilan melobi dan membangun organisasi, pendekatan transformatif menekankan pentingnya pendidikan dan kesadaran yang lebih luas menyangkut kehidupan bersama sebagai warga negara, sekaligus kemauan mengatasi struktur yang merintangi mereka. Pendekatan ini menekankan pada pengalaman masyarakat sendiri dalam mengembangkan nilai-nilai dan kepemimpinan akar rumput yang demokratis.
Dalam  mengembangkan pendekatan ini, kelompok-kelompok pro-pluralisme berusaha menggandeng tokoh dan kyai-kyai lokal yang memang bersentuhan langsung dengan masyarakat –sembari tetap melakukan pendampingan bagi kelompok-kelompok korban. Kyai-kyai lokal ini dalam  pandangan The Wahid Institute dikategorikan sebagai “agamawan organik”. Istilah ini merujuk konsep “intelektual organik”-nya Antonio Gramsci, sosiolog kenamaan Prancis, untuk menyebut para intelektual yang tidak berdiri di menara gading tetapi melakukan perubahan nyata bersama masyarakat. 
Di Kalimantan Selatan terdapat nama-nama seperti Ilham Masykur Hamdie, pimpinan Lembaga Pendidikan Kader Dakwah Praktis (LKDP) Banjarmasin dan Habib Ali al-Habsyi yang mengelola Baitul Mal Wattamwil (BMT) Ar-Ridha Martapura dan mendampingi anak-anak jalanan. Ilham Masykur mantan aktivis mahasiswa HMI dan Forum Studi Ciputat (Formaci) Ciputat, sedang Ali al-Habsyi aktivis Walhi Kalsel.
Di Sulawesi Selatan, kyai-kyai organik yang digandeng, Ustad Imron Muin Yusuf pimpinan Pondok Pesantren Pondok Pesantren al-Urwatul Wutsqaa Benteng Baranti Kabupaten Sidrap. Sementara di Jawa Barat terdapat KH. Maftuh Cholil, Ketua PCNU Kota Bandung dan KH. Husein Muhammad, pendiri Fahmina dan pengasuh Ponpes Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon Jawa Barat dan anggota Komnas Perempuan. Selain langsung ke masyarakat bawah, tokoh-tokoh ini juga menjadi pembentuk opini melalui pernyataan-pernyataan mereka di media.
Dalam penelitian ini ditemukan pula munculnya kelompok-kelompok yang mengambil peran sebagai inisiator atau fasilitator di masing-masing lokal untuk isu-isu pluralisme. Kelompok menjadi semacam information center dan penghubung bagi kelompok-kelompok pro-demokrasi lain termasuk yang berbasis non-agama. Meski demikian, kelompok di luar kelompok inisiator ini tetap memiliki kemandirian dalam relasi gerakan termasuk pengembangan program-programnya.
Bagi kelompok yang berbasis non-agama, kelompok inisiator ini juga berfungsi membuka akses kepada tokoh-tokoh agama atau para intelektual untuk mendukung isu-isu yang mereka bawa dengan pendekatan agama.
Efektifitas gerakan pro-pluralisme di masing-masing lokal itu sebagiannya dipengaruhi oleh peran kelompok ini. Terkadang mereka sepertinya juga ikut mempengaruhi langgam gerakan pluralisme di masing-masing. Di satu tempat, kelompok pro-pluralisme cukup kuat pada bidang-bidang pendampingan masyarakat, tetapi agak lemah pada advokasi kebijakan yang membutuhkan lobi-lobi di tingkat elit. Sedang ditempat lain, kelebihannya justru pada jejaring dan kemampuan lobi di tingkat elit.
Di Malang terdapat Puspek Averroes yang menghubungkan dengan kelompok-kelompok lain seperti Lakpesdam NU Malang, Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB), Perempuan Antar Umat Beragama (PAUB), Pusat Studi Gender (PSG) UIN Malang, LBH Malang, Malang Corruption Watch (MWC), dan komunitas mahasiswa di beberapa kampus. Di Jawa Barat terdapat Incres dan Fahmina yang masing-masing menghubungkan ke kelompok-kelompok lintas agama dan kelompok perempuan serta komunitas pesantren.
Lapar adalah kelompok inisiator dan fasilitator untuk wilayah Sulawesi Selatan. Lapar yang berperan menjadi penghubung isu-isu pluralisme untuk kelompok-kelompok seperti PCNU Kota Makasar, Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP) Sulsel, Komunitas Inninawa, Lembaga Kajian dan Pengembangan  Masyarakat dan Pesantren (LKPMP). Di Kalsel peran ini diambil LK3 yang menghubungkan dengan organisasi-organisasi seperti Walhi Kalsel, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan. Sementara di Ambon ada LAIM yang berjejaring dengan dengan kelompok keagamaan di Maluku.
Secara umum peran dan jejaring kelompok pro-pluralisme dilihat dalam gambar berikut:



2.  Isu-isu yang Diperjuangkan
Seperti disebutkan sebelumnya, bagi mereka yang menggunakan pola pendekatan pertama, isu-isu yang diangkat ke permukaan biasanya lebih spesifik dan terukur. Sejauh ini isu-isu tersebut pertama, kasus penyesatan dan kekerasan terhadap kelompok dan aliran tertentu; kedua, penutupan dan regulasi tempat ibadah; ketiga, kristenisasi; dan keempat, regulasi bernuansa agama.
Isu-isu di atas kemudian diturunkan lagi dalam bentuk yang lebih operasional, biasanya berkait dengan persoalan hukum positif. Pada isu penyesatan dan kekerasan, salah satu problem yang dipersoalkan adalah relasi lembaga MUI dengan pemerintah. Isu tersebut diangkat untuk mengkritisi lebih jauh tentang status fatwa sesat MUI sebagai salah satu pemicu sejumlah aksi kekerasan. Lantaran MUI bukanlah lembaga negara, maka bagi kelompok pro-pluralisme fatwa tersebut tidak mengikat dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum untuk memutuskan sesat-tidaknya, terlarang-tidaknya kelompok tertentu. Mereka juga mendesak agar pemerintah merevisi atau bahkan menghapus sejumlah pasal-pasal terkait isu agama dalam Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KHUP) seperti pasal 156a tentang penodaan agama.
Dalam isu penutupan dan regulasi tempat ibadah, masalah pokok yang diangkat adalah Peraturan Bersama (Perber) No. 8/9 Tahun 2006 yang mengatur masalah pembinaan kerukunan umat beragama melalui pembentukan Forum Kerukunan umat beragama (FKUB) dan prosedur pendirian tempat ibadah. Di isu kristenisasi, problem hukum yang dipersoalkan adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri (Menteri Agam dan Menteri Dalam Negeri)  No. 1 tahun 1979 tetangal 2 Januari 1979 mengenai Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri. Isinya antara lain berupa larangan penyiaran agama yang sudah beragama dengan menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang, pakaian, dan lain-lain.
Isu yang diangkat terakhir jauh lebih jelas karena langsung merujuk pada produk-produk hukum di tingkat daerah yang bisa dikelompokkan menjadi isu-isu moralitas, penggunaan busana, keterampilan beragama, dan pemungutan dana sosial.
Ketika sejumlah produk tengah dirancang dan dalam proses diundangkan, kelompok pro-pluralisme banyak menggelar aksi-aksi secara berjejaring untuk memengaruhi opini dan kebijakan publik. Bentuknya berupa konferensi pers dan lobi-lobi ditingkat legislatif. Di lapangan mereka biasa berhadapan dengan kelompok Islamis sebagai pendukung peraturan-peraturan itu.
Bagi kelompok pro-pluralisme yang cenderung menggunakan pendekatan transformasi, isu-isu yang diangkat akan jauh lebih umum dan normatif. Isu-isu itu seperti dalam gambar berikut:


(a). Pluralisme. Isu ini mulai diusung paska Orde Baru seiring meledaknya konflik-konflik kekerasan di sejumlah daerah. Karena di masa-masa ini problem keagamaan lebih mencuat, pluralisme tampaknya lebih banyak dipandang dan berkutat di sekitar isu agama ketimbang sebagai isu yang lebih luas. Sejumlah doktrin agama yang dianggap menjadi pemicu kekerasan dan sikap anti toleransi, sekaligus yang mendukung nilai-nilai pluralisme, banyak dikaji dan menjadi materi pada program-program penguatan masyarakat.
(b). Multikulturalisme. Isu ini muncul sebagai kritik atas pluralisme, sekaligus pengembangan lebih lanjut dari upaya-upaya penguatan masyarakat yang tengah mereka lakukan. Pluralisme memang menunjuk pada penghormatan terhadap keberagaman agama, etnis, status sosial dan lain-lain. Tetapi kenyataan keberagaman ini masih ditandai dengan hubungan yang dominatif antara yang mayoritas dan minoritas dan karenanya bersifat diskrimatif meski tersamar.  Dalam multikultralisme perbedaan lebih diutamakan ketimbang kesamaan dan kesatuan. Dalam isu ini, berbagai unsur kebudayaan mendapat tempat yang sejajar di mata negara, secara individual atau kebudayaan. Karenanya gagasan ini dianggap lebih menguntungkan bagi kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyah atau komunitas lokal seperti komunitas Kajang di Sulawesi Selatan. Sejumlah tulisan yang melacar titik temu Islam dengan isu-isu multikulturalisme juga banyak ditemukan dalam tulisan dan media-media internal para aktivis pro-pluralisme
(c). Demokrasi. Meski belakangan gagasan demokrasi dihujani dikritik, tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia, sekitar 70 persen menurut hasil survei Pusat Pengembangan Islam dan Masyarakat (PPIM) pada 2001 dan 2002, masih percaya demokrasi adalah sistem terbaik bagi Indonesia. Kritik yang sering dilontarkan adalah bahwa demokrasi yang berjalan masih sebatas demokrasi prosedural. Karena tak membawa perubahan berarti, demokrasi seperti makin kehilangan legitimasinya di sebagian masyarakat. 
(d). Gender. Khususnya bagi para aktivis perempuan, konsep demokrasi, pluralisme atau multikulturalisme diyakini tak akan bermakna tanpa adanya kesetaraan gender. Antara gender dan ketiga konsep itu bak dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Karenanya dalam setiap isu yang mereka angkat, keterlibatan perempuan dan komitmen pada kesetaraan gender selalu menjadi pertimbangan penting. 
(e). Neo-Liberalisme. Isu ini juga sering menjadi materi dalam perbincangan gerakan pro-pluralisme. Bagaimanapun pluralisme tidak bisa tercapai tanpa adanya keadilan sosial yang justru terancam dengan kebijakan neo-liberalisme. Sistem inilah yang dituding sebagai biang kerok menganganya kemiskinan struktural di Indonesia yang juga memicu efek lanjutan berupa perda-perda bernuansa syariat Islam.
(f). Hak Asasi Manusia. Masalah-masalah yang diangkat dalam isu ini antara lain mengenai prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan serta hak-hak kelompok minoritas.
Sedang beberapa isu yang muncul dalam isu antara adalah:
(a). Penguatan ekonomi masyarakat. Jika masalah ekonomi dianggap salah satu faktor kunci, maka penguatan ekonomi masyarakat menjadi isu penting untuk diangkat. Dalam kasus-kasus pluralisme, harus diakui problem ekonomi hanya berada di bawah permukaan. Yang mencuat justru lebih banyak isu-isu agama.
(b). Pengelolaan Sumber daya alam. Serupa dengan penguatan ekonomi masyarakat, pengelolaan sumber daya alam adalah bagian tak terpisahkan dari penguatan ekonomi, terutama bagi masyarakat lokal. Di banyak tempat masalah ini yang memicu konflik antar desa, antara masyarakat lokal dengan perusahaan-perusahaan asing.       
(c). Korupsi. Seringpula didengar jika kemunculan perda-perda syariat yang diterbitkan merupakan taktik memoles citra sekaligus mengalihkan perhatian publik dari kasus-kasus korupsi yang mewabah. Korupsi dilihat sebagai akar lain dari problem sosial seperti kemiskinan, meningkatnya kriminalitas, lemahnya kualitas pendidikan dan lain. Isu-isu yang disorot pada dalam kasus ini antara lain soal penyalahgunaan pemakaian anggaran APBD. Beberapa organisasi dan tokoh sudah ada yang mulai menyuarakan proses pengalokasian APBD untuk penetapan dan sosialiasi Perda-perda bernunasa syariat Islam, termasuk masalah pengelolaan dana-dana yang diambil dari masyarakat seperti pengelolaan zakat, infak, dan shadakah sebagaimana tertuang dalam Perda.  
(d). Pro-poor budget. Isu dianggap sebagai salah satu standar penilaian apakah pemerintah lokal serius mengatasi problem-problem masyarakat miskin atau tidak. Misalnya anggaran untuk pendidikan dan kesehatan bagi warga miskin. Isu ini berkait erat dengan usaha-usaha yang tengah dilakukan kelompok pro-demokrasi lain untuk penguatan masyarakat.
(e). Pelayanan publik. Masalah-masalah yang diangkat antara lain sulitnya proses pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), buruknya layanan rumah sakit, dan sulitnya mendapat Asuransi Kesehatan bagi warga miskin.   
3. Penggunaan Pengetahuan
Tema pluralisme atau toleransi merupakan tema utama yang diusung sebagian besar kelompok yang menjadi sampel penelitian ini. Mereka juga menjadikan tema ini sebagai salah satu prinsip organisasi selain prinsip-prinsip lain seperti demokrasi dan keadilan gender.
Dengan latar belakang  yang kebanyakan sebagai aktivis kampus, penguasaan mereka terhadap teori-teori pluralisme relatif baik. Tidak berarti pengetahuan ini selalu diperoleh dari bangku kuliah. Acapkali pengetahuan itu bertambah dari pergaulan di lingkungan kampus, dunia ke-LSM-an, concern atau refleksi pribadi, dan tuntuan dari profesi yang dijalani.
Sejumlah nama-nama penting pengusung ide-ide ini dari Barat banyak menjadi rujukan. Sebut saja John Hick, Doktor dari Oxford, dan Diana L. Eck, Profesor Perbandingan  agama yang juga Direktur Pluralisme Project pada Harvard University.  Dari nama-nama ini mereka mempelajari sekaligus mengkritisi gagasan pluralisme yang mereka bawa, mulai dari sejarah dan konteks kelahiran gagasan pluralisme, prinsip-prinsip pluralisme, hingga berbagai perdebatan teoritik di dalamnya. Salah satu kritik yang sering muncul adalah seputar kompatibiltas konsep pluralisme Barat dengan kultur Indonesia. Ini pula yang sering dijadikan sasaran tembak kelompok Islamis terhadap kelompok pro-pluralisme dengan tudingan menjadi antek-antek Barat yang  akan menghancurkan Islam. 
Dari sini terus berkembang upaya-upaya penting untuk memamahami semangat pluralisme, tidak hanya dari pijakan agama tapi juga kultur lokal. Harapannya, agar pluralisme yang mereka perjuangkan bukanlah sesuatu yang dipaksakan dari luar, tetapi tumbuh dari masyarakat. Karena itu muncul diskusi-diskusi formal maupun informal tentang bagaimana sumber-sumber primer seperti al-Quran, Hadis, dan tradisi Islam memandang nilai-nilai keterbukaan sekaligus mempraktikannya; bagaimana Nabi Muhammad memperlakukan kelompok non-Muslim, perempuan dan pelaksanaan Syariat Islam.
Usaha ini sangat terbantu dengan hadirnya buku-buku yang mengusung tema-tema di atas, baik yang ditulis tokoh pesantren dan  akademisi di tanah air atau buku-buku terjemahan dari kelompok moderat di negara-negara lain terutama Timur Tengah. Penerbit LKiS Yogyakarta, Mizan, dan Serambi di Jakarta adalah contoh penerbit yang banyak mengusung tema-tema Islam dan keterbukaan. Fahmina Cirebon juga menerbitkan gagasan-gagasan KH. Husein Muhammad tentang pluralisme dan keadilan gender dalam persepektif Islam.
Pengetahuan menyangkut pluralisme dan sejarah serta tradisi lokal juga menjadi concern mereka. LK3 Banjarmasin, misalnya, banyak mengangkat wacana tentang praktik dan nilai-nilai toleransi dalam kultur Banjar; Lapar dengan kultur Bugis; Incres dengan kultur Sunda; dan Averroes dengan Tradisi Jawa, khususnya Jawa Timur. Ini muncul dalam sejumlah media penerbitan mereka baik dalam bentuk jurnal, buletin, buku, atau website. Dengan pemahaman ini mereka merasa lebih mengenal masyarakat yang dihadapi, khususnya kelompok yang menjadi target dari program-program mereka. Penguasaan pengetahuan ini bermanfaat baik sebagai pengetahuan akademis maupun praktis ketika terjun ke lapangan.
Dalam pertarungan wacana di antara kelompok pro-pluralisme dengan Islamisme di tingkat lokal, ini merupakan faktor yang amat membantu. Seperti diketahui, sebagian kelompok menggunakan wacana lokal untuk meraih dukungan masyarakat. Di Sulawesi misalnya, KPPSI berusaha membangkitkan wacana Sulawesi Selatan sebagai tempat berkembangnya gerakan DI/TII. Sementara di Kalimantan Selatan, kelompok Islamis menjadikan wacana Undang-undang Sultan Adam (1825-1857) tahun 1835 sebagai legitimasi penerapan syariat Islam melalui Perda.
Di luar isu utama, sebagian kelompok pro-pluralisme mengusung isu antara, yakni isu atau tema-tema yang bisa menjadi pintu masuk untuk memperluas konstituen atau faktor yang dianggap memperkuat keadaan pluralis sekaligus meminimalisir tantangan-tantangannya. Isu-isu itu antara lain seputar isu kemiskinan atau lingkungan. Isu kemiskinan khususnya bagi masyarakat miskin kota menjadi isu lain yang digarap Lapar Makasar. Sementara isu lingkungan dikembangkan LK3 Banjarmasin. Pada isu-isu kemiskinan, masalah-masalah penting yang diangkat adalah terkait policy pemerintah terhadap kelompok miskin, hak-hak kaum miskin seperti tempat tinggal, hak anak dan perempuan. Pada isu lingkungan, isu-isu yang mencuat adalah seputar ekploitasi sumber daya alam, korupsi pengusaha-penguasa, bencana alam dan hak masyarakat adat. Seringkali pendekatan keagamaan dipakai untuk melihat isu-isu lingkungan.
Umumnya para aktivis pro-pluralisme ini percaya, pluralisme bukan sekadar keadaan ideal yang normatif. Mereka yakin pluralisme harus diperjuangkan dengan cara mengatasi beragam tantangan aktual yang dihadapi, di tingkat lokal maupun nasional. Karenanya para aktivis juga berupaya mengup-dating pengetahuan mereka menyangkut masalah ini. Salah satu tantangan penting yang menjadi concern mereka saat ini adalah menguatnya gerakan Islamisme dan berbagai produk hukum seperti Perda-perda bernunsa syariat Islam.
Pada isu-isu Islamisme, masalah yang sering diperbincangkan adalah seputar jejaring gerakan di tingkat lokal, pola kaderisasi, isu-isu yang mereka perjuangkan, aktor-aktor utama kelompok tersebut, dan berbagai kasus intoleransi agama. Dampak pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, politisasi agama, serta kekerasan terhadap perempuan adalah masalah-masalah yang biasanya muncul terkait produk hukum. Mereka umumnya melakukan pemantauan terhadap isu-isu ini, khususnya lewat akses media cetak lokal.
Sebagian besar aktivis pro-pluralisme sadar, rutinitas program telah menyita waktu untuk meng-update pengetahuan dan meningkatkan skill mereka. Karenanya sebagian besar mereka biasanya mengagendakan diskusi, periodik maupun insidental. Selain rapat khusus organisasi untuk program tertentu, mereka biasa menggelar diskusi bulanan untuk meng-update isu-isu aktual sekaligus mengikuti perkembangan teori-teori terbaru.  Nara sumber yang diundang umumnya para akademisi yang menjadi jejaring mereka lingkungan kampus. Sebagian lagi dari para “senior” mereka dengan concern tertentu. Kelompok-kelompok ini juga sering memanfaatkan nara sumber yang menjadi jaringan di luar wilayah mereka yang kebetulan bertandang ke daerah mereka. Umumnya peserta kegiatan ini terbuka dengan mengundang jaringan sesama aktivis dan mahasiswa di beberapa perguruan tinggi. Kegiatan ini biasanya dimaksudkan pula sebagai kegiatan kaderisasi.
Terlibat aktif dalam milis-milis tertentu adalah pola transfer pengetahuan lain yang dirasa efektif dan cepat. Di sini biasanya sejumlah informasi seperti buku-buku terbaru, kasus-kasus aktual, tulisan-tulisan yang dinilai penting saling dipertukarkan dan didiskusikan. Beberapa milis yang mereka ikuti adalah akkbb@yahoogroups.com atau programpluralisme@yahoogroups.com yang menghubungan dengan para aktivis di daerah lain.
Metode Kerja
Dalam memperjuangkan isu-isu tertentu kelompok pro-pluralisme menggunakan beberapa metode, tergantung dari kecenderungan pendekatan yang mereka pilih dari ketiga pola yang sudah dijelaskan sebelumnya (Kebijakan Publik, Tindakan Warga, dan Transformasi). Beberapa metode itu antara lain, pertama metode riset. Metode ini umumnya dilakukan sebelum program dijalankan. Tujuannya untuk mendapat sebanyak mungkin informasi terkait masalah-masalah yang menjadi fokus program. Riset bisa dilakukan dalam bentuk riset pustaka maupun lapangan. Dalam riset terkait perda Syariat Islam misalnya, riset pustaka dilakukan dengan mengumpulkan kliping media, peraturan-peraturan, dan buku-buku terkait isu tersebut. Dalam merumuskan design riset, biasanya aktivis pro-pluralisme mengundang para akademisi untuk urun rembuk, terkait content maupun metodologi penelitian.
Dalam hal content beberapa isu yang diperbincangkan adalah seputar rumusan konseptual penelitian. Misalnya konsep pluralisme, masyarakat sipil, demokrasi, etnisitas, hukum, dan gender.  Sedang dalam metodologi berisi tentang tekhnik wawancara, penggalian data, dan perumusan hasil. LK3 misalnya berhubungan dengan beberapa akademisi di lingkungan IAIN Banjarmasin dan Unlam.
Bisa dikatakan riset model ini adalah “riset serius” dengan memenuhi “rukun” penelitian seperti dipelajari di lingkungan kampus. Tetapi tidak jarang riset yang lebih sederhana dilakukan dengan melakukan dialog informal dengan masyarakat dan tokoh-tokoh setempat.  Dari sini mereka mulai meraba-raba dan mereflesikan apa yang dianggap sebagai problem utama, kebutuhan untuk menjawab masalah, termasuk merumuskan peta dan pola hubungan para aktor terkait. 
Di luar kalangan akademis, pengetahuan terkait isu dan metodologi penelitian mereka dapatkan dari buku dan website yang menyediakan hasil-hasil penelitian seperti yang pernah dilakukan Demos Jakarta. Dalam amatan kami, buku-buku bertema penelitian kualitatif sering juga ditemukan dalam rak-rak perpustakaan kelompok ini.
Selai itu pengetahuan ini diperoleh melalui komunikasi by email dengan sesama aktivis pro-demokrasi yang berpengalaman dalam  soal metodologi atau isu-isu spesifik.  Cara ini cara “getok tular”. Sebut saja Puspek Averroes yang biasa berkomunikasi seputar metodologi penelitian kebudayaan misalnya dengan aktivis Desantara di Jakarta.
Kedua, advokasi. Metode ini biasanya merupakan tindak lanjut dari kegiatan riset. Advokasi merupakan tindakan atau usaha pembelaan atau memberi dukungan kepada kelompok atau isu tertentu. sejumlah pengetahuan yang umumnya digunakan para aktivis adalah menyangkut pola perumusan masalah, tujuan, target dan strategi advokasi. Selain itu juga kemampuan melakukan analisa problem di tingkat nasional maupun lokal; analisa terhadap kemampuan dan SDM yang dimiliki, stakeholder yang terlibat, termasuk taktik dan kegiatan apa yang dipilih. Misalnya apakah menggunakan taktik dan kegitan seminar, litigasi, lobi, konferensi pers, kampanye media, atau unjuk rasa.
Pada isu Perda bernuansa syariat Islam, Lapar Makasar dan LK3 di Banjarmasin, misalnya, menggunakan pola advokasi kebijakan dengan cara mengkritisi sejumlah perda yang dianggap mengancam nilai-nilai toleransi. Selain pendekatan HAM, perspektif khazanah keislaman khas pesantren menjadi bagian dari pendekatan kritis terhadap perda. Pada periode 2005-2006, Lapar menggelar advokasi kebijakan terkait perda-perda bernuansa syariat Islam yang terjadi di Kabupaten Bulukumba. Targetnya, adanya revisi, perubahan atau penghapusan beberapa isi Perda yang dianggap diskriminatif dan mengancam kehidupan pluralisme di wilayah tersebut.
Pengetahuan advokasi ini biasanya diperoleh dalam bentuk kegiatan capacity building, baik yang dilakukan secara internal dan periodik maupun dengan cara mengirim personil ke pelatihan atau worksho-workshop terkait. Cara lain dilakukan dengan kaderirasi berjenjang di mana personil baru didampingi para aktivis yang sudah berpengalaman dalam kegiatan-kegiatan tertentu. Selebihnya pengalaman di lapanganlah kemampuan advokasi mereka bertambah.
Ditemukan pula di mana transfer pengetahuan terkait isu advokasi terjadi dalam forum informal seperti acara perbincangan di warung kopi atau diwaktu-waktu senggang di sekretariat.   
Ketiga, community organizer. Metode ini dikembangkan dengan tujuan memperkuat kemandirian masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Ini juga menjadi bagian dari keberpihakan kelompok pro-pluralisme terhadap mereka yang dianggap sebagai kelompok terpinggirkan. Di sini pengetahuan-pengetahuan yang digunakan adalah kemampuan berkomunikasi dan persuasi, peta aktor, pemahaman terhadap kultur dan problem lokal, jejaring dengan tokoh lokal setempat.    
Sedang pada pendidikan untuk pemimpin kelompok setempat pengetahuan yang biasanya diangkat adalah seputar keterampalan kepemimpinan, strategi koalisi, media, lobi, atau penggalangan  dukungan. Kebanyakan metode ini dimulai dari kasus yang dihadapi masyarakat. Kelompok miski kota misalnya terbentuk dari kasus penggusuran.
Di Jawa Timur, Averroes melakukan pendampingan bagi komunitas Tengger sejak tahun 2005, komunitas Sodong dan kelompok minoritas korban peristiwa G 30 Surabaya tahun 1965 pada 2005, waria di Kabupaten Ponorogo, dan beberapa korban aksi kekerasan agama seperti jamaat GKJW Kedungkandang, kelompok Yusman Roy, dan Ali Toha; Lapar melakukan pendampingan untuk komunitas Ahmadiyah, komunitas lokal Kajang, Bissu dan Towani Tolottang; sedang Fahmina Institute untuk kelompok minoritas di sekitar Cirebon, seperti Ahmadiyah Manis Lor, kelompok Hidup Di Balik Hidup (HDH), dan Kelompok Dayak Indramayu.
Beberapa tokoh dalam kelompok-kelompok yang didampingi itu mulai tampak terlibat dalam kegiatan-kegiatan jaringan pro-pluralisme. Mereka mulai memiliki kemampuan berkomunikasi dengan media, termasuk dengan pihak pemerintah.
Keempat, pendidikan dan kampanye publik. Metode ini kebanyakan dikembangkan oleh mereka yang banyak menggunakan pola pendekaan transformatif. Format pendidikan disesuaikan dengan konstituen yang dihadapi. Di lingkungan masyarakat pesantren, pendidikan biasanya dilakukan dalam bentuk pengajian keagamaan seperti halaqah dengan menghadirkan tokoh-rokoh pesantren. Di lingkungan kampus, para aktivis menggelar road show diskusi yang menghadirkan para pakar.
Untuk kalangan umum, mereka biasanya melakukan kampanye di media massa dengan mengangkat isu-isu tematik. Selain dengan menerbitkan media internal mereka seperti buletin, majalah, website, atau jurnal, sebagian mereka juga bekerjasama dengan harian lokal dalam bentuk kerjasama pengisian rubrik tertentu. Isinya mulai berbentuk kolom, berita, dan hasil wawancara.  Ada pula yang bekerjasama dengan teve dan radio lokal. Biasanya mereka memanfaatkan pengaruh tokoh-tokoh di lingkungan akademisi atau tokoh lokal maupun nasional.
Sejumlah Tantangan
            Hingga saat ini masih terdapat sejumlah tantangan dalam proses mengakses dan menggunakan pengetahuan para aktivis. pertama, kemampuan Bahasa. Tidak sedikit para akivis pro-pluralisme yang menyadari kesulitan mengakses informasi atau literatur dalam bahasa Inggris. Hal ini juga menjadi kendala tersendiri untuk mengkomunikasi isu-isu yang diperjuangkan mereke ke level internasional.
Kedua, lemahnya database. Umumnya kelompok-kelompok ini memiliki data-data penting  yang mereka hasilkan dari lapangan. Namun lantaran lemahnya pendataan dan pengarsipan, data-data tersebut tak tersaji dengan baik. Kalaupun ada biasanya dimungkin karena kebutuhan program.  
Ketiga, terbatasnya akses terhadap media dan literatur. Sebagian besar mereka mengaku sangat membutuhkan kiriman media, buku, atau hasil-hasil riset terkait isu-isu yang mereka perjuangkan, khususnya dari jaringan mereka yang ada di pusat-pusat informasi seperti Jakarta dan Yogyakarta.
Keempat, regenerasi. Ini memang menjadi masalah aktual yang saat ini dihadapi kelompok pro-pluralisme. Mereka kesulitan untuk mencari kader-kader yang bisa melajutkan dan mau terlibat dalam program-program mereka. Tidak banyak yang berkomitmen untuk menekuni atau terjun dalam dunia aktivisme. Ini juga bisa saja menjadi indikasi lemahnya strategi kaderisasi di lingkungan pro-pluralisme, di tengah gencarnya kaderisasi kelompok islamis yang mulai terbangun sejak sekolah menengah atas.    
4. Simpul Pengetahuan Kalangan Akademisi dan Aktivis Pro-Pluralisme.
            Relasi yang saling menguntungkan dan membutuhkan adalah bentuk yang tampak menonjol dalam relasi akademisi dengan para aktivis pro-pluralisme. Bagi para aktivis, para akademisi adalah stakeholder yang menentukan pembentukan opini publik. Mereka adalah bagian dari yang menyuarakan tema-tema yang diangkat para aktivis. Tidak hanya itu, akademisi juga dianggap kelompok yang mengisi pengetahuan teoritik mereka yang umumnya terbiasa bekerja di lapangan, sekaligus kelompok antara yang menghubungkan dengan kelompok lain seperti mahasiswa, akademisi lainnya, termasuk ke jaringan media massa. 
Sebaliknya, bagi para akademisi, temuan-temuan para aktivis di lapangan sangat berharga mempertajam keilmuan mereka. Tampaknya adapula kesadaran bahwa kelompok aktivis dilihat sebagai pihak yang memberi “panggung” bagi mereka sehingga di kenal lebih luas. Sering juga ditemukan fakta di mana para aktivis dilibatkan dalam beberapa proyek penelitian mereka.
Mulanya jejaring ini terbentuk karena ikatan visioner tentang isu-isu tertentu. Tetapi faktor jaringan kultural dan keorganisasian juga hal lain yang menentukan. Di lingkungan aktivis yang berlatar belakang Nahdlatul Ulama, misalnya, faktor kultural ini yang dipakai untuk membangun sekaligus mengembangkan relasi dengan akademisi yang berlatar belakang NU. Begitupun dengan jalur keorganisasian kemahasiswaan seperti HMI, PMII dan lain-lain.
Lapar, misalnya, berhasil membangun jaringan ke tokoh-tokoh seperti Qassim Mattar, dosen IAIN Alaudin Makasar, Prof Dr. Azhar Arsyad, Rektor UIN Alaudin Makasar, Dr. Nurhayati Matammeng aktivis perempuan, Dr. Kadir Ahmad, Kepala Litbang Departemen Agama Sulsel, Drs Mardianto, Ketua Koordinasi Muballig se-Indonesia dan dosen STAIN al-Ghazali Bulukumba, Dr. M. Arfin Hamid pengamat hukum Islam dan Ketua Program non-Reguler Fakutas Hukum Universitas Hasanudin Makasar.
Umumnya jaringan ini terbangun dari inisiasi para aktivis pro-pluralisme. Apalagi ini seringkali menjadi dalam program-program mereka. Namun dalam beberapa kasus, inisiasi itu datang dari para akademisi terkait dengan kebutuhan aktivitas akademis seperti penelitian, penulisan makalah, dan lain-lain. Karena itu mereka umumnya memiliki informasi tokoh-tokoh akademisi berikut dengan kriteria dan concern masing-masing.
Pola kerja simpul ini memang tidak selalu terstruktur. Banyak ditemukan, kedua kelompok ini berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi, namun tetap diikat oleh kesamaan visi. Misalnya komentar tokoh-tokoh akademis mengenai kasus-kasus pluralisme di daerah dan solusi penyelesaiannya.      
Medium Interaksi
Medium interaksi kedua kelompok ini (pro-pluralisme – akademisi) beragam. Salah satunya melalui melalui media internal kelompok pro-pluralisme. Melalui media ini para aktivis membangun komunikasi, menggali pikiran dan sikap para akademisi terhadap isu tertentu. Perbincangan-perbincangan informal namun penting dan strategis untuk dilewatkan biasanya muncul paska wawancara. Di media internal mereka, produk komunikasi ini bisa berbntuk hasil wawancara, berita, atau kolom.
Tidak jarang kelompok pro-pluralisme menerbitkan karya-karya para akademisi yang dinilai penting  dan cocok untuk tujuan mereka. Misalnya yang dilakukan LK3 dengan menerbitkan buku saku karya Mukthar Sarman, dosen Fisip Unlam, seputar wacana Perda Ramadhan di Banjarmasin.  Di buku ini penulis tetap kolom Refleksi di Banjarmasin Post ini banyak mengkritisi kebijakan tersebut.
Mengundang mereka sebagai nara sumber dalam seminar atau diskusi publik tertentu, termasuk menjadi peserta aktif dalam kegiatan brainstoarming dalam perumusan program-program tertentu atau kegiatan evaluasi program dan kelembagaan adalah medium interaksi lain. Dalam kasus tertentu seperti kasus Yusman Roy di Malang, salah seorang akademisi juga bertindak sebagai saksi ahli.
Penguatan Hubungan
Penguatan hubungan antar kedua kelompok dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, membangun jaringan dengan para akademisi muda. Yang dilakukan tentu saja dengan memberi mereka forum tertentu agar mereka bisa bebas menuangkan gagasannya. Misalnya dengan menjadikan mereka sebagai pembicara dalam forum diskusi bulanan atau program-program yang tengah dikembangkan. Bisa juga dengan cara memberi ruang mereka di media-media internal kelompok pro-pluralisme, termasuk merekomendasikan untuk kegiatan wawancara di media massa umum. Usaha ini tentu saja perlu didukung dengan semacam penjaringan informasi atau pendataan para akademisi potensial dan seide yang tersebar di kampus-kampus. 
Kedua, sinergi kegiatan antara kegiatan kelompok pro-pluralisme dengan akademisi. Kegiatan penelitian adalah salah satu program yang relevan untuk itu.
Ketiga, memaksimalkan pertukaran informasi dan pengetahuan. Temuan-temuan yang diperoleh dari lapangan seyogyanya bisa dikemas para aktivis pro-pluralisme dengan baik agar bisa disuarakan atau diolah lebih lanjut oleh tokoh akademis. Caranya bermacam-macam. Bisa melalui penggandaan produk-produk dari jaringan yang dimiliki masing-masing kelompok pro-pluralisme, di tingkat lokal maupun nasional, untuk kemudian diberikan atau diteruskan ke para akedemisi. Produk-produk itu biasanya berupa buletin, jurnal, hasil riset, artikel-artikel di internet dan lain-lain.  
 
5. Tipologi Pengetahuan yang dibutuhkan
Untuk memaksimalkan gerakan pro-pluralisme, tipe pengetahuan yang tampaknya dibutuhkan dalam perumusan program mereka adalah :
NO
ISU UTAMA
ISU ANTARA
METODE

Pluralisme
         Teori, tokoh, sejarah dan konteks gerakan pluralisme di Barat dan perkembangan kontemporernya
      Konsep pluralisme dalam doktrin dan tradisi Islam dan perdebatan kontemporernya
      Pengetahuan seputar setting politik, ekonomi, dan kultur lokal.
      Tantangan-tangan Pluralisme di Indonesia
o Islamisme. Pengetahuan tentang tipologi dan karakteritik gerakan, tokoh utama, pola kaderisasi, jejaring di level nasional dan lokal, media penyebaran, serta dampaknya bagi kehidupan demokrasi di Indonesia
o    Policy negara seperti KHUP pasal penodaan agama dan perda-perda bernuansa syariat Islam.
Kasus-kasus aktual di level nasional dan lokal terkait isu pluralisme
      Informasi komparatif isu pluralisme dan strategi perjuangan di negara-negara lain






Kemiskinan dan Pelestarian Lingkungan
  Teori-teori kemiskinan dan lingkungan
     Analisa kebijakan terkait isu-isu kemiskinan di Indonesia
     Pengetahuan seputar setting lokal terkait isu kemiskinan dan lingkungan
     Strategi-strategi pemberantasan kemiskinan dan lingkungan
     Konsep Islam tentang kemiskinan dan lingkungan








Riset
  Metodologi dan desain riset kualitatif
     Perumusan hasil riset dan rekomendasi aksi
Advokasi
        strstegi perumusan masalah, tujuan, target, analisis isu dan output
     Analisis dan penguatan stakeholder
     Taktik dan kegiatan advokasi
Community Organizer
         Komunikasi dan persuasi massa
      pendidikan untuk kepemimpinan lokal
      Penggalangan massa
      monitoring dan evaluasi kegiatan
Pendidikan
  Pengeloaan dan penggunaan media
        Tekhnik Monitoring
        Tekhnik kampanye media
6. Metode Transfer Pengetahuan; Beberapa Rekomendasi
Berikut metode yang bisa dikembangkan untuk penguatan pengetahuan para aktivis pro-pluralisme. Pertama, diskusi berkala. Metode ini dirasakan cukup efektif terutama untuk pengayaan pengetahuan konseptual terkait isu-isu utama dan isu antara yang diusung oleh masing-masing kelompok. Strateginya bisa dengan cara mengundang para akademisi untuk mengundang mereka mendiskusikan karya-karya ilmiah seperti tesis atau disertasi. Bisa juga dengan mengundang tokoh-tokoh agama yang menguasai isu-isu tertentu. Selain personil, peserta diskusi bisa terbuka untuk kalangan luar seperti mahasiswa atau aktivis pro-demokrasi lain.
Jebakan metode biasanya terletak menjadi perdebatan akademis seperti dijumpai di lingkungan kampus. Karena itu perlu pula untuk diselingi dengan diskusi-diskusi insidental untuk merespon kasus-kasus aktual baik yang muncul di level lokal maupun nasional.
            Kedua, In House Training. Metode ini dilakukan dengan mendatangkan langsung mentor dengan concern tertentu ke tempat dimana para aktivis bergiat dan dilakukan secara terencana dan terjadual. Metode ini lebih efektif jika dilakukan secara bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan program tertentu. Dengan begitu, mentor bisa langsung memantau, berdiskusi, sekaligus mengevaluasi kondisi aktual yang dihadapi dan dicapai para aktivis pro-pluralisme. Metode ini bisa diterapkan untuk tujuan pelatihan penguatan skill para aktivis di bidang advokasi atau riset lapangan.
Peserta kegiatan ini seyogyanya dipilih secara ketat. Mereka adalah para personil yang diproyeksikan atau yang bertanggung jawab di bidang ini. Betapapun kegiatan ini memerlukan komitmen dan waktu cukup agar hasil yang diharapkan bisa tercapai secara maksimal. Durasinya bisa terdiri antara 1-3 bulan, atau lebih dari itu tergantung kebutuhan.
Ketiga, workshop. Metode ini lebih pas untuk tujuan penguatan pengetahuan konseptual sekaligus praktis. Temanya bisa tematik sesuai tema-tema yang berkembang dengan berbagai turunanya. Misalnya tema pluralisme, demokrasi, multikulturalisme, gender, lingkungan, atau kemiskinan. 
Selain menghadirkan beberapa narasumber yang kompeten, workshop juga berisi sharing ide guna merusmukan hal-hal strategis seperti strategi dan taktik program. Cakupan peserta workshop bisa dibagi menjadi dua. Untuk konteks lokal, nasional, atau regional.
Di level lokal, para peserta terdiri dari stakeholder seperti para akademisi agamawan atau pemimpin lokal. Sedang di level nasional atau regional, peserta terdiri dari perwakilan-perwakilan aktivis pro-pluralisme di masing-masing daerah. Forum ini sekaligus sebagai forum urun rembuk dan update untuk informasi-informasi aktual yang terjadi di tempat masing-masing.
Keempat, produksi dan penerbitan media. Di sini, tujuan kegiatannya bisa dibagi menjadi dua: peningkatan kapasitas teoritik dan praktis. Untuk kebutuhan yang pertama bentuknya bisa berupa penebitan buku-buku terjemahan dari para pemikir baik yang ada di Timur Tengah atau dunia Barat. Penerbitan seri tesis dan disertasi para intelektual Tanah Air, atau hasil-hasil riset untuk tema-tema tertentu. Tentu saja produk semacam ini punya target pembaca yang relatif terbatas.
Untuk tujuan kedua, produk yang dihasilkan bisa berupa penebitan buku saku atau panduan untuk tema-tema seperti strategi advokasi, strategi kampanye media, teknik evaluasi dan monitoring, dan lain-lain. Selain buku, medianya bisa dalam format VCD dan DVD dengan isi materi yang lebih simpel. Media seperti ini lebih up to date dan ringkas.
Di luar itu, sirkulasi pengetahuan dapat dikembangkan melalui media cetak berkala yang selain untuk tujuan peningkatan wawasan sekaligus menjadi media komunikasi antar mereka. Dari sini mereka bisa mengup-date informasi aktual tentang perjalanan masing-masing mereka. Pilihan media semacam ini perlu mempertimbangkan apa yang menjadi kebutuhan pembacanya, termasuk aspek design media.
Salah satu kelemahan media cetak adalah pada proses produksi hingga distribusi yang relatif panjang, termasuk masalah biaya yang dikeluarkan. Salah satu yang menjadi alternatif adalah pemanfaatan media online. Media ini relatif mudah dan ringkas. Tidak pula membutuhkan banyak tenaga. Tapi di daerah, tidak semua mereka memiliki kemudahan mengakses internet. Ini bisa dilihat dari kenyataan sebagian kelompok pro-pluralisme tidak memanfaatkan secara maksimal media online untuk publikasi kegiatan dan isu-isu yang mereka bawa.
Rekomendasi Program
Seperti kelompok pro-demokrasi, tantangan mendasar kelompok pro-pluralisme adalah usaha membangun keseimbangan relasi di antara ketiga pilar penting: civil society yang mandiri; negara yang kuat dengan peraturan-peraturan yang mendukung nilai-nilai demokrasi; dan pasar yang peduli pada kesejahteraan sosial.
Dalam usaha itu sesungguhnya gerakan mereka selama ini telah membentuk pola pendekatan tertentu dengan beragam kelebihan dan kelemahannya. Karenanya program-program yang hendak dikembangkan ke depan seyogyanya mempertimbangkan apa yang telah mereka capai sejauh ini.
Kelompok yang selama ini memiliki kelebihan dalam pendekatan “kebijakan publik” pada akhirnya harus terus memperkuat jejaringnya ke kelompok-kelompok yang selama ini cenderung menggunakan pendekatan “tindakan warga” dan “transformasi”. Bagaimanapun “kemenangan” memengaruhi kebijakan publik juga ditentukan oleh sejauhmana dukungan yang diberikan civil society yang kuat dan mandiri. Perlu juga diingat, seperti pengalaman yang ditunjukkan di beberapa negara, kelemahan kelompok dengan pendekatan “kebijakan publik” ini adalah hubungan mereka dengan akar rumput. Umumnya mereka berkembang sebagai gerakan sosial profesional yang dikritik tak cukup memiliki konstituen di akar rumput. Dalam isu-isu pluralisme, program-program yang bisa dikembangkan kelompok ini ke depan antara lain:
1). Melakukan analisis dan evaluasi terhadap sejumlah regulasi yang selama ini dianggap mengancam nilai-nilai toleransi. Misalnya revisi KHUP pasal penodaan agama, evaluasi terhadap sejumlah peraturan atau Perda-perda bernuansa syariat Islam. Untuk memaksimalkan kerja-kerja ini tentu saja perlu didukung dengan kemampuan database yang memadai.
2). Memengaruhi kebijakan dan wacana publik aktual dalam isu-isu pluralisme seperti peran MUI atau Bakorpakem dalam isu-isu kekerasan agama. Untuk tujuan ini dibutuhkan kegiatan monitoring yang terencana dan kontinyu agar kasus-kasus pluralisme terus bisa dipantau.
3). Penguatan jaringan dan peningkatan kemampun lobi di level elit seperti ormas keagamaan, anggota parlemen, kelompok birokrasi, kelompok profesional, jaringan internasional, dan media massa. Upaya ini bisa juga dikembangkan untuk mendorong aktor-aktor pro-pluralisme “menguasai” lembaga-lembaga strategis seperti MUI, FKUB, dan birokrasi negara.
Sementara bagi mereka yang selama ini terbiasa dengan pendekatan “tindakan warga”, program yang bisa dikembangkan adalah:
1). Advokasi dan pendampingan terhadap kelompok korban kekerasan agama atau kelompok minoritas yang rentan menjadi korban. Program ini dikembangkan agar kelompok ini memiliki ruang sekaligus kemampuan untuk bersuara, menyalurkan aspirasi, sekaligus memengaruhi kebijakan untuk kepentingan kelompok mereka. Untuk itu diperlukan upaya memperkuat kepemimpinan dan organisasi di lingkungan mereka.
2). Pembentukan kelompok atau organisasi rakyat berbasis agama atau non agama. Isunya bisa dimulai dari beragam isu seperti pendidikan, lingkungan, ekonomi dan lain-lain. Untuk isu-isu di luar agama tentu saja sinergi dengan kelompok pro-demokrasi lain menjadi amat penting. Suara para pimpin agama, baik yang berorganisasi maupun yang individual sangat penting untuk mendorong partisipasi masyarakat dan pengetahuan tentang pluralisme dan tantangan-tantangannya.
3). Penguatan penyadaran nilai-nilai pluralisme bagi organisasi rakyat atau kelompok akar rumput yang telah terbentuk, terutama bagi kelompok yang bukan berbasis agama. Karena fokus utamanya pada isu, seringkali isu-isu yang dianggap tidak terkait langsung dengaan isu yang tengah mereka hadapi, tetapi amat berhubungan dengan kehidupan demokrasi, tidak menjadi perhatian mereka. Sekadar contoh, kelompok PKL atau buruh di Banjarmasin yang terbentuk dengan dukungan Walhi misalnya, tidak banyak terlibat untuk merespon Perda Ramadhan yang sesungguhnya juga berdampak pada kepentingan mereka. Karenanya usaha ini memerlukan sinergi yang kuat dengan kelompok-kelompok yang tidak berbasis agama.
Bagi kelompok yang cenderung menggunakan pola pendekatan transformasi, maka program-program yang dapat dikembangkan selanjutnya bisa berupa:
1). Penguataan kepemimpinan lokal. Salah satunya dengan melahirkan dan mempromosikan tokoh-tokoh lokal dan kelompok yang disebut “kyai-kyai organik”. Merekalah yang kelak berfungsi sebagai loudspeaker bagi isu-isu toleransi dan pluralisme. Mereka juga memiliki peran strategis karena langsung berhubungan dengan akar rumput
2). Kampanye dan penyadaran publik. Program ini bisa dilakukan bekerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan, formal maupun informal, atau melalui media massa.  
3). Memperkuat jejaring dengan kelompok-kelompok strategis seperti NU dan Muhammadiyah. Seringkali arus peneriman ataau penolakan publik terhadap wacana pluralisme salah satunya ditentukan oleh respon kelompok-kelompok strategis ini.






Daftar Pustaka

Achmad, Nur, dkk (ed), Pluralisme Agama; Kerukunan dalam Keragaman, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2001
Agger, Ben, Teori Sosial Kritis; Kritik, Penerapan dan Implikasi (Terj), Yogyakarta; Kreasi Wacana, 2003
Aspinall, Edward and Greg Fealy, Local Power  and Politic in Indonesia; Decentralisation and Democratisation, Singapore, ISEAS, 2003
Banna, Gamal, Doktrin Pluralisme dalam al-Quran (terj), Bekasi, Penerbit Menara, 2006 
Barker, Chris, Cultural Studies; Teori dan Praktik, Jakarta, Kreasi Wacana, 2004
Dhakidae, Daniel, Cendikiawan dan kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta, Gramedia, 2003
Fakih, Mansour , Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial, Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996
Gunawan, Jamil, dkk, Desentralisasi, Demokrasi, dan Demokrasi Lokal, Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 2005
Hadar, Ivan A. “Telaah Paradigmatis Pemberantasan Kemiskinan, Jurnal Dinamika Masyarakat Vol VI, No. 3 (Desember 2007), hal. 1265-1266
Hakim, Abdul dan Yudi Latif (ed), Bayang-Bayang Fanatisme; Esai-esai Mengenang Nurcholis Madjid, Jakarta, PSIK-Paramadina, 2007
Husein, Fatimah, Muslim-Christian Relations in The New Order Indonesia; The Exclusivist dan Inclusivist Muslim’s Perspectives, Bandung, Mizan, 2005
Larana, Enrique at all. (eds), New Social Movement; From Ideology to Identity, Philadelphia; Temple University Press, 1994
Miller, Valerie, dan Jane Covey, Pedoman Advokasi; Perencanaan Tindakan dan Refleksi, (terj), Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005
Mujani, Syaiful, Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Paska Orde Baru, Jakarta, Penerbit Gramedia bekerjasama dengan PPIM, Yayasan Wakaf Paramadina, Freedom Institute, dan Kedutaan Besar Denmark, 2007
Mulya Firdausy, Carunia, “Kebijakan Ekonomi dalam Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia,” Jurnal Dinamika Masyarakat Vol VI, No. 3 (Desember 2007), hal 1251
Rachman, Budhy Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta, Penerbit Paramadina, 2001 
Rachmat, Jalaludin, Islam dan Pluralisme; Akhlak al-Quran Menyikapi Perbedaan, Jakarta, Penerbit Serambi, 2006
Rumadi dan Ahmad Suaedy (ed), Politisasi Agama dan Konflik Komunal; Beberapa Isu Penting di Indonesia, Jakarta, The Wahid Institute, 2007
Saidi, Anas (ed), Menekuk Agama, Membangun Tahta; Kebijakan Agama Orde Baru, Jakarta, Desantara, 2004.
Suaedy, Ahmad , “Pluralisme Sebagai Kerangka Kerja” dalam Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya, Yogyakarta, Kanisius, 2007
_____________“Gerakan Muslim Progresif Paska Rejim Suharto di Indonesia”, Jakarta,  2007
Sugiarto, Toto , “Kemiskinan, Demokrasi Terkonsolidasi dan Keutuhan Bangsa”, Jurnal Dinamika Masyarakat Vol VI, No. 3 (Desember 2007), hal. 1293-1294
Sutanto, Trisno S. dan Martin L. Sinaga (ed), Meretas Horizon Dialog; Catatan dari Empat Daerah, Jakarta; Madia, ISAI dan TAF, 2004
Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama; Tinjauan Kritis, Jakarta, Penerbit GIP, 2006
Tolkhah, Imam dan Neng Dara Affiah (ed), Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru; Gerakan Merambah Dimensi Baru Islam, Jakarta, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagaman Depag, 2005
Van Bruinessen, Martin and Farid Wajidi,  “Syu’un ijtima’iyah and the kiai rakyat: Traditionalist Islam, Civil Society and Social Concerns,” dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Indonesian Transitions, Yogyakarta, Pusataka Pelajar, 2006
W. Hefner, Robert, Islam Pasar Keadilan; Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi, (terj) Yogyakarta, LKiS, 2000
Yusuf Lubis, Akhyar,  Dekonstruksi Epistemologi Modern, Jakarta, Pustaka Indonesia Satu, 2006

Majalah dan Jurnal
Forum Keadilan, Edisi Nomor 39, 31 Desember 2000
Tempo Edisi No. 36/XXX/5, 11 Nopember 2001
Journal of Islam ,Vol 01, No.1, June 2007, hal. 2-6
Jurnal Dinamika Masyarakat Vol VI, No. 3, Desember 2007
Internet
http://chairulakhmad.wordpress.com/2008/04/02/giat-berdakwah-di-tengah-kelemahan-fisik/ Diakses 1 April 2008
http://www.demosindonesia.org/pdf/atun-MEMBINGKAI%20PLURALISME%20DALAM%20DEMOKRASI.pdf. Diakses 28 Desember 2007
http://en.wikipedia.org/wiki/Social_movement, diakses 28 Desember 2007.
http://www.pluralism.org/research/articles/cop.php?from=articles_index  diakses 28 Desember 2007.
http://www.merriam-webster.com/dictionary/Pluralism akses 1 April 2008
http://www.wahidinstitute.org/download-article/Kekerasan.pdf. diakses 1 April 2008
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/12/tgl/14/time/171917/idnews/867292/idkanal/10> diakses 1 April 2008
www.wahdah.or.id Diakses 12 mei 2008
http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/SUPLEMENGATRA/gatraedisi-ii.pdf diakses 1 April 2008
Mailing list:
Advokasi-kub@yahoogroups.com
programpruralisme@yahoogroups.com


Apendiks I: Deskripsi Singkat Kelompok Pro-Pluralisme Berbasis Agama
INCRES (Institute for Culture and Religion Studies). Organisasi yang berdiri sejak 1999 ini didirikan dan dikelola beberapa mantan aktivis pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di beberapa kampus di Kota Bandung. Pandangan mereka tentang pluralisme diterjemahkan dengan membentukJakatarub (Jaringan Kerja Antar Umat Beragama), wadah yang memfasilitasi berbagai inisiatif membangun hubungan yang harmonis antar agama dan komunitas-komunitas lokal. Wadah ini berisi para aktivis interfaith di kota Bandung. Di lingkungan akademisi, INCRES berjejaring dengan beberapa akadmisi di IAIN Bandung, Universitas Katolik Parahyangan dan Universitas Kristen Maranatha.
Fahmina Institute. Organisasi ini didirikan tahun 2001 di kota Cirebon, Jawa Barat. Seperti background kebanyakan para pendirinya, konstituen utamanya adalah masyarakat pesantren. Isu-isu pluralisme, demokrasi, gender, Hak Asasi Manusia, diterjemahkan dengan pendekatan yang khas pesantren dengan merujuk sekaligus menggali khazanah yang tersedia pada kitab-kitab klasik. Di luar isu itu Fahmina juga mengembangkan isu-isu seperti korupsi, budget daerah, dan pendampingan untuk komunitas-komunitas lokal di sekitar Cirebon seperti kelompok Hidup Di Balik Hidup (HDH), Kelompok Dayak Indramayu, dan lain-lain.
Puspek (Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan) Averroes. Meski tidak secara tegas mengatakan sebagai kelompok berbasis agama, tetapi banyak programnya Puspek banyak bersentuhan dengan isu-isu agama. Lembaga yang berdiri sejak 1997 di kota Malang ini mengkhususkan diri menggarap bidang kajian agama dan filsafat, pelatihan dan penelitian tentang isu-isu kelompok marginal, multikulturalisme, dan pluralisme. Kelompok yang berpersoni 14 orang, sebagiannya adalah mahasiswa di beberapa kampus di kota Malang, ini mengembangkan program-program pendampingan terkait isu komunisme, aliran sesat, dan kebudayaan lokal. Sejak dua tahun lalu, Puspek Averroes melakukan kegiatan monitoring untuk isu-isu keagamaan yang terjadi di wilayah malang.
PAUB (Perempuan Antar Umat Beragama).  Format organisasi yang lahir pada 29 Juni 2002 di kota Malang ini dipimpin enam presidium dari masing-masing agama: Islam, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu. Konstituennya utama kelompok perempuan dari beragam agama. Di masa-masa awal, forum ini banyak mendiskusikan dan sharing pengalaman antar anggota mengenai kehidupan keberagamaan. Isu-isu aktual seperti konflik agama dan terorisme juga diangkat dalam diskusi-diskusi awal mereka. Belakangan forum yang kali pertama difasilitasi DPPW GKJW ini mulai membicarakan isu-isu kemiskinan, gender, reproduksi dan menggelar pelatihan-pelatihan untuk penguatan ekonomi bagi ibu-ibu rumah tangga. Cabang PAUB kini tersebar di beberapa Ponorogo, Pacitan, Madiun, Ngawi, Tulungagung, dan Kediri.
Lapar (Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat). Seperti Puspek Averroes, Lapar juga tidak menegaskan dirinya sebagai lembaga berbasis agama. Tetapi sebagian besar program terkait isu-isu agama. Sejak tahun 2001 Lapar mengusugng isu-isu pluralisme melalui kegiatan roadshow di beberapa kampus, koran dan radio-radio lokal. Ketika isu Perda-perda bernuansa syariat Islam mencuat di Sulawesi Selatan, Lapar menggelar riset dan program-program advokasi. Dalam isu-isu kebudayaan, Lapar mengembangkan program pendampingan bagi komunitas-komunitas lokal seperti komunitas Kajang, Bissu dan Towani Tolottang. Selain itu lapar juga menggarap komunitas petani, dan kelompok miskin kota di Kota Makasar. Lapar didirikan 17 April 1999 di Kota Makasar Sulawesi Selatan. 
LK3 (Lembaga Kajian Keislaman & Kemasyarakatan). Sejak didirikan pada 18 Januari 1994 oleh sejumlah aktivis alumnus pesantren dan akademisi, LK3 telah meletakan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, dan nilai-nilai keislaman yang terbuka sebagai nilai-nilai dasar organisasi ini. Sejak berdiri lembaga yang kini dipimpin salah aktivis perempuan ini banyak menggelar berbagai pelatihan tentang isu-isu keislaman dan demokrasi di lingkungan mahasiswa dan pesantren. Terkait Perda-perda bernuansa syariat Islam, LK3 juga menggelar riset kebijakan termasuk lobi dan hearing ke DPRD setempat. Di luar itu LK3 menyelanggarakan program pemantauan pilkada, budget daerah, dan isu-isu korupsi. LK3 juga punya perhatian serius pada kajian khazanah-khazanah lokal.        
Forum Dialog (Forlog) Kalsel. Ini merupakan salah satu forum yang diinisiasi beberapa aktivis LK3 untuk isu-isu dialog antar agama. Lahir tahun 2000, forum ini dijalankan oleh para koordinator dari kalangan muslim, kristen, Budha, Hindu, atau kelompok lokal. Setahun lalu, Forlog membentuk Forum Agama Lintas Iman disingkat Fali. Anggotanya sekitar 30 orang, terdiri dari aktivis mahasiswa dan beberapa guru dari bergam latar belakang agama. Fali menggelar studi agama-agama sejak tahun 2007, termasuk memasukan materi kepercayaan lokal di dalamnya. Di tingkat lokal jaringan Forlog adalah para aktivis mahasiswa dan akademisi di beberapa kampus seperti Sekolah Tinggi Teologi dan IAIN Banjarmasin.

Apendiks II: Deskripsi Singkat Kelompok Pro-Pluralisme Berbasis non-Agama
Placid’s Averroes (Public Policy Analysis and Community Development Studies). Lembaga yang berdiri sejak 2004 ini merupakan lembaga di bawah yayasan Averroes Community. Bedanya dengan Puspek, seperti jelas tampak dari nama concern utamanya adalah seputar kebijakan publik di wilayah Malang. Dalam perumusan kebijakan publik, Placids Averroes memandang penting tingkat partisipasi masyarakat sebagai salah satu ukuran berkualitas atau tidaknya proses demokratisasi. Program-program yang dilakukan saat ini antara lain sekolah Sekolah Demokrasi untuk kalangan umum, kampanye kesadaran publik melalui media massa, dan advokasi bagi partai politik. PLaCID juga melakukan pendampingan untuk petani.
LPMA (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat) Borneo Selatan. Programnya baru dimuali pada 1998, meski LPMA sudah berdiri pada Juli 1997 di kota Banjarmasin. Kelompok sasaran yang dibidik selama ini adalah masyarakat di dua Kabupaten di sekitar Pegunungan Meratus: Hulu Sungai Tengah dan Kota baru. Di masa-masa awal program LPMA lebih banyak pada upaya revitalisasi kelembagaan adat. Tetapi sejak beberapa tahun belakangan, lembaga dengan delapan personil ini mulai concern pada pengembangan ekonomi masyarakat adat. Bagi mereka ini adalah salah satu pintu masuk pemandirian sekaligus problem yang konkrit dihadapi masyarakat adat. Dua organisasi rakyat yang berhasil di bentuk adalah Kesatuan Dayak Alai (KDA) Meratus dan Organiasi Ekonomi Masyarakat Adat (OEMA) Gunung Kalawan. Organisasi yang terakhir sengaja dibentuk untuk memperkuat posisi tawar mereka dalam pengelolaan usaha ekonomi terutama pemasaran madu dan karet.
WALHI Kalsel. Kekuatan penting organisasi lingkungan yang didirikan beberapa aktivis pecinta alam ini adalah pembentukan dan pengorganisasian organisasi rakyat di Kalimantan Selatan. Ada sekitar delapan organisasi rakyat (nelayan, petani, komunitas lokal, dengan jumlah sekitar 1500 orang) yang berhasil dibentuk. Sebagian besarnya dimulai dari kasus-kasus konflik terkait dengan pengelolaan sumber daya alam antara pengusaha dan pemerintah setempat. Pembentukan organisasi-organisasi ini merupakan salah satu strategi mempekuat bargaining position mereka. Bagi Walhi, salah satu tantangan serius untuk isu lingkungan dan agama adalah kolaborasi para pengusaha perusak lingkungan dengan tokoh-tokoh agama di Kalimantan Selatan.
Komunitas Ininnawa. Komunitas yang diaktekan pada Juni 2000 ini didirikan oleh puluhan mahasiswa jurusan Sastra Inggris, Universitas Hasanuddin. Fokus utamanya menggali dan membedayakan memberdayakan nilai-nilai budaya lokal”. Inninawa memiliki perhatian serius pada minat baca masyarakat Sulawesi Selatan yang mendorong mereka mendirikan komunitas baca yang diberi nama Biblioholic. Konstituen utama mereka adalah para pelajar dan generasi muda. Inninawa memiliki jaringan cukup kuat ke sekolah-sekolah favorit di kota Makasar. Inninawa memiliki penerbitan yang khusus menerbitkan materi-materi terkait isu Sulawesi Selatan. Beberapa aktivis Inninawa adalah adalah inisiator lahirnya situs panyingkul, media online favorit bergaya citizen journalism. 
FPMP (Forum Pemerhati Masalah Perempuan). Forum yang kini dikelola oleh 33 personil ini merupakan organisasi berbentuk jaringan dari beberapa organisasi perempuan. Ada sekitar 11 organisasi yang menjadi jaringannya, beberapa di antaranya LBH APIK, Solidaritas Perempuan, Kelompok Perempuan Indonesia. Forum yang diketua aktivis perempuan senior di Sulawesi Selatan ini mengembangkan berbagai kegiatan pelatihan, advokasi lapangan, dan program penguatan jejaring ke pemerintah daerah tingkat I menyangkut pemberdayaan perempuan melalui APBD. FPMP juga menggelar berbagai kampanye anti kekerasan terhadap perempuan. Ketika isu perda syariat Islam mencuat, forum ini adalah salah satu organisasi yang menolak.
LAIM (Lembaga Antar Iman Maluku). Lembaga ini sebenarnya leih tepat disebut komunitas karena meskipun ada struktur pengurus dan kantornya, tetapi cara kerjanya lebih fleksibel dan luwes. Didirikan untuk merespon kekerasan-kekerasan antar agama pada tahun-tahun reformasi, LAIM merangkum hampir semua unsur agama dalam masyarakat, termasuk birokrasi agama seperti Departemen Agama dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) Maluku, selama mereka bersedia untuk berdialog dan bekerja sama. Program-programnya pun bervariasi dari diskusi yang serius sampai aksi sosial dan santai seperti kampung bersama antar agama. Dari strktur pengurusnya pun sangat plural dari segi latar belakang agama. Dr. John Ruhulesin, tiga tahun terakhir menjadi ketua Senode Gereja Protestan Maluku (GPM) dan Dr. Abidin Wacano, dosen IAIN Ambon dan juga tokoh NU adalah ua orang pendirinya yang menonjol.
Lembaga Kajian Strategis dan Pemberdayaan (LKSP). Keprihatinan yang sama menginspriasi lahirnya LKSP, namun mereka secara sadar lebih memilih bekerja di level intelektual dan wacana. Mereka melakukan riset, menulis di media, dan bicara di radio dan juga di ceramah-ceramah tetapi lebih intelektual. Lembaga ini memang lahir dan dikelola oleh para dosen muda di IAIN Manado sepereti Abu Bakar Kabakaran, Hasbullah Toisuta dan Abidin Wacano. Meski demikian, tantangan mereka tidak lebih ringan dari organisasi massa atau NGO, karena di IAIN sendiri kelompok radikal juga snagat kuta, terutama masa ketika Ambon atau Maluku dilanda perang awal 2000an. Kata mereka, untuk beberapa media secara sengaja menyediakan halaman untuk mereka untuk menyuarakan apa yang mereka sebut, kemanusiaan dalam Islam.
Humanum. Adalah lembaga yang mengkhususkan diri pada pemberdayaan perempuan, terutama di level masyarakat bawah. Meskipun tidak berasumsi bahwa oragnsiasi berlatar belakang agama tetapi situasi sosial politik di Maluku yang kental masalah agama, mau tidak mau bersentuhan dengan isu tersebut. Pemberdayaan masyarakat dan perempuan, dalam konteks Maluku dan Ambon hampir tidak bisa dilakukan tanpa rekonsiliasi, karena kenyataannya sebagian besar ada ketegangan dan pertentangan akibat perang. NGO ini lahir jauh sebelum reformasi dan karena itu juga jauh sebelum perang, tetapi saat ini mau tidak mau mereka mengambil sisi rekonsiliasi dengan berbagai aspeknya, bukan hanya dari sudut agama melainkan juga sosial politik seperti batas tanah korban kekerasan yang menjadi probelm besar bagi mereka. Humanum dikoordinasi oleh Jusmalinda Holle. Humanum juga menjadi bagian dari konsorsium NGO yangbekerja untuk rakyat di bawah, yaitu Baeleo dimana George Carputy sebagai Sekjen.
Apendiks III: Deskripsi Singkat Tokoh dan Kyai-kyai Lokal
M Ilham Masykur Hamdie (45 tahun) Pimpinan Lembaga Pendidikan Kader Dakwah Praktis (LPKDP) Banjarmasin Putra KH. Rafi’i Hamdi, tokoh agama Banjarmasin
Komitmennya pada isu-isu pluralisme tak diragukan. Disertasi S-2 nya mengkaji pemikiran Nurcholis Madjid tentang pluralisme agama. Bagi kelompok-kelompok pro-pluralisme di Kalimantan Selatan, alumnus S1 Usuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Jurusan Filsafat Islam (1989) ini memiliki posisi stretagis membumikan gagasan pluralisme di masyarakat bawah. Lulusan pesantren Pabelan Jawa Tengah ini penceramah di  majlis-majlis taklim kampung. Ia juga mengisi rutin cermah agama di di BanjarTV dan radio Nirwana setiap hari. Belum kiprah para alumni LKDP yang menjadi mubalig di masjid-masjid di sekitar Banjarmasin. Di luar itu ia berkiprah di banyak organisasi: Kepala Seksi Pemberdayaan Masjid Kanwil Departemen Agama, Wakil Ketua Badan Amil Zakat Provinsi Kalsel periode 2007 – 2009, Sekretaris Bidang Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Kalsel, Sekretaris Umum Departemen Pendidikan dan Latihan Dewan Mesjid Indonesia (DMI) Kalsel periode 2007-2012, Ketua Bidang Pendidikan Badan Pengelola Masjid Raya Sabilal Muhtadin Banjarmasin.
Ali Al-Habsyi Martapura (42 tahun) Pengelola Baitul Mal Wattamwil (BMT) Ar-Ridha Martapura
Bermodal 54 juta rupiah, sebagiannya keluar dari kantong pribadinya, kini BMT yang dikelolanya sudah memiliki omset sekitar 5 milyar. Anggotanya lebih dari 2000 orang. Untuk sistem mudharabah (bagi hasil) sekitar 1500-an orang, 1.000 santri untuk tabungan reguler, dan 1.000 orang yang kebanyakan ibu-ibu tercatat sebagai penabung gula ramadhan, semacam tabungan yang akan diambil menjelang ramadhan. Aktivis Walhi Kalsel dan LPMA ini juga pernah membidani beberapa BMT di Kalimantan Selatan Selatan di antaranya BMT yang dikelola NU Banjarmasin Di luar aktivitas ekonomi, alumnus fakultas Ekonomi Unlam ini juga mendampingi sekitar 90 para pamulung Martapura, dan 100 para pedagang kaki lima Murjani Banjarbaru sejak tahun 2000. Sudah setahun ini mantan aktivis HMI Unlam ini menggelar pengajian bagi sekitar 50 orang anak-anak punk yang diberi nama Pengajian Kaki Langit. Mereka sering melakukan pengajian santai di tempat terbuka. Dari Pasar Martapura, rumahnya yang bisa ditempuh selama 10 menit mengguanakan sepeda motor menjadi basecamp bagi kelompok-kelompok dampingannya.
Dr. Abdul Kadir Ahmad (48 tahun) Ketua Tanfidz Pengurus Cabang NU Kota Makasar dan Ketua Litbang Depag Sulawesi Selatan
Awal Februari 2008, pada peringatan Hari Lahir Nahdlatul Ulama Sulsel, lelaki ini diganjar NU Award bersama enam tokoh lain yang dianggap berjasa terhadap pengembangan NU di wilayah tersebut. Di masa-masa awal kepemimpinannya sebagai Ketua Tanfidziah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Makasar 2003 – 2007, Abdul Kadir memulai program kerjanya dengan berusaha menunjukkan eksistensi organisasi NU yang sebelumnya “tidur”. Caranya dengan membuat papan nama-papan nama NU terutama untuk ranting-ranting yang dianggap paling aktif. PCNU Kota Makasar juga mencetak kalender NU yang dipasang di hampir 500 masjid yang diklaim dikelola warga Nahdliyin. Lewat Litbang Depag Sulawesi Selatan, gagasan tentang pluralisme juga muncul dalam bentuk penelitian dan dilaog-dialog dengan komunitas umat beragama dan komunitas-komunitas lokal. Ia punya perhatian serius pada problem menguatnya gerakan wahabisme di Sulawesi Selatan.  
Halilintar Latief (56 Tahun) Pimpinan Lembaga Latar Nusa dan Ketua Pusat Penelitian Seni Budaya dan Pariwisata Universitas Negeri Makasar (P2SBP-UNM).
Di Sulsel, pria kelahiran Sengkang – Wajo ini di kenal sebagai seorang budayawan yang dekat dengan komunitas lokal seperti Komunitas Kajang, Bissu, dan Towani Tolottang. Sekarang ini, lembaga Latar Nusa yang berdiri sejak 1987 telah berhasil melahirkan sejumlah seniman Sulsel dengan beragam spesifikasi seperti seni lukis dan pementasan. Sejumlah karya tentang kebudayaan dan komunitas lokal telah dilahirkan. Disertasi untuk gelar doktornya di bidang Antropologi Unhas tahun 2005 mengupas dalam mengenai kepercayaan masyarakat Sulawesi Selatan melalui pendekatan antropologi budaya. Ia punya konsep tentang Serambi Nusantara Merawat Keberagaman, semacam forum yang ingin memfasilitasi dialog berbagai komunitas etnis seperti etnis Tionghoa, India dan komunitas lokal seperti Tolotang, Bissu di Sulawsi Selatan. Bersama Endo Suwanda, Pendidikan Seni Nusantara (PSN) Jakarta ia mengembangkan berbagai pelatihan multikultur untuk guru-guru sekolah di tiga provinsi: Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara.
KH. Imran Muin Yusuf (36 Tahun) Pimpinan Pondok Pesantren Al Urwatul Wutsqaa Benteng Baranti Kabupaten Sidrap
Cucu AGH Muin Yusuf mantan ketua MUI Sulawesi ini pernah membuat sikap anggota MUI Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan terbelah. Ia mengusulkan Raperda Pemberantasan Miras direvisi menjadi Raperda Pengendalian Miras, kata yang memberi implikasi berbeda dalam operasional penanganan miras di lapangan. Selama ini pemerintah dinilai lebih banyak potong kompas untuk mengatasi problem sosial yang terjadi tanpa bisa memberi solusi. Menutup produksi Miras tanpa solusi hanya melahirkan problem baru seperti meningkatnya angka pengangguran. Yang diperlukan adalah pembatasan distribusi dan kontrol yang ketat agar miras hanya dikonsumsi untuk kalangan terbatas. Akhirnya usul Wakil Ketua Syruriah Pengurus Cabang NU Kabupaten Sidrap  2004- sekarang ini disetujui DPRD Sidrap. Ia juga dikenal dekat dengan komunitas lokal Tolotang dan para pemimpin tokoh lintas agama. Baru-baru ini Imran Muin Yusuf terlibat dalam pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Kabupaten tersebut. Ini adalah lembaga yang dimandatkan Peraturan Bersama No. 8/9 Tahun 2006 sebagai forum lintas agama sekaligus yang berwenang memberi izin pendirian rumah ibadah.
KH. Imam Ghazali Said (48 tahun) Pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo Surabaya
Karena gagasan-gagasan kritisnya, sebagian kyai di kalangan NU Jawa Timur menganggapnya sebagai kelompok liberal. Sebagai saksi ahli dalam persidangan kasus shalat dua bahasa Yusman Roy, Ia bersikukuh bahwa jaran itu tidak sesat. Dalam khazanah Islam, praktik ini punya landasannya meski bukan pendapat yang populer. Atas sikapnya itu, Ketua Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Subaya periode 2005-2010 ini yang kali itu tercatat pula sebagai anggota MUI Jawa Timur untuk urusan luar negeri dimusuhi sebagian pimpinan MUI. Lelaki kelahiran Sampang Madura ini telah menekuni isu gerakan Islam garis keras sejak menjadi mahasiswa di Kairo Mesir dan Institut Internasionl Khourtoum, Sudan. Ini yang membuatnya berani melontarkan kritik terhadap gerakan-gerakan tersebut yang dianggapnya berbahaya bagi kehidupan demokrasi di tanah air. Sejak Juli 2007, mantan Wakil Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (PP RMI) Indonesia periode 1995-1999, ini diangkat sebagai Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Surabaya bersama 16 orang lain dari perwakilan agama-agama. Lembaga ini bisa menjadi institusi strategis untuk memperjuangkan ide-ide pluralisme dan meminimalisir diskriminasi terhadap kalangan non-muslim.   
Dr. John Ruhulesin (45). Asli Ambon dan tamat S1 di Sekolah Teologi Ambon, lantas melanjutkan S2 dan S3 di UKSW Salatiga. Ia adalah orang dekat dari Dr. TH Sumarthana, salah seorang aktivis dan intelektual penyeru dialog antar iman dan  perdamaian. Ia juga terlibat secara dekat dengan lembaga yang dipimpinnya, Interfidei (Institute  Inter Faith Dialogue) di Yogyakarta. Ketika pulang ke ambon menjadi aktivis dialog antar agama dan antar iman, dan ketika perang menjadi salah seorang fasilitator perdamaian dan rekonsiliasi. Tiga tahun terakhi menjadi ketus Senode GPM dan memiliki hubungan dekat tokoh-tokoh Islam.
Hasbullah Toisuta (41). Dosen senior IAIN Ambon, ketiak terjadi perang agama di Maluku, dia masih dosen yunior, tetapi memiliki keberanian untuk emngungkapkan pikiran tentang perdamaian dan dialog dimana saat itu bisa diancam dengan pembunuhan. Dia juga memiliki basis yang buat karena menjadi pengurus Muhammadiyah di Maluku. Dan dia juga menjadi salah seroang deklarator Maluku yang menandai perdamaian maluku, meskipun dia snagat kritis, ternyata deklarasi Malino itu tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah dan baik dan penyelesaiannya tidak tuntas sampai sekarang.
Dr. Abidin Wacano (39). Dia juga seorang dosen IAIN Ambon yang sekaligus aktivis perdamaiand an dialog. Setelah tamat S1 di IAIN Ambon, dia menlanjutkan di CRCS (center for Religion and Cross Cultural Studies) UGM untuk dialog dan perdamaian linas agama dan budaya. Dia juga sangat aktif menyampaikan pikiran-pikirannya dan menjadi pengurus NU Ambon sehingga bisa mempengaruhi kecenderungan organisasi tersebut. Selama di Yogya, Abidin juga aktif di Interfidei dalam inisiatif dialog dan kajian antar iman dan budaya.
0 Komentar untuk " Peta Gerakan Pro-Pluralisme di Indonesia "
Back To Top