Pendidikan Politik Antigolput
Hamidulloh Ibda ; Peneliti
politik pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, Tenaga ahli di
KPU Jawa Tengah
SINAR
HARAPAN, 21 Maret 2014
“Selama ini yang dipahami rakyat tentang politik
hanya ‘buruknya’ saja”
Pemilihan
legislatif (Pileg) sudah di depan mata. Pemerintah, Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), partai politik (parpol), dan rakyat
sudah merundingkan agenda ini dengan harapan, tidak ada golput. Pasalnya,
golput merupakan “hantu politik” yang menjadi musuh dan harus dimusnahkan
dari alam demokrasi.
Sikap
apolitis memang sudah mendera masyarakat. Mengapa hal ini terjadi? Ini karena
“kemuakan rakyat” atas kondisi korslet pada parpol dan perilaku korup para
pejabat kita. Selain itu, penggawa pemilihan umum (pemilu), seperti KPU dan
Bawaslu, juga “jarang” bersosialisasi dan blusukan politik kepada masyarakat
dengan konsisten dan berkala. KPU terkesan setengah hati dan melakukan
pendidikan politik ketika menjelang pemilu saja.
Padahal,
yang namanya pendidikan antigolput harus gencar dilakukan jauh-jauh hari
sebelum pemilu. Rakyat seharusnya tidak sekadar dididik menjelang pemilu,
tetapi sepanjang demokrasi masih menjadi poros dan sistem pemerintahan. Jadi,
pemerintah harus rajin mengedukasi masyarakat agar tidak tersesat dan golput.
Pasalnya,
selama ini yang dipahami rakyat tentang politik hanya “buruknya” saja.
Padahal, sisi baik politik juga banyak. Rakyat harus diluruskan pola pikirnya
agar tidak apolitis.
Dua
Objek Di alam demokrasi, pendidikan politik yang dilakukan KPU seharusnya
menyentuh dua objek, yaitu rakyat dan politikus. Dalam hal ini, KPU bisa
mendorong rakyat tidak golput dengan menggunakan hak pilihnya secara cerdas.
Objek
kedua ada pada calon anggota legislatif (caleg) yang saat ini sedang blusukan
mencari dukungan suara untuk memenangi pemilu pada 9 April 2014. Artinya,
caleg harus dididik mematuhi aturan main berpolitik dengan dialektika yang
benar. Itu mulai dari berkampanye, tidak menggunakan politik uang, dan tidak
menebar fitnah kepada rakyat demi terwujudnya asas pemilu.
Poros
pendidikan yang ditaburkan pada rakyat harus mengedukasi untuk “menolak”
politik uang. Itu karena musuh utama dalam pemilu adalah politik uang dan
golput. Meskipun politik uang sulit dipangkas, pendidikan politik harus
diberikan pada rakyat agar mengetahui dan mampu membedakan mana yang benar
dan yang salah.
Jika rakyat dan caleg sudah terdidik dan
memegang teguh indepedensi yang jujur terhadap kebenaran, diprovokasi dengan
apa saja mereka mampu menyikapi dengan arif. Apalagi, 16 Maret - 5 April
2014, para peserta pemilu yang meliputi caleg dan simpatisan parpol akan
berkampanye terbuka.
Sebagai
tahap awal kampanye terbuka, semua parpol telah berkomitmen berkampanye
damai. Deklarasi kampanye damai diadakan untuk mengikat komitmen moral dan
politik setiap parpol. Jika sudah terdidik, tanpa deklarasi pun mereka akan
berkampanye dengan retorika yang baik dan benar.
Antigolput
Menurut
data KPU, pada Pemilu1955, partisipasi pemilih mencapai 91,41 persen, pada
saat tersebut partai masih mempunyai ideologi yang kuat, bahkan menjadi ciri
khasnya masing-masing.
Pada
Pemilu 1971, partisipasi pemilih mencapai 96,62 persen. Pemilu 1977, tingkat
partisipasi pemilih turun, tetapi tidak terlalu drastis, menjadi 96,52
persen. Pada Pemilu 1982, tingkat partisipasi menurun, menjadi 96,47 persen.
Pada
Pemilu 1987, tingkat partisipasi mencapai 96,43 persen. Lalu pada 1992,
partisipasi pemilih 95,06 persen dan pada 1997 partisipasi pemilih mencapai
93,55 persen.
Pada
pemilu 1999, tingkat partisipasi mencapai 92,74 persen. Setelah itu, pada
2004, tingkat partisipasi mencapai 84,07 persen. Pada Pemilu 2009, tingkat
partisipasi pemilih hanya 70,99 persen.
Bagaimana
dengan Pemilu 2014? Akankah angka golput bertambah atau berkurang? Semua itu
tergantung pendidikan politik yang harus segera dilakukan. Intinya,
ketidakpuasan, kemuakan, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpin
yang korup menjadi penyebab lahirnya golput. Ini tidak bisa dimungkiri. Itu
karena selama ini rakyat sudah lelah dengan pemimpin dan wakil rakyat yang
tidak sesuai keinginan rakyat. Banyak wakil rakyat korupsi, membolos bekerja,
menipu rakyat, dan berkhianat.
Namun,
apakah dengan hal itu rakyat harus golput? Tentu tidak. Golput bukanlah
solusi. Seharusnya, rakyat cerdas dan mengawal proses pemilu dengan memilih
calon wakil rakyat yang bersih dan amanah.
Meskipun tidak ada dalam kurikulum,
pendidikan antigolput ini bisa dilakukan dengan berbagai formula dan
pendekatan. Pertama, KPU harus bersinergi dengan sekolah menaburkan virus
antigolput kepada pemilih pemula. Artinya, pemilih pemula berpotensi tinggi
menyempatkan waktunya dalam menggunakan hak suaranya daripada pemilih yang
lanjut usia.
Kedua,
sosialisasi pemilu sebenarnya tidak cukup. Karena itu, ormas dan lembaga
syawadaya masyarakat (LSM) harus membantu KPU menyerukan ke masyarakat agar
tidak golput. Golput adalah “tindakan bodoh” dan melukai demokrasi. Ormas
sebagai elemen berpengaruh di masyarakat harus mendidik anggotanya agar tidak
golput.
Apalagi,
ormas seperti NU, Muhammadiyah, IPNU, dan IPPNU sangat berpengaruh mendidik
anggotanya untuk tidak golput. Ketiga, kejujuran bukanlah segalanya, namun
segalanya berawal dari sana. Karena itu, semua caleg dan parpol tidak boleh
melakukan “politik uang” kepada siapa saja.
Pasalnya, jika ditelisik lebih dalam, salah
satu penyebab golput adalah karena “politik uang”, mulai serangan fajar
hingga serangan duha. Karena banyak “uang bertebaran” sebelum pemilu,
akhirnya rakyat bingung, kemudian memutuskan tidak mencoblos.
0 Komentar untuk " Pendidikan Politik Antigolput "