Belajar Menapaki Kehidupan & Berevolusi Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik.
Mutiara Hati

Visi :
"Menapaki Revolusi Era Baru Bangsa Indonesia Tahun 2045"
Sang Mutiara Hati. Diberdayakan oleh Blogger.
Anda Butuh Training Manajemen, Training SDM, Survey Kepuasan Pelayanan dan Research di Perusahaan Anda?

Nasionalisme, Peran Santri dan Pesantren Terhadap Bangsa Indonesia[1]

Dalam bukunya yang berjudul Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya, Hans Kohn, mendefinisikan nasionalisme sebagai suatu paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara – kebangsaan. Namun, sebagaimana yang dikatakan oleh Cak Nur (2004: 32), perlu diberikan kualifikasi “modern” pada nasionalisme, bahkan untuk Indonesia diletakkan dalam bingkai perikemanusiaan yang adil dan beradab. Sebab, nasionalisme “kuno”, seperti yang banyak dikhawatirkan orang, adalah eksistensi faham kesukuan atau tribalisme yang sempit dan sewenang – wenang terhadap suku lain. Sebaliknya, nasionalisme modern adalah faham tentang hak bagi suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, sehingga faham ini anti dengan imperalisme dan konsisten dengan prinsip – prinsip demokrasi,
Pemahaman mengenai pengertian negara – bangsa (nation – state) secara benar merupakan hal yang penting bagi umat Islam. Nurcholish Madjid (2004: 42) mendefinisikan negara – bangsa sebagai suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa. oleh karena itu, negara – bangsa adalah negara bagi seluruh umat, yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang di dalamnya terjadi hubungan kontraktual dan transaksional secara terbuka dari seluruh pihak yang menyepakati. Tujuan dari negara – bangsa adalah mewujudkan kemaslahatan umum (al-maslahah al-ammah), yaitu suatu kondisi yang aman, tentram dan makmur yang dapat dirasakan oleh semua warganya tanpa terkecuali.
Semangat nasionalisme memuat nilai – nilai yang compatible dengan ajaran Islam karena sebenarnya Rosullulah SAW sendiri telah memberikan contoh tentang bagaimana membingkai sebuah kehidupan dalam keberagaman di kota Madinah melalui kesepakatan yang terkenal dengan nama Piagam Madinah 1430 – an abad yang lalu. Pada waktu itu Madinah merupakan sebuah kota yang dihuni oleh berbagai suku, baik itu yang berasal dari bangsa Arab maupun Yahudi dengan berbagai kepercayaan yang dianut. Sebelum kedatangan Rosulullah Muhammad SAW, kota yang dahulu bernama Yatsrib itu sering dilanda konflik horizontal antarsuku bangsa yang tinggal di sana.
Kehadiran Rosulullah ke Madinah telah mengubah keadaan kota tersebut yang semula masih sering terjadi perselisihan yang berbau etnis maupun agama, menjadi kota dengan masyarakat plural yang saling hidup berdampingan dengan damai. Oleh karena itu Robert N. Bellah dalam (Nurcholish Madjid, 2004: 42), salah seorang sosiolog terkemuka, menyebutkan bahwa contoh pertama nasionalisme modern adalah sistem yang diterapkan pada kota Madinah pada masa Rosulullah dan para khalifah yang menggantikannya. Sehingga wajar jika banyak para sejarawan dunia menilai bahwa apa yang telah dilakukan Rosulullah itu merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa dalam sejarah peradaban manusia.
Dalam konteks Indonesia, nasionalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai sikap yang menjunjung tinggi nilai – nilai Pancasila, UUD 1945, dan hukum konstitusional lainnya sebagai landasan kehidupan berbangsa, serta menyetujui NKRI sebagai final concept negara ini. Dengan begitu nasionalisme atau rasa cinta tanah air akan menjadi alat pengikat batin bagi seluruh elemen bangsa yang, sudah ditakdirkan, terfragmentasi ke dalam berbagai budaya, suku, agama, bahasa, dan lain sebagainya. sehingga pada akhirnya, nasionalisme membantu menciptakan kestabilan kehidupan berbangsa dengan kesadaran dari masyarakat untuk hidup berdampingan secara toleran dan saling menghargai  satu sama lain.
Sebagai bagian dari bangsa ini, pesantren—yang oleh Gus Dur disebut sebagai sub-kultur tersendiri—dalam sejarahnya selalu konsisten dengan sikap nasionalismenya terhadap bangsa ini. Salah satu wujud rasa cinta tanah air itu terimplementasi melalui perjuangan yang gigih melawan kolonialisme Belanda dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sehingga pada waktu itu, pesantren selain berperan sebagai basis edukasi bagi masyarakat, khususnya pedesaan, juga berperan sebagai pusat perlawanan terhadap bangsa kolonial. Dengan slogan jihad fi sabilillah para ulama’ pesantren menjadi motor penggerak perjuangan, bersama – sama dengan rakyat berperang melawan belanda dan sekutunya. Oleh karena itu, muncul sederet nama pahlawan yang notabene berasal dari lingkungan pesantren, misalnya K.H. Hasyim Asy’ari dan lain sebagainya.
Puncak dari jiwa nasionalisme yang ditunjukkan oleh para ulama’ the founding fathers negara ini yaitu saat disepakatinya pengggantian tujuh kata dalam Sila pertama Piagam Jakarta, yang semula berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tentu saja keputusan ini menimbulkan polemik dikalangan umat Islam sendiri, sebagai umat mayoritas dan tentunya mempunyai peran paling besar dalam memerdekakan bangsa ini. namun, untuk menghindari disintegrasi, para ulama’ pada waktu itu melihat bahwa aspek persatuan bangsa ini merupakan hal yang lebih penting demi mewujudkan kehidupan bersama yang lebih baik.
Bagaimana dengan sekarang?
 Berbagai aksi terorisme oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam dengan dalih “jihad fi sabilliah” (menurut tafsiran mereka sendiri) yang terjadi di Indonesia dewasa ini sangatlah patut disayangkan. Islam yang sebenarnya mengajarkan nilai – nilai kasih sayang, humanistik, toleransi serta cinta damai harus tercoreng dengan tindakan tidak bertanggung jawab semacam itu. Tindakan – tindakan terorisme ini salah satunya disebabkan oleh salah penafsiran mengenai ayat – ayat al – qur’an, khususnya yang menyangkut masalah jihad.
Untuk itulah, pesantren kini menurut data Dirjen Lembaga Islam Departemen Agama RI Tahun Ajaran 2003/2004 telah mencapai 14.656 buah(www.kabarindonesia.com) dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia harus mampu menjadi garda terdepan dalam mengajarkan nilai – nilai Islam “yang sebenarnya”. Hal ini dikarenakan fungsi pesantren sendiri yang mengajarkan ajaran Islam yang penuh dengan toleransi serta cinta damai. Pesantren diharapkan mampu menunjukkan eksistensinya dengan turut serta menyumbangkan solusi terhadap permasalahan bangsa ini.
Lebih dari itu, sebagai bagian dari bangsa ini tentunya santri serta pesantren tidak bisa menutup mata atas berbagai krisis multidimensi yang melanda negeri ini. Tidak hanya dalam hal masalah agama saja, namun problem yang terkait dengan sosial – ekonomi seharusnya juga tak luput dari perhatian. Sebagaimana yang dikatakan oleh Yenny Zannuba Wahid, Direktur The Wahid Institute, dalam situskompas.com pondok pesantren di Indonesia memiliki modal sosial yang besar dalam melakukan perubahan sosial. Modal yang besar tersebut dapat dimanfaatkan dan diarahkan pada perubahan-perubahan sosial ke arah yang lebih baik.
[1] Tulisan ini dimuat dalam Majalah SARUNG (Santri Balairung) edisi 4 dengan tema “Santri Merah-Putih”
0 Komentar untuk " Nasionalisme, Peran Santri dan Pesantren Terhadap Bangsa Indonesia[1] "
Back To Top