Belajar Menapaki Kehidupan & Berevolusi Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik.
Mutiara Hati

Visi :
"Menapaki Revolusi Era Baru Bangsa Indonesia Tahun 2045"
Sang Mutiara Hati. Diberdayakan oleh Blogger.
Anda Butuh Training Manajemen, Training SDM, Survey Kepuasan Pelayanan dan Research di Perusahaan Anda?

Tsunami Perkotaan

Tsunami Perkotaan

Eko Budihardjo  ;   Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro dan Universitas Trisakti; Ketua Komisi Kebudayaan AIPI
KOMPAS,  05 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PENANGKAPAN Bupati Bogor dan Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor oleh KPK ketika menerima sogokan Rp 1,5 miliar sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan. Pemberian uang suap itu pun adalah yang ketiga kalinya sesudah mereka dua kali menerima uang suap sejumlah Rp 3 miliar. Total suap senilai Rp 4,5 miliar itu sesungguhnya sangat kecil artinya dibandingkan dengan peralihan tata guna lahan hutan di daerah Puncak menjadi kawasan permukiman. Sebab, dampak negatif yang diakibatkannya sangat dahsyat bagi kota Jakarta.
Sebelumnya, diberitakan bahwa Kepala Divisi Pertanian PT Sentul City dan dua komisaris PT Bukit Jonggol Asri sudah dicegah tangkal bepergian ke luar negeri. Ketiga petinggi perumahan swasta itu diduga terkait korupsi pengurusan izin tukar lahan hutan di Kabupaten Bogor.
Kita tak terlalu terkejut mendengar Bupati Bogor tertangkap KPK karena sudah lama kita menduga dan menengarai tingkah laku jahat pejabat semacam itu. Musibah mengerikan berupa banjir kota Jakarta—yang tidak kunjung bisa ditanggulangi—adalah dampak langsung dari penyimpangan tata guna lahan dan tata ruang di Kabupaten Bogor.
Kebetulan saya baru saja membaca buku paling mutakhir karya Richard Foreman, guru besar ekologi lanskap dari Universitas Harvard, berjudul Urban Ecology: Science of Cities (Cambridge Press, 2014). Dia menyebutkan akibat perilaku menyimpang seperti itu dengan istilah ”tsunami perkotaan” (urban tsunami). Di satu sisi terjadi ledakan populasi perkotaan. Di sisi lain berlangsung degradasi sistem alam: menyempitnya ruang terbuka hijau, gundulnya hutan, mengeringnya sumber air, menipisnya tanah, dan lenyapnya biodiversitas flora serta fauna.
Saya jadi teringat kembali pesan Constantinos Doxiadis ratusan tahun silam tentang urut-urutan pertumbuhan kota. Dimulai dari polis, metropolis, megalopolis, ekumenopolis (kota dunia), sampai dengan nekropolis (kota mayat atau kota mati). Kota Jakarta masih termasuk megalopolis, dengan jumlah penduduk lebih dari 10 juta jiwa. Meksiko, New York, Tokyo, Seoul sudah jadi ekumenopolis dengan jumlah penduduk lebih 20 juta jiwa. Jangan sampai kota Jakarta berkembang jadi kota mati.
Revolusi perkotaan
Istilah ”revolusi perkotaan” pertama kali dicetuskan oleh Gordon Childe tahun 1936. Dia mengemukakan tentang proses amat perkasa yang mengubah lingkungan masyarakat pertanian, yang serba sederhana, menjadi pusat-pusat perkotaan yang amat kompleks.
Digambarkannya tentang kota Memphis di Mesir pada 3100 SM sebagai kota terbesar di dunia saat itu berpenduduk hanya sekitar 30.000 jiwa. Saat ini kawasan metropolitan Kairo dihuni lebih dari 17 juta jiwa dan menghadapi aneka masalah yang sama sekali tak terduga sebelumnya. Masalah paling dahsyat yang dihadapi Kairo dan kota-kota raya lain di dunia, tidak terkecuali Jakarta, terutama sekali masalah sosial. Kemiskinan, kesenjangan, lapangan kerja, kesehatan, dan kesejahteraan warga memusingkan pengelola kotanya.
Namun, yang juga tidak kalah penting adalah perkara degradasi lingkungan. Misalnya menyangkut penyediaan air bersih dan energi, pengelolaan sampah, penanggulangan pencemaran lingkungan, dan konsumsi serta produksi makanan. Jadi, tidak sekadar perkara banjir dan kemacetan lalu lintas sebagaimana lazim dipersepsikan orang banyak. Memang tak terlalu salah karena itulah yang paling tampak, kasatmata, teraga. Namun, itu jelas sangat tak lengkap karena sebetulnya jauh lebih banyak masalah nir-teraga alias tidak tampak.
Kiranya sudah tiba saatnya diproklamasikan ”revolusi perkotaan” jilid kedua. Tujuan utama dari revolusi ini adalah seperti yang dikemukakan Mark McDonnel, Direktur Pusat Penelitian Ekologi Perkotaan dari Universitas Melbourne, ”We want healthy liveable sustainable and resilience cities and towns.” Ya, kita sungguh menginginkan terciptanya kota-kota yang sehat, nyaman huni, dan berketahanan di masa datang.
Kunci utama untuk mencapai tujuan mulia tersebut adalah melalui penerapan prinsip-prinsip ekologi dalam pengelolaan perkotaan. Kota tidak boleh hanya dilihat dan diperlakukan sebagai entitas tunggal yang statis, tetapi sebagai satu elemen saja dari mozaik lanskap yang dinamik, multidimensi, dalam suatu sistem urban region.
Ekologi perkotaan
Guna mencegah dan menangkal terjadinya tsunami perkotaan, perencanaan dan pembangunan kota Jakarta maupun kota raya dan kota besar lain di Tanah Air, teori dan konsep ekologi perkotaan mesti mulai diterapkan secara konsisten. Interaksi antara jasad hidup (organisme), struktur terbangun (bangunan, jalan, jembatan), dan lingkungan fisik (tanah, air, udara, energi) mesti saling dipertautkan secara holistik.
Metafora, simbol-simbol, dan slogan-slogan seperti ”kota sebagai organisme”, ”kota sebagai alam kedua”, ”kota sebagai sistem kehidupan”, ”kota sebagai panggung kenangan”, yang populer di kalangan para perencana kota seyogianya diterjemahkan dalam wujud perencanaan dan perancangan yang lebih spesifik dan membumi. Tak berhenti sebagai slogan utopian seperti janji para politisi busuk. Dari kacamata ilmu perencanaan wilayah dan pembangunan kota, paling tidak ada lima kelompok fitur ekologis yang wajib diperhatikan.
Pertama, tanah perkotaan menyangkut tekstur dan sifat tanah, kehidupan yang terkandung di dalamnya dan lahan bawah perkotaan. Kedua, sistem tata air perkotaan, menyangkut siklus aliran air, penyediaan air bersih, pembuangan air kotor, dan air bawah tanah. Ketiga, badan air perkotaan meliputi dam, waduk, bendungan, embung, sungai, dan kawasan pantai. Keempat, habitat tanaman atau vegetasi, meliputi rerumputan, penutup tanah, semak, pohon, baik yang ditanam di tanah maupun yang tergantung, di depan fasade maupun di atas bangunan. Kelima, fauna perkotaan, meliputi jenis-jenis binatang, pola kehidupannya, dan adaptasinya.
Kita bisa belajar banyak dari kota-kota modern di negara maju seperti Melbourne. Penerapan Melbourne Principles yang dilandasi kaidah ekologi perkotaan dalam pembangunannya terbukti sangat menyejahterakan dan membahagiakan warganya. Semoga dengan terpilihnya presiden RI yang baru nanti bisa dirumuskan kebijakan dan strategi perkotaan yang lebih tepat sehingga kita akan bisa menikmati kota-kota yang terbebas dari bencana ”tsunami perkotaan” yang menghantui masyarakat.
0 Komentar untuk " Tsunami Perkotaan "
Back To Top