Belajar Menapaki Kehidupan & Berevolusi Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik.
Mutiara Hati

Visi :
"Menapaki Revolusi Era Baru Bangsa Indonesia Tahun 2045"
Sang Mutiara Hati. Diberdayakan oleh Blogger.
Anda Butuh Training Manajemen, Training SDM, Survey Kepuasan Pelayanan dan Research di Perusahaan Anda?

Nasionalisme Santri

Keberadaan lembaga pendidikan (pondok pesantren) berbasis agama, khususnya Islam, di Indonesia memiliki peranan yang sangat penting. Pondok pesantren dimaknai sebagai tempat seseorang untuk mencari ilmu keagamaan yang benar melalui bimbingan-bimbingan para guru yang dianggap memiliki pengetahuan luas terhadap agama oleh masyarakat sekitar.
Di Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, memiliki banyak pondok pesantren. Bahkan bisa dikatakan hampir seluruh daerah, baik kota maupun kabupaten di Indonesia, tidak ada yang tidak memiliki pondok pesantren. Hal ini merupakan sebuah interpretasi dari berbagai pertanyaan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya yang membutuhkan adanya lembaga Islami yang dapat mengajarkan ilmu umum dan ilmu agama pada khususnya.
Berdirinya pondok pesantren di Indonesia sering memiliki latar belakang yang sama. dimulai dengan usaha seorang atau beberapa orang secara pribadi atau kolektif yang berkeinginan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat luas. Mereka membuka kesempatan pengajian secara sederhana kepada penduduk setempat. Biasanya pengajian yang mula-mula dilaksanakan adalah berlatih membaca al-Qur’an di mushala atau masjid di daerah sekitar. Beberapa waktu kemudian tumbuh kesadaran masyarakat terhadap pengetahuan dan kelebihan yang dimiliki oleh mereka yang mengajar, sehingga banyak penduduk sekitar belajar menuntut ilmu agama. Akhirnya masyarakat memanggil pengajar dengan predikat kiai. Sedangkan mereka yang menuntut ilmu di tempat itu disebut santri. Tidak semua kiai memiliki santri, tetapi sebutan santri senantiasa berkonotasi mempunyai kiai.
Lepas dari pengertian pondok pesantren, keberadaan lembaga pendidikan agama tersebut memiliki banyak fungsi, mikro maupun makro. Dalam konteks kebudayaan, fungsi pondok pesantren dipertaruhkan untuk mengangkat moral dan martabat masyarakat mayoritas maupun minoritas di bawah keberagaman budaya dan adat istiadat yang dimiliki bangsa Indonesia. Cara yang biasanya ditempuh adalah melalui penanaman dini mengenai bagaimana seharusnya manusia sebagai khalifah Allah di dunia ini bersikap dan bertindak sesuai dengan kemutlakan porsi al-Qur’an dan Hadits.
Bagi negara, fungsi pondok pesantren salah satunya adalah sebagai pendukung sila ketiga Pancasila, yakni persatuan Indonesia. Pondok pesantren mengajarkan kepada santrinya agar berusaha menjaga hubungan baik antar sesama manusia. Mengingat bahwa multikulturalisme dan pluralisme berdiri tegap di tengah masyarakat Indonesia yang heterogen dalam segi suku, ras, dan agama khususnya, meskipun mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Maka peran pondok pesantren dituntut untuk menyeimbangkan perbedaan-perbedaan tersebut dengan menjadikannya sebagai sebuah tujuan bersama.
Kepentingan negara dan kepentingan pondok pesantren diharapkan untuk senantiasa diakomodasi, sehingga tidak terjadi dwikepentingan yang saling berbenturan yang dapat mengakibatkan perpecahan bangsa. Oleh karena itu, hubungan antara pemimpin pondok dan pemerintah harus akur. Artinya, keduanya dapat menjalankan fungsi yang dimilikinya tanpa mengganggu apa yang menjadi hak dan kewajiban orang lain dalam ruang lingkup negara. Selain itu, keduanya dipaksa untuk taat kepada hukum negara yang mutlak, serta dituntut untuk berpartisipasi memberikan sumbangsih terhadap negara.
Tentu saja, aktor penggerak yang diharapkan dalam partisipasi tersebut adalah santri. Santri adalah unsur pondok pesantren yang amat vital. Santri memegang dominasi dalam jumlah orang terbanyak di dalam pesantren. Atas dasar itulah kiai dibuktikan perannya untuk menanamkan pemahaman kewajiban yang harus dilakukan oleh para santri terhadap negara yang ditempatinya melalui pendekatan agama. Jika keduanya sinkron, maka santri akan meniru apa yang diajarkan oleh kiainya. Inilah bagian terpenting dari penerapan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Santri diajarkan untuk memiliki sikap nasionalisme. Doktrin tentang pengertian nasionalisme yang digunakan biasanya adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi inividu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Nasionalisme merupakansebuah ideologi yang mencakup prinsip kebebasan (liberty), kesatuan (unity), kesamarataan (equality), serta kepribadian yang menjadi nilai kehidupan kolektif suatu kemunitas untuk merealisasikan tujuan politik yaitu pembentukan dan pelestarian negara nasional.Nasionalisme berakar dari timbulnya kesadaran kolektif tentang ikatan tradisi dan deskriminasi pada masa kolonial yang sangat membatasi ruang gerak bangsa Indonesia. Reaksi terhadap situasi itu merupakan kesadaran untuk membebaskan diri dari tradisi dan untuk melawan pengingkaran terhadap identitas bangsa. Dari situ mereka (santri) akan mencoba mengenal lebih jauh tentang penjabaran nasionalisme dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, minimal di dalam pesantren.
Kendati demikian, meskipun dogma yang disampaikan sama, tetapi dalam pemahamannya akan berbeda antara santri satu dengan lainnya. Begitu pula alasan yang mereka miliki juga bermacam-macam sesuai pemahaman ilmu yang mereka dapat. Maka tidak heran apabila di balik penjelasan mengenai definisi nasionalisme tersebut, kerap kali santri mengungkapkan argumentasinya terhadap sesamanya untuk mendiskusikan kebenaran definisi yang diungkapkan dengan membawa pengetahuan individunya. Dari retorika yang mereka kemukakan, kemudian akan muncul perbedaan-perbedaan pendapat. Mereka yang setuju, akan mendukung sepenuhnya definisi nasionalisme dan berusaha mengamalkan pengertian tersebut.
Namun yang menjadi masalah adalah adanya santri yang tidak setuju terhadap pengertian dan pengamalan nasionalisme. Mereka akan membandingkan pengertian nasionalisme tersebut dengan dalil-dalil agama serta urgensinya. Demi memperkuat argumentasinya, mereka menggunakan apa yang pernah disampaikan kiainya kemudian menyambungkan definisi nasionalisme dengan dhawuh kiainya, maka masalah yang serius akan muncul. Ketika nasionalisme yang mereka pahami adalah sebuah wujud dari penyimpangan sebuah agama, maka semangat bela negaranya akan luntur. Kekeliruan pemahaman ini terletak pada, misalnya, disebutkan bahwa nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi inividu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Kata-kata “kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara”, dipahami sebagai sesuatu yang menistakan agama. Yang mereka anggap adalah bahwa kata-kata tersebut tidak selayaknya diucapkan dan diterapkan oleh umat Islam yang seharusnya menyerahkan kesetiaannya kepada Sang Pencipta, Allah swt. Hal itu merupakan bentuk penyimpangan dari ajaran Islam dan ajaran para kiai mereka.
Lebih mirisnya lagi, wujud dari pemahaman tersebut pernah terjadi di negara Indonesia sendiri. Ada dua sekolah yang sistem pendidikannya berbasis Islam, yaitu Sekolah Dasar Islam Al-Albani Matesih dan Sekolah Menengah Pertama Al-Irsyad Tawangmangu, Karanganyar yang mengatakan bahwa hormat kepada bendera merah putih merupakan perbuatan syirik.1 Pihak kedua sekolah tersebut tidak pernah mengajarkan kepada para siswanya untuk menghormat kepada bendera merah putih. Mereka mengatakan bahwa aksi penolakan hormat kepada merah putih tersebut dilatarbelakangi oleh keyakinan pribadi mereka masing-masing, baik guru maupun murid, dan pihak sekolah tidakberhak mencampurinya. Asumsi itu juga didukung oleh pemahaman pribadi dari ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengatakan bahwa hormat kepada bendera adalah tindakan yang tidak diperbolehkan dalam Islam.
Tetapi pernyataan tersebut di atas, mencoba diakomodir oleh para pemuka masyarakat, seperti Menteri Pendidikan Indonesia, M. Nuh, yang menyatakan bahwa penghormatan kepada bendera merah putih dihukumi haram jika tujuannya untuk menyembah, sebaliknya akan diperbolehkan jika tujuannya hanya sekedar memberikan rasa hormat saja akan kesakralan merah putih sebagai lambang negara kesatuan Indonesia.
Peristiwa di atas merupakan kejadian yang sangat disayangkan terjadi. Sebab, Indonesia butuh akan semangat nasionalisme dari para penduduknya. Meskipun terdapat kepentingan agama di tengah pembangunan struktural bangsa, hendaknya menggunakan penalaran yang obyektif. Jika yang digunakan adalah ajaran yang bersumber pada agama sepenuhnya dan mengabaikan relitas yang ada, maka yang terjadi hanyalah perbedaan-perbedaan pendapat yang berujung pada konflik.
Racun pikiran semacam ini sangat tidak diharapkan dimiliki oleh para santri. Maka dibutuhkan komunikasi secara intens mengenai pemahaman urgensi nasionalisme yang sebenarnya. Dan pihak yang paling dipercaya untuk mengubah mindset santri-santri tersebut adalah kiai. Seorang kiai harus bisa menyeimbangkan antara pemahaman dirinya dengan pemahaman santrinya melalui dialog-dialog khusus. Dari sini kemudian perlahan-lahan santri akan memahami apa yang dimaksud kiainya. Akibatnya, nasionalisme tidak disalah artikan sebagai suatu bentuk penyelewengan agama.
Berbicara mengenai perkembangan nasionalisme, tampaknya ada perbedaan antara zaman sekarang dengan masa penjajahan dahulu. Artikulasi nasionalisme pada zaman penjajahan dulu dipahami secara menyeluruh. Sehingga tidak ada ketidaksetujuan masyarakat Indonesia pada saat itu untuk menolak paham nasionalis. Malahan yang muncul adalah kesadaran masyarakat untuk ikut berjuang dalam mempertahankan kedaulatan dan martabat bangsa.
Hal semacam itu berbeda dengan masa sekarang yang cenderung manganggap nasionalisme adalah sesuatu yang biasa saja. Karena sebagian orang merasa bahwa sudah tidak ada lagi yang harus dipertaruhkan untuk berjuang melawan penjajah seperti pada saat penjajahan. Pemahaman yang keliru ini menjalar dengan cepat sampai pada lembaga pendidikan agama, yakni pondok pesantren yang seharusnya menjadi tutor atau pelopor berkembangnya paham nasionalis yang dipadu dengan unsur agama sehingga menjadi kekuatan tersendiri yang kuat.
Penyebab yang dominan dari pemahaman nasionalisme di zaman sekarang dengan masa penjajahan adalah, pada masa penjajahan, nasionalisme identik dengan kenegaraan yang merupakan implikasi dari definisi politik, yang tidak mengesampingkan kepentingan agama dalam pengaplikasiannya. Justru antara agama dan politik saling berhubungan. Hal tersebut disebut dengan simbiosis-mutualisme. Ibarat dua sisi mata uang yang berbeda namun pada hakikatnya saling berhubungan dan membutuhkan.
Di dalam melihat hubungan antara Islam dan negara, data pengertian semacam ini menunjukkan bahwa kiai memandangnya bercoraksimbiotik, sebagaimana yang diungkapkan oleh KH. Yasri Marzuki yang menegaskan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai agama, suku, dan bahasa dan juga oleh kawasan yang juga berlainan. Oleh karena itu, jika masing-masing elemen bangsa melihat kepentingan golongan atau pribadinya sendiri maka Indonesia akan mengalami disintegrasi sosial yang berujung pada keruntuhan bangsa dan negara ini. Dalam konteks ini, nasionalisme bisa menjadi sesuatu yang mengikat (kalimatun sawa’) dengan syarat adanya komitmen terlebih dahulu untuk menjamin kedaulatan rakyat di depan negara. Siapa yang bertanggung jawab terhadap nasionalisme? Tentu saja adalah semua kelompok yang ada di dalam NKRI, baik atas nama agama, suku, kelompok kepentingan, atau golongan manapun, termasuk kiai dan santri di dalam pondok pesantren.2
Dengan ungkapan lain, para kiai sebagai pemimpin tradisional telah sepakat untuk mempertahankan dan memantapkan nasionalisme Indonesia tanpa membedakan garis kepentingan agama, suku, umat, golongan dan kepentingannya sendiri. Mereka berkomitmen untuk tetap mengokohkan nasionalisme dalam situasi sesulit apa pun, seperti pada masa penjajahan dahulu. Bayangkan saja, ketika itu Indonesia dijajah oleh berbagai negara mulai dari Portugal, Inggris, Belanda, hingga Jepang, namun masyarakat Islam di Indonesia mampu untuk menahan bahkan menyerang balik penjajah-penjajah tersebut. Hal itu didorong dengan adanya dukungan dari para pemuka agama, dalam hal ini adalah kiai, serta masyarakat muslim, tanpa terkecuali santri, yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi sehingga tidak mampu digoyahkan oleh para penjajah. Kondisi semacam inilah yang sulit untuk dikembangkan di tengah tantangan bangsa Indonesia yang sedang berhadapan dengan maraknya gerakan kembali ke etnisitas, primordialisme kelompok, semangat globalisasi, dan bahkan fundamentalisme agama. Adalah sangat ironis jika pemberian paham nasionalis dari para kiai terhadap santrinya sering diabaikan. Meskipun memang asumsi semacam itu hanya terjadi pada pondok pesantren tertentu, namun dikhawatirkan akan merambat kepada pemahaman masyarakat secara luas.
Terkait dengan hal itu, maka memang benar pada awalnya dibutuhkan hubungan komunikatif antara kiai dengan santrinya mengenai pemahaman kenegaraan dan keagamaan tanpa berusaha memisahkan secara mutlak terhadap keduanya (separatis). Dan untuk menciptakan hubungan yang komunikatif tersebut, maka perlahan-lahan diperlukan keselarasan hubungan yang kondusif antara kiai dengan santri. Hubungan kiai dan santri harus dijaga dengan baik agar tidak menimbulkan sub sektor pemahaman agama yang berbeda antar satu sama lain. Sebaliknya, jika hubungan tersebut diabaikan dan pudar, maka perbedaan pemahaman agama tidak dapat dihindarkan, dan hal tersebut akan rawan dimasuki oleh pengaruh-pengaruh luar yang ekstrem. Secara rinci, hubungan antara kiai dan santri adalah sebagai berikut.
Hubungan Santri dan Kiai
Islam masuk ke Indonesia lebih bersifat asimilatif daripada gerakan revolusioner, yakni melalui pedagang dan bukan dengan jalan peperangan. Pada awalnya, Islam mengambil alih peranan-peranan tradisional pra Islam yang meskipun awalnya tradisi lama (Jawa) yang dominan. Ilustrasi nyata mengenai hal ini adalah legenda yang menceritakan unsur-unsur pokok kebudayaan pra Islam, seperti wayang atau gamelan yang diciptakan dan dikembangkan oleh para wali.
Wali dianggap sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih dalam masyarakat tradisional pada saat itu. Lambat laun orang kemudian menyebut wali sebagai seseorang yang paling berjasa dalam kehidupan masyarakat, karena ia telah mengentaskan masyarakat dari kerusakan moral maupun adat melalui dakwah agama yang disampaikannya. Sehingga masyarakat pada saat itu memberikan penghormatan yang lebih terhadap wali-wali di daerah mereka. Di tanah Jawa sendiri, masyarakat menyebut para wali tersebut dengan sebutan wali songo (sembilan wali).
Dalam konteks zaman sekarang, julukan wali bergeser menjadi sebutan kiai. Kiai adalah peran pengganti wali di zaman sekarang ini. Masyarakat menganggap bahwa ajaran-ajaran yang ditinggalkan oleh para wali telah turun temurun diwariskan kepada para kiai. Sehingga rasa hormat mereka terhadap para kiai masih ada, seperti yang terjadi di banyak pondok pesantren di Indonesia. Kiai dimaknai sebagai seseorang yang harus dijunjung kewibawaannya (prestise) karena memiliki karisma tersendiri yang dianugerahkan oleh Allah swt.
Karisma yang dimilki para kiai menyebabkan mereka menduduki posisi kepemimpinan dalam lingkungannya. Selain sebagai pemimpin agama dan pemimpin masyarakat desa, kiai juga memimpin pondok pesantren tempat ia tinggal. Di lingkungan pondok pesantren inilah kiai tidak saja diakui sebagai guru mengajar pengetahuan agama, tetapi juga dianggap oleh santri sebagai seorang bapak atau orang tuanya sendiri. Sebagai seorang bapak yang luas jangkauan pengaruhnya kepada semua santri, menempatkan kiai sebagai seorang yang disegani, dihormati, dipatuhi dan menjadi sumber petunjuk ilmu pengetahuan bagi santri.
Memang dapat diibaratkan sebuah kerajaan, di mana kiai merupakan pucuk pemegang kekuasaan yang mempunyai kewenangan mutlak dalam kehidupan lingkungan pondok pesantren. Karena itu rasa hormat harus ditunjukkan oleh santri kepada kiai, baik dalam kehidupan keagamaan, kemasyarakatan maupun pribadi. Tetapi sekalipun telah tersusun kedudukan dan fungsi masing-masing pemimpin sesuai garapannya, unsur otoriter dalam kehidupan pondok pesantren masih dirasa kuat. Kiai adalah pemilik tunggal pondok pesantren. Betapa pun demokratis susunan kepemimpinan di pondok pesantren, masih terdapat jarak antara kiai dengan keluarganya di satu pihak dan para santri atau ustad-ustad di pihak lain.
Kedudukan kiai seperti itu, sesungguhnya merupakan patron, tempat bergantung para santri. Hubungan santri dan kiai apalagi dilandasi dengan pembenaran ajaran agama, seperti hubungan murid-guru di lingkungan tarekat. Karena kewibawaan kiai, seorang murid tidak pernah membantah apa yang dilakukan oleh kiai. Kedudukan santri adalah client bagi dirinya. Lazimnya kiai sebagai patron tidak saja terbatas pada kehidupan santri.
Hubungan pemimpin dan yang dipimpin dalam orientasi budaya seperti itu, setidaknya melahirkan hubungan kepemimpinan model patron-client relationship. Secara definitif, James C. Scott menjelaskan pola hubungan patron-client sebagai berikut:
Hubungan timbal balik di antara dua orang dapat diartikan sebagai sebuah kasus khusus yang melibatkan perkawanan secara luas, di mana individu yang satu memiliki status sosial-ekonomi yang lebih tinggi (patron), yang menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan-keuntungan kepada individu lain yang memiliki status lebih rendah (klien), dalam hal ini klien mempunyai kewajiban membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan secara umum, termasuk pelayanan-pelayanan pribadi kepada patron”.
Merujuk pada penjelasan Scott di atas, peran patron dalam kehidupan kepemimpinan di pondok pesantren dijalankan oleh kiai atau keluarga kiai. Seperti diungkapkan Dhofier, bahwa kiai merupakan patron karena memiliki otoritas dan kekuasaan mutlak dalam mewarnai lembaga pondok pesantren. Tak seorang pun melawan kiai, apalagi santri di lingkungan pesantren, kecuali kiai yang memiliki kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar. Dengan sumber-sumber kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki secara normatif ditempatkan dalam status paling tinggi dari unsur-unsur lain yang ada di lingkungan pondok pesantren.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa hubungan kiai sebagai patron dengan santri sebagai klien diperkuat oleh sisitem nilai yang melembaga, yaitu tradisi sami’na wa atho’na (mendengar dan menaati). Nilai ini dibarengi dengan nilai lainnya yang mengatur antarunsur di pondok, yang kemudian membentuk subkultur tersendiri. Kemudian jika dikaji lebih jauh, sisitem nilai yang membentuk subkultur ini berkembang menjadi ciri khas pesantren. Segala aktivitas yang dikembangkan dan dilaksanakan oleh kiai diperkenalkan kepada santri sebagai tata kehidupan yang bersifat keibadatan.
Nilai-nilai yang terdapat di pondok pesantren bila dicermati ternyata mengandung tiga unsur yang mengarah pada terbentuknya hubungan patron-klien antara kiai dan santri. Pertama,hubungan patron-klien mendasarkan diri pada pertukaran yang tidak seimbang, yang mencerminkan perbedaan status. Seorang klien, dalam hal ini santri, telah menerima banyak jasa dari patron, yakni kiai, sehingga klien terikat dan tergantung pada patron. Kedua,hubungan patron-klien bersifat personal. Pola resiprositas yang personal antara santri dan kiai menciptakan rasa kepercayaan dan ketergantungan di dalam mekanisme hubungan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari budaya penghormatan santri kepada kiai yang cenderung bersifat kultus individu. Ketiga,hubungan patron tersebar dan menyeluruh, fleksibel dan tanpa batas kurun waktunya. Hal ini dimungkinkan karena sosialisasi nilai ketika menjadi santri berjalan bertahun-tahun. Suatu bentuk nilai yang senantiasa dipegang teguh oleh para santri, misalnya tidak adanya keberanian dari para santri untuk berdebat dan membantah soal apapun yang dikemukakan oleh kiai karena bisa kuwalat dan ilmunya tidak bermanfaat. Suatu kutukan dirasa berat, bila sampai dilontarkan kiai kepada santri.3
Ketiga faktor yang mendasari patron-client relationship di pondok pesantren tersebut tentunya dapat terlihat dari tipe kepemimpinan yang dijalankan dalam mengelola lembaga pondok pesantren. Dengan penonjolan dominasi kiai dan penekanan kuat tradisi, akhirnya kepemimpinan yang muncul bercorak paternalistik di mana seorang kiai berstatus sebagai pelindung, guru, dan bapak bagi para santri. Artinya kebersamaan para anggota, posisinya sebagai bawahan dalam pondok pesantren. Sedangkan pemimpin berada di atas para anggota tersebut.
Melihat dari gambaran inilah kemudian denotasi pengertian nasionalisme bertumpu pada kiai sebagai faktor utama berkembangnya paham nasionalis di pondok pesantren. Kiai yang berkompeten dan memiliki pengetahuan cukup luas mengenai kenegaraan di samping pengetahuan agamanya, akan melibatkan santri-santrinya untuk ikut andil dalam berbagai kegiatan yang berbasis kenegaraan, misalnya ikut serta dalam organisasi kemasyarakatan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan sejenisnya yang bertujuan untuk mendidik para generasi muda menjadi kader-kader yang berwawasan agamis dan nasionalis. Ataupun minimal mengikuti kegiatan sosial masyarakat di lingkungannya, seperti aktif menjadi anggota karang taruna. Ini menunjukkan betapa pentingnya kiai untuk mengenali pola perilaku dan pikiran para santrinya.
Sejatinya, kehidupan santri di pondok pesantren bersifat komunalistik, di mana tata pergaulan di antara para santri tidak tersekat oleh tradisi kehidupan yang individualistik. Berbagai santri berasal dari daerah-daerah yang berbeda, tetapi kemudian dalam kehidupan pesantren menjadi satu kesatuan utuh di bawah kebesaran kiai. Kehidupan sehari-hari yang menampakkan komunal, seperti kebiasaan makan dan minum, belajar, serta tidur bersama merupakan tindakan yang mudah membentuk ikatan-ikatan sosial di mana pengaruh terhadap masing-masing individu sangat kuat. Para santri yang menamatkan belajar di pondok pesantren kemudian kembali ke kampung halamannya membentuk organisasi atau perkumpulan yang menghimpun masyarakat setempat. Suatu bentuk jaringan sosial yang berfungsi menghubungkan kepentingan pondok pesantren dengan pihak-pihak yang tersebar dalam kehidupan masyarakat.
Hal inilah tampaknya kurang diperhatikan oleh sebagian pondok pesantren kecil maupun besar. Kebanyakan dari pondok pesantren hanya memfokuskan kurikulum pembelajarannya pada segi agama saja, sesuai dengan fungsi utamanya. Pandangan atau ajaran-ajaran yang berbasis kenegaraan dan sosial kurang ditanamkan kepada para santri. Sehingga santri yang awam terhadap pendidikan kewarganegaraan akan merasa asing ketika berbicara mengenai kewajibannya terhadap negara di samping agama.
Faktor lain yang menjadi penyebab utama adalah tipe pondok pesantren yang memiliki ciri khas berbeda. Pondok pesantren di Indonesia umumnya dibagi menjadi dua, yakni pondok pesantren tradisional (salaf) dan pondok pesantren modern (khalaf). Pondok pesantren salaf memiliki unsur-unsur internal yang sederhana, yakni masih menampakkan homogenitas tinggi dan jenis pendidikannya sederhana atau tradisional. Kiai mendominasi sistem pengajaran dan pendidikan. Selain itu, hubungan santri dengan kiai dilakukan secara langsung atau bertatap muka. Dalam hal ini, unsur kiai sangat kuat. Di samping karena faktor komunitas yang tidak kompleks dalam membentuk ikatan-ikatan sosial, juga faktor materi pengajaran kitab yang sarat dengan nilai-nilai religius dapat membentuk hubungan santri dan kiai dalam bingkai legitimasi agama. Dari sini diketahui betapa besar kepatuhan seorang santri terhadap kiai di pondok pesantren salaf.
Namun model hubungan seperti ini memudar ketika mempelajari ikatan-ikatan sosial yang menggejala di pondok pesantren khalaf. Sifat yang dimiliki pondok pesantren ini cenderung memasukkan unsur-unsur luar pesantren menjadi bagian dari sistem pembelajaran di pesantren. Bentuk pesantren khalaf ditandai dengan pendidikan sekolah yang menggunakan kurikulum formal, dan setiap alumnus di pondok pesantren khalaf diberikan ijazah yang diakui legalitasnya oleh pemerintah.
Jika dicermati, hubungan santri dan kiai di pondok pesantren cenderung longgar dan tidak sekuat seperti pondok pesantren salaf. Hal itu disebabkan karena proses pendidikan dan pengajaran tidak lagi didominasi oleh peran kiai, melainkan oleh pihak-pihak di sekolah yang dimiliki oleh pondok pesantren khalaf sebagai pembuat kebijakan pendidikan formal. Selain itu, ciri yang bisa ditemukan antara pondok pesantren khalaf dan pondok pesantren salaf adalah, pada pondok pesantren khalaf materi-materi yang diajarkan bersifat umum seperti pendidikan kewarganegaraan, matematika, ekonomi, teknologi, dan sebagainya, yang tidak mungkin diajarkan oleh kiai sendiri. Sehingga dapat secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa hubungan antara kiai dan santri di pondok pesantren khalaf tidak secara intens. Para santri cenderung menjalin komunikasi aktif dengan gurunya.
Kendati demikian, tidak sedikit pondok-pondok pesantren salaf yang lambat laun berubah menjadi pondok pesantren khalaf, seperti pondok pesantren Tebu Ireng Jombang, pondok pesantren Lirboyo Kediri, dan sebagainya. Hal itu disebabkan karena perkembangan ilmu pengetahuan yang menuntut agar setiap individu dapat berwawasan luas guna menjaga dirinya dari arus derasnya modernisasi.
Fenomena tersebut di atas merupakan model hubungan yang menjadi penentu dalam atau tidaknya pemahaman para santri terhadap nasionalisme bangsanya. Hendaknya pemahaman kenegaraan seperti ini masih dipertahankan di lembaga pendidikan manapun. Karena urgensi yang dimilikinya akan menjadi barometer kesuksesan pembangunan negara. Negara tidak akan mampu berkembang jika tidak mendapat dukungan positif dan aksi nyata dari rakyatnya.
Mungkin fakta semacam ini adalah benih dari masalah besar yang akan muncul di kemudian hari. Santri yang identik dengan korban dogma oleh kiainya selayaknya tidak hanya mempelajari ilmu agama saja, melainkan juga ilmu kewarganegaraan yang pada dasarnya akan menguntungkan dirinya dan orang lain, terlebih untuk negaranya sendiri. Pendidikan sejak dini terhadap pemahaman tersebut mutlak diperlukan. Peran-peran dari pihak-pihak terkait, khsusunya kiai sebagai seorang panutan menjadi alternatif utama dalam pengembangan kualitas anak didiknya. Sehingga diharapkan agar kepemilikan jiwa nasionalis tidak tumbuh secara sepihak, melainkan mencakup seluruh unsur yang ada dalam kehidupan masyarakat.
1 Terjadi pada pertengahan tahun 2011

2 Dalam buku Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai; Konstruksi Sosial Berbasis Agama, (Surabaya: LKIS Yogyakarta, 2007), hlm. 230-231

3 Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999), hlm. 79

0 Komentar untuk " Nasionalisme Santri "
Back To Top