Tsunami Perkotaan
Eko
Budihardjo ; Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro dan
Universitas Trisakti; Ketua Komisi Kebudayaan AIPI
KOMPAS,
05 Juni 2014
PENANGKAPAN
Bupati Bogor dan Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor oleh
KPK ketika menerima sogokan Rp 1,5 miliar sesungguhnya tidak terlalu
mengejutkan. Pemberian uang suap itu pun adalah yang ketiga kalinya sesudah
mereka dua kali menerima uang suap sejumlah Rp 3 miliar. Total suap senilai
Rp 4,5 miliar itu sesungguhnya sangat kecil artinya dibandingkan dengan
peralihan tata guna lahan hutan di daerah Puncak menjadi kawasan permukiman.
Sebab, dampak negatif yang diakibatkannya sangat dahsyat bagi kota Jakarta.
Sebelumnya,
diberitakan bahwa Kepala Divisi Pertanian PT Sentul City dan dua komisaris PT
Bukit Jonggol Asri sudah dicegah tangkal bepergian ke luar negeri. Ketiga
petinggi perumahan swasta itu diduga terkait korupsi pengurusan izin tukar
lahan hutan di Kabupaten Bogor.
Kita tak
terlalu terkejut mendengar Bupati Bogor tertangkap KPK karena sudah lama kita
menduga dan menengarai tingkah laku jahat pejabat semacam itu. Musibah
mengerikan berupa banjir kota Jakarta—yang tidak kunjung bisa
ditanggulangi—adalah dampak langsung dari penyimpangan tata guna lahan dan
tata ruang di Kabupaten Bogor.
Kebetulan
saya baru saja membaca buku paling mutakhir karya Richard Foreman, guru besar
ekologi lanskap dari Universitas Harvard, berjudul Urban Ecology: Science of Cities (Cambridge Press, 2014). Dia menyebutkan akibat perilaku
menyimpang seperti itu dengan istilah ”tsunami perkotaan” (urban tsunami). Di
satu sisi terjadi ledakan populasi perkotaan. Di sisi lain berlangsung
degradasi sistem alam: menyempitnya ruang terbuka hijau, gundulnya hutan,
mengeringnya sumber air, menipisnya tanah, dan lenyapnya biodiversitas flora
serta fauna.
Saya
jadi teringat kembali pesan Constantinos Doxiadis ratusan tahun silam tentang
urut-urutan pertumbuhan kota. Dimulai dari polis, metropolis, megalopolis,
ekumenopolis (kota dunia), sampai dengan nekropolis (kota mayat atau kota
mati). Kota Jakarta masih termasuk megalopolis, dengan jumlah penduduk lebih
dari 10 juta jiwa. Meksiko, New York, Tokyo, Seoul sudah jadi ekumenopolis
dengan jumlah penduduk lebih 20 juta jiwa. Jangan sampai kota Jakarta
berkembang jadi kota mati.
Revolusi perkotaan
Istilah
”revolusi perkotaan” pertama kali dicetuskan oleh Gordon Childe tahun 1936.
Dia mengemukakan tentang proses amat perkasa yang mengubah lingkungan
masyarakat pertanian, yang serba sederhana, menjadi pusat-pusat perkotaan
yang amat kompleks.
Digambarkannya
tentang kota Memphis di Mesir pada 3100 SM sebagai kota terbesar di dunia
saat itu berpenduduk hanya sekitar 30.000 jiwa. Saat ini kawasan metropolitan
Kairo dihuni lebih dari 17 juta jiwa dan menghadapi aneka masalah yang sama
sekali tak terduga sebelumnya. Masalah paling dahsyat yang dihadapi Kairo dan
kota-kota raya lain di dunia, tidak terkecuali Jakarta, terutama sekali
masalah sosial. Kemiskinan, kesenjangan, lapangan kerja, kesehatan, dan
kesejahteraan warga memusingkan pengelola kotanya.
Namun,
yang juga tidak kalah penting adalah perkara degradasi lingkungan. Misalnya
menyangkut penyediaan air bersih dan energi, pengelolaan sampah,
penanggulangan pencemaran lingkungan, dan konsumsi serta produksi makanan.
Jadi, tidak sekadar perkara banjir dan kemacetan lalu lintas sebagaimana
lazim dipersepsikan orang banyak. Memang tak terlalu salah karena itulah yang
paling tampak, kasatmata, teraga. Namun, itu jelas sangat tak lengkap karena
sebetulnya jauh lebih banyak masalah nir-teraga alias tidak tampak.
Kiranya
sudah tiba saatnya diproklamasikan ”revolusi perkotaan” jilid kedua. Tujuan
utama dari revolusi ini adalah seperti yang dikemukakan Mark McDonnel,
Direktur Pusat Penelitian Ekologi Perkotaan dari Universitas Melbourne, ”We want healthy liveable sustainable and
resilience cities and towns.” Ya, kita sungguh menginginkan terciptanya
kota-kota yang sehat, nyaman huni, dan berketahanan di masa datang.
Kunci
utama untuk mencapai tujuan mulia tersebut adalah melalui penerapan
prinsip-prinsip ekologi dalam pengelolaan perkotaan. Kota tidak boleh hanya
dilihat dan diperlakukan sebagai entitas tunggal yang statis, tetapi sebagai
satu elemen saja dari mozaik lanskap yang dinamik, multidimensi, dalam suatu
sistem urban region.
Ekologi perkotaan
Guna
mencegah dan menangkal terjadinya tsunami perkotaan, perencanaan dan
pembangunan kota Jakarta maupun kota raya dan kota besar lain di Tanah Air,
teori dan konsep ekologi perkotaan mesti mulai diterapkan secara konsisten.
Interaksi antara jasad hidup (organisme), struktur terbangun (bangunan,
jalan, jembatan), dan lingkungan fisik (tanah, air, udara, energi) mesti
saling dipertautkan secara holistik.
Metafora,
simbol-simbol, dan slogan-slogan seperti ”kota
sebagai organisme”, ”kota sebagai alam kedua”, ”kota sebagai sistem
kehidupan”, ”kota sebagai panggung kenangan”, yang populer di kalangan
para perencana kota seyogianya diterjemahkan dalam wujud perencanaan dan
perancangan yang lebih spesifik dan membumi. Tak berhenti sebagai slogan
utopian seperti janji para politisi busuk. Dari kacamata ilmu perencanaan
wilayah dan pembangunan kota, paling tidak ada lima kelompok fitur ekologis
yang wajib diperhatikan.
Pertama,
tanah perkotaan menyangkut tekstur dan sifat tanah, kehidupan yang terkandung
di dalamnya dan lahan bawah perkotaan. Kedua, sistem tata air perkotaan,
menyangkut siklus aliran air, penyediaan air bersih, pembuangan air kotor,
dan air bawah tanah. Ketiga, badan air perkotaan meliputi dam, waduk,
bendungan, embung, sungai, dan kawasan pantai. Keempat, habitat tanaman atau
vegetasi, meliputi rerumputan, penutup tanah, semak, pohon, baik yang ditanam
di tanah maupun yang tergantung, di depan fasade maupun di atas bangunan.
Kelima, fauna perkotaan, meliputi jenis-jenis binatang, pola kehidupannya, dan
adaptasinya.
0 Komentar untuk " Tsunami Perkotaan "