Menyoal Pencapresan Jokowi
Hasibullah Satrawi ; Alumni Universitas Al-Azhar, Kairo
KORAN
SINDO, 20 Maret 2014
Pada
akhirnya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, atau biasa dikenal dengan
panggilan Jokowi, resmi dicalonkan sebagai presiden oleh Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP).
Publik
cenderung terbelah dalam merespons pencalonan presiden (pencapresan) Jokowi
antara yang pro dan yang kontra. Tentu masing-masing pihak mempunyai
pandangan, pertimbangan, harapan dan juga kepentingan yang berbeda-beda,
khususnya bagi kalangan politisi. Dalam beberapa waktu terakhir, wacana
pencalonan Jokowi acap menjadi perbincangan publik. Kalau penulis tidak salah
ingat, selama ini Jokowi tidak memberikan kepastian apakah setuju dengan
wacana pencalonannya sebagai presiden atau tidak. Hingga akhirnya Jokowi
memberikan sikap resmi (setuju) dicalonkan melalui mandat Ketua Umum PDIP
Megawati Soekarnoputri.
Kejatuhan Adam
Menyimak
pencapresan Jokowi dan wacana yang berkembang dalam beberapa waktu terakhir,
penulis teringat akan kisah dosa dan kejatuhan Nabi Adam dari singgasananya
di Surga, setidaknya dalam versi cerita agama yang penulis yakini dan pahami.
Bahwa Nabi Adam pada awalnya hidup sempurna di surga, hanya ada satu larangan
bagi Nabi Adam di sana, yaitu tidak memakan buah terlarang.
Sebagai
makhluk yang diciptakan untuk terus menggoda Adam beserta seluruh keturunannya,
setan melakukan pelbagai macam cara untuk menggoda Nabi Adam agar memakan
buah terlarang. Pada awalnya setan menggunakan cara-cara polos dan kasar
untuk bisa menggoda Nabi Adam. Namun, sejumlah pendekatan itu gagal
meruntuhkan iman Adam untuk melanggar larangan menjauhi buah terlarang itu.
Pada
akhirnya setan menggunakan cara yang sangat halus untuk melumpuhkan sang Adam
yang bahkan dibanggakan oleh Tuhan di hadapan para malaikat- Nya; bahwa buah
terlarang itu akan semakin mendekatkan Adam kepada Tuhan. Alasan untuk
mendekatkan diri kepada Allah inilah yang pada akhirnya mampu menghancurkan
keimanan Nabi Adam dan memakan buah terlarang itu. Akibatnya, Adam
dikeluarkan dari surga dan memulai kisah kehidupan penuh keringat di dunia
ini.
Pencapresan Jokowi
Penulis tidak bermaksud menyamakan
Jokowi dengan Adam. Selain karena sangat jelas antara keduanya tidak mungkin
disamakan, juga karena dosa Adam melanggar ketentuan agar tidak memakan buah
terlarang. Sebaliknya, pencapresan Jokowi tidak melanggar aturan formal atau
bahkan konstitusi yang ada di republik ini.
Namun,
pada beberapa bagian alasan Adam melakukan dosa (sebagaimana di atas)
mempunyai kemiripan dengan alasan Jokowi dicapreskan. Setidaknya alasan
pencapresan Jokowi dalam versi pihak-pihak yang mendukung pencapresannya
selama ini. Yaitu, dengan menjadi presiden Jokowi bisa mengabdi kepada
masyarakat Indonesia secara nasional. Dengan demikian, keinginan masyarakat
di banyak daerah yang menginginkan pemimpin daerahnya seperti Jokowi bisa
tercapai, demikian kurang lebih alasan yang disampaikan oleh salah satu tim
yang kerap mendukung pencapresan Jokowi selama ini.
Keinginan
mencapreskan Jokowi menemukan jalan tol setelah tidak ada perundang-undangan
ataupun aturan yang melarangnya (sebagaimana telah disampaikan), walaupun
baru kurang lebih satu tahun Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, walaupun
sebelumnya Jokowi juga telah meninggalkan satu jabatan untuk merengkuh
jabatan yang lebih tinggi.
Amanat Rakyat
Kehebatan
Jokowi sebagai pemimpin sulit disangkal. Hal ini bisa dilihat dari rekam
jejaknya memimpin Kota Surakarta (pada beberapa bagian) dan masa- masa awal
memimpin Jakarta sekarang ini. Walaupun di Jakarta belum membuahkan hasil
optimal, setidaknya Jokowi dinilai telah bersungguh-sungguh untuk membenahi
Ibu Kota. Hal ini bisa dilihat dari gaya Jokowi bekerja, seperti turun
langsung ke lapangan, blusukan, menyapa warga Jakarta dan seterusnya.
Akan
tetapi, apakah hal ini membenarkan ambisi pencapresan Jokowi pada pemilu
mendatang bisa jadi lebih mencerminkan nafsu kekuasaan daripada kehendak
pengabdian, khususnya bagi pendukung-pendukung Jokowi? Menurut hemat penulis,
jawabannya tidak. Mengapa demikian, karena saat ini Jokowi sedang mengemban
amanat dari rakyat DKI Jakarta. Seandainya ditanyakan kepada masyarakat
Jakarta yang memilih Jokowi pada saat pilkada: apakah mereka memilih Jokowi
hanya untuk satu tahun bekerja atas nama Gubernur DKI Jakarta?
Hampir
bisa dipastikan semua akan menjawab tidak. Tanpa mengurangi rasa hormat
kepada Bapak Jokowi dan semua pihak yang mendukung pencapresannya, penulis
berpandangan bahwa pencapresan Jokowi mengandung unsur ”pengkhianatan” atau
pengabaian tersendiri atas amanat rakyat DKI Jakarta yang ditulis oleh rakyat
pemilih di bilik-bilik suara. Namun, ”pengkhianatan” atau pengabaian ini
cenderung tidak terasa karena adanya alasan ”moral” yang lebih tinggi: yaitu
dengan menjadi presiden Jokowi akan menjadi pemimpin rakyat Indonesia secara
umum, termasuk warga Jakarta dan Kota Solo.
Padahal,
tidak demikian kondisi hierarki kepemimpinan di republik ini. Adanya seorang
presiden tidak secara otomatis meniadakan pemimpin-pemimpin di bawahnya. Pun
sebaliknya. Itu artinya, pemimpin di semua level mempunyai cita rasa
kepemimpinan yang tak dapat ditutupi oleh kepemimpinan di atasnya, terlebih
lagi kepemimpinan di bawahnya. Pintu RI-1 tidak akan pernah tertutup untuk
siapa pun, apalagi bagi Jokowi. Apabila Jokowi sukses memimpin Jakarta, hal
itu akan semakin membuka lebar pintu istana baginya di masa-masa mendatang.
Kini
Jokowi secara resmi telah dicapreskan. Hal ini berarti Jokowi hanya mempunyai
satu pilihan ke depan, yaitu menjadi presiden. Bila tidak, bukan mustahil
Jokowi akan menjadi bunga layu sebelum berkembang. Hal yang tersisa kemudian
dan akan selalu diingat publik adalah jejak ”pengkhianatan” atau pengabaian
Jokowi terhadap amanat rakyat yang memilihnya, yaitu ketika meninggalkan
jabatannya sebagai wali kota Surakarta untuk menjadi gubernur DKI Jakarta dan
meninggalkan jabatannya yang terakhir untuk menjadi presiden.
Dalam
kaidah hukum Islam (fikih), pencapresan Jokowi masuk dalam kategori
meninggalkan hal-hal yang bersifat pasti dan mengikat untuk mengejar hal-hal
yang masih bersifat spekulatif. Padahal, yang seharusnya dilakukan adalah
sebaliknya; mengabaikan hal-hal yang bersifat spekulatif untuk memperkuat
hal-hal yang bersifat pasti dan mengikat (alyaqin
la yuzalu bisy-syak). Meminjam bahasa rakya jelata, Jokowi sekarang lebih
memilih untuk membumbui burung di udara daripada melahap ”hidangan” di
depannya yang mungkin tampak sederhana.
0 Komentar untuk " Menyoal Pencapresan Jokowi "