UU Minerba dan Kesiapan Daerah
Abdul
Hamid ; Peneliti
Kebijakan Balitbang Jawa Timur
JAWA
POS, 19 Mei 2014
Ketegasan
pemerintah tentang Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba)
Nomor 4 Tahun 2009 yang melarang ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014
mempunyai dampak positif terhadap perekonomian nasional, termasuk ekonomi
daerah, dengan adanya keharusan bagi perusahaan tambang mendirikan pabrik
peleburan hasil tambang (smelter).
Dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, pemerintah mendesak perusahaan
tambang untuk segera menyelesaikan pembangunan smelternya dalam waktu tiga
tahun ke depan. Dalam aturan itu, jika masih ada perusahaan tambang yang mangkir
dan telat mengerjakan smelter lebih dari tiga tahun, Kementerian Energi
Sumber Daya Mineral (ESDM) akan memberikan penalti.
Pembangunan
industri smelter di Jawa Timur harus segera direalisasikan karena memiliki
keterkaitan. Misalnya: 1) keterkaitan tingkatan pembangunan, 2) keterkaitan
antarsektor, 3) kontribusi terhadap sektor atau struktur ekonomi, 4)
penyerapan tenaga kerja, 5) daya dukung SDM dan teknologi, dan 6)
pertimbangan strategis nonekonomi. Enam hal tentang identifikasi keterkaitan
industri smelter itu dapat dijelaskan seperti berikut.
Pertama,
industri smelter memiliki
keterkaitan dengan tingkat pembangunan daerah, terutama pembangunan ekonomi.
Struktur ekonomi terbagi menjadi sektor primer, sekunder, dan tersier. Jenis
industri smelter akan menjadi bagian penting dalam sektor-sektor ekonomi
tersebut.
Kedua,
industri smelter mungkin memiliki keterkaitan dengan sektor lainnya.
Keterkaitan ini dapat mengacu ke belakang, yaitu sektor penyedia input (backward linkage), atau ke depan,
yaitu sektor pengguna output (forward
linkage).
Ketiga,
industri smelter dapat memberikan kontribusi yang besar dan dapat diandalkan
bagi perekonomian daerah. Perkembangan industri smelter dapat meningkatkan
struktur ekonomi tertentu yang memiliki sektor unggulan.
Keempat,
peningkatan kapasitas industri smelter dapat memacu pertumbuhan ekonomi
daerah. Artinya, terjadi peningkatan kegiatan ekonomi sehingga pada
gilirannya akan meningkatkan permintaan tenaga kerja.
Kelima,
pengembangan industri smelter harus memperhatikan daya dukung SDM dan
teknologi yang dimiliki oleh daerah bersangkutan.
Keenam,
pertimbangan strategis nonekonomi perlu juga diperhatikan terkait
pengembangan industri smelter. Hal ini disebabkan oleh peran penting
sektor-sektor ekonomi untuk mendukung aspek kenegaraan lainnya seperti
pertahanan dan keamanan nasional.
Berdasar
alasan enam aspek di atas, diperlukan dokumen pendukung perencanaan
pembangunan kawasan industri smelter yang berfokus di Jatim.
Lokasi dan Aspek Pendukung
Untuk
mewujudkan dokumen pendukung perencanaan pembangunan kawasan industri smelter di Jawa Timur, posisi lokasi
dapat menentukan keberhasilan maupun kegagalan usaha yang dilakukan
perusahaan. Sebab, lokasi merupakan elemen penting dalam menentukan pendapatan
yang diperoleh maupun biaya yang harus dikeluarkan perusahaan. Berbagai
faktor perlu dipertimbangkan dalam menentukan lokasi industri.
Tahapan
identifikasi secara umum merupakan suatu kerangka konsep perencanaan kawasan
industri. Konsep perencanaan industri menunjukkan arah dari tujuan kebijakan
pemerintah daerah yang harus diambil, selain sebagai suatu panduan bagi
sektor swasta dalam mendukung proses industrialisasi di wilayah Jawa Timur.
Konsep perencanaan industri merupakan suatu program detail dari investasi
publik.
Sejalan
dengan rencana PT Wisco China dan PT Freeport untuk membangun Kawasan
Industri Smelter yang rencana investasinya mencapai USD 5 miliar, Provinsi
Jatim via Balitbang Jatim bekerja sama dengan Kadin Jatim telah melakukan
penelitian tentang kesesuaian lahan (1.500 ha) untuk industrial park
pembangunan smelter logam di 6 kabupaten (Tuban, Lamongan, Gresik,
Probolinggo, Situbondo, dan Banyuwangi) di Jatim.
Hasil
perhitungan penelitian secara statistik yang berisi informasi mengenai
kesesuaian lokasi untuk kawasan industri smelter dengan parameter harga dan
ketersediaan lahan, aksesbilitas/transportasi dan power plant (ketersediaan
listrik), upah minimal kabupaten (UMK), regulasi pemda, dan kuantitas tenaga
kerja, menunjukkan bahwa nilai indeks kesesuaian lahan Kabupaten Situbondo
merupakan yang tertinggi dengan nilai sekitar 78,75 persen. Tempat kedua
ditempati Kabupaten Lamongan dan Probolinggo sebesar 75 persen, kemudian
tempat ketiga Kabupaten Gresik sebesar 73,96 persen. Di tempat yang terakhir
adalah Kabupaten Tuban sebesar 70,83 persen. Khusus akusisi lahan seperti
yang dipersyaratkan oleh dua perusahaan di atas adalah ketersediaan lahan
(satu hamparan), harga, fotografi, resistansi masyarakat, dan lain-lain
menunjukkan bahwa Kabupaten Situbondo memiliki nilai kumulatif tertimbang
tertinggi di antara kabupaten lain tempat objek penelitian. Misalnya, lahan
yang cocok seluas 1.500 ha dilihat dari harga jauh lebih rendah. Rata-rata
harga di Kabupaten Situbondo Rp 50.000/m2 = Rp. 7,5 triliun jika dibandingkan
dengan Kabupaten Tuban Rp 150.000/m2 = Rp 22,5 triliun. Padahal, menurut
informasi, ketentuan mereka menyebutkan bahwa di antara investasi 5 miliar
dolar (Rp 55 triliun), akusisi lahan dipatok maksimal 20 persen (Rp 11
triliun) saja.
Tag :
Ekonomi Politik
,
geopolitik
,
Hukum
,
JAWA POS
,
Kebijakan Publik
,
Opini
,
politik hukum
,
Politik Lingkungan
,
Teknologi
0 Komentar untuk " UU Minerba dan Kesiapan Daerah "