MENEGUHKAN PERAN PONDOK
PESANTREN UNTUK NKRI:
Sarasehan Temu Santeri Untuk Negeri di Kabupaten Tegal
Belajar dari Pengalaman KH
Wahab Chasbullah sebagai Aktor Resolusi Jihad dan Perjuangan Revolusi
Kemerdekaan[1]
Oleh Ahmad Baso[2]
Pengantar
Menyebut pesantren dan kebangsaan sudah
lumrah. Bahkan terlalu bising kini. Karena sering muncul dalam surat kabar,
dalam pidato-pidato pembukaan, dalam spanduk, seakan-akan sudah tidak punya
kandungan apa-apa, alias hampa. Argumen untuk itu yang kurang kini; jangan
hanya menjadi slogan saja tanpa isi, tanpa bukti. Sangat banyak retorika
tentang pesantren dan kebangsaan, tapi miskin wawasan dan wacana. Kajian-kajian
akademik tentang pesantren dan kebangsaan pun juga sangat kering. Tidak muncul
perdebatan keilmuan tentang hubungan kebangsaan dan pesantren, seperti yang
dulu terjadi dalam Polemik Kebudayaan.
Retorika politik dan perebutan kursi dan suara kini sudah menggantikan wacana
keilmuan tentang pesantren dan kebangsaan.
Setelah kemunculan
hiruk-pikuk soal mana yang liberal dan mana yang radikal, perbincangan tentang
pesantren dan kebangsaan lalu menyempit hanya seputar apakah pesantren itu
progresif dan toleran? Ataukah akan menjadi sarang radikalisme dan
fundamentalisme Islam?! Kader-kader anak-anak sekolahan dan juga kalangan
orientalis pun kini sudah jarang yang membicarakan tentang pesantren dan
penguatan kebangsaan Indonesia. Tidak heran kalau buku Negara Paripurna yang ditulis Yudi Latif, kader sekolahan
Australia, misalnya, ketika memberi tafsiran tentang Pancasila, tidak lagi
menaruh perhatian tentang suara pesantren dan kebangsaan.
Karena ruang yang dipersempit tersebut,
hubungan pesantren dan ke-Indonesia-an pun akhirnya hanya rame dengan pandangan pesantren sebagai “pendidikan Islam”. Seperti
yang kini banyak muncul di lingkungan Kementerian Agama. Ya mungkin karena
disana jelas proyeknya dan juga menggiurkan alokasi penganggarannya.Padahal itu
jelas mereduksi hakikat pendidikan semesta yang diorientasikan orang-orang
pesantren, yakni pendidikan seumur hidup untuk siapapun – siapapun mereka, asal
mereka adalah anak anak bangsa ini, dan yang mencakup segenap ilmu pengetahuan
di Nusantara ini, seperti ilmu pertanian, ilmu politik, ilmu sosial, dan ilmu
ekonomi.
Salah satu kekeliruan kebijakan Kementerian
Agama adalah menempatkan pesantren bukan sebaga pendidikan kebangsaan yang
terintegrasi dengan berbagai komponen keagamaan dan kebudayaan bangsa ini.
Orang-orang Kristen misalnya belajar ke pesantren; orang-orang Hindu di Bali
juga belajar ke pesantren, sehingga banyak teks-teks dialog antara kaum santri
dan orang-orang Hindu Bali, seperti dalam soal belajar ilmu kesehatan dan
pengobatan, termasuk kontak-kontak politik di antara mereka. Orang-orang
pesantren bukan hanya mengajarkan soal-soal agama dan ubudiyah, tapi juga
bagaimana membangun kemaslahatan dalam kehidupan kita di dunia ini, lebih
khusus lagi dalam relasi ke-Nusantara-an ini. Seperti dibuktikan dari ilmu-ilmu
yang diajarkan orang-orang pesantren yang berjumlah 14 disiplin keilmuan itu.[3]
Pesantren pun juga tidak bisa dipersempit
menjadi bahasa “perbandingan agama”. Orang-orang Kristen seperti Kiai Sadrach
misalnya, menyebut ilmunya dan tradisinya pesantren menjadi instrumen untuk
melestarikan kebudayaan bangsa ini. Sehingga slametan dan ilmu “semillah” (ilmu bismillah) diajarkan oleh Kiai Sadrach kepada para jamaahnya.[4] Kini
ketika orang berbicara tentang pelestarian kebudayaan bangsa ini, dari maritim,
pertanian, arsitektur, hingga kuliner, sudah lupa pesantren. Padahal pesantren
merupakan gudang peradaban bangsa ini. jelas, studi-studi perbandigan agama
tidak akan sampai pada pencapaian orang-orang pesantren seperti ini.
Nah, untuk itu kita perlu belajar meneguhkan
peran pesantren untuk bangsa ini kepada almaghfur lah Kiai Wahab Chasbullah,
salah seorang pendiri NU.
Kiai Wahab Chasbullah,
Karakter Pelopor Kebangsaan, dalam Pikiran, Aksi dan Organisasi
Almaghfur-lah KH Wahab Chasbullah (lahir pada
1888 di Jombang, Jawa Timur; wafat 1971) adalah seorang kiai nasionalis, dalam
pikiran dan tindakan, seorang pembela negara dan bangsa ini hidup hingga mati.
Sejak nyantri di berbagai pesantren dengan sejumlah guru dan kiai, Di Mekah
beliau mendirikan organisasi Sarekat Islam di tahun 1912-1914.[5] Pulang
ke Jawa di tahun 1914, beliau aktif dalam berbagai kegiatan pergerakan
nasional. Ada sejumlah organisasi yang beliau dirikan: Nahdlatul Wathan
(organisasi kebangsaan bersama KH Mas Mansur), Syubbanul Wathan (gerakan pemuda
kebangsaan), Nahdlatuttujjar (Gerakan Kebangkitan Para Pedagang), Tashwirul
Afkar (forum pencerahan pemikiran), Islamic Studi Club bersama dokter Soetomo
(pendiri Boedi Otomo), serta Komite Hijaz yang menjadi embrio berdirinya
Nahdlatul Ulama (NU).[6] Bahkan
ada cabang Boedi Oetomo Surabaya yang mengikuti Tasjwiroel Afkar, dengan nama “Suryo
Sumirat afdeeling [cabang] Tasjwiroel Afkar”. Suryo Sumirat adalah
nama satu perhimpunan yang dibentuk oleh orang-orang Boedi Oetomo di Surabaya.[7]
Itu digambarkan dengan apik
oleh Kiai Saifuddin Zuhri dalam bukunya tentang karakter kosmopolit-kebangsaan
sang kiai paripurna ini:
Dari
pondok pesantren [tempat bergumul Kiai Wahab Chasbullah] lahirlah ide-ide yang
hidup, segar dan mendapat sambutan antusias dari masyarakat, dan bukanlah
ide-ide yang cuma teoritis yang mati di tengah cetusannya. Ide kebangkitan kaum
ulama, ide pentingnya pengorganisasian perjuangan, ide pendekatan
golongan-golongan Islam-Nasional, ide perlawanan terhadap segala bentuk
penjajahan, ide mencetuskan kemerdekaan dan mempertahankannya, ide mengisi
kemerdekaan, ide mempertemukan antara cita-cita dan kenyataan, dan tentu saja
ide pembangunan di segala bidang, membangun karakter bangsa, membangun taraf
hidup dan membangun prestasi nasional untuk kepentingan seluruh warga negara
Republik Indonesia.[8]
Ini misalnya ditunjukkan
pada pendirian Nahdlatul Wathan. Kiai Wahab Chasbullah mendirikan organisasi pemuda ini untuk
menggelorakan semangat nasionalisme di kalangan umat Islam. Ia bertemu dengan
KH Mas Mansur, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah, dan sepakat dengan
gagasan tersebut. Juga disambut baik oleh HOS Tjokroaminoto, Raden Pandji
Soeroso, Soendjoto, dan KH Abdul Kahar, seorang saudagar terkemuka yang
kemudian membantu pendanaannya.
Maka, berdirilah sebuah gedung bertingkat di Kampung Kawatan
Gang IV, Surabaya, yang kemudian dikenal dengan perguruan Nahdlatul Wathan
(Pergerakan Tanah Air). Tujuannya, untuk mendidik kader-kader muda dan
membangunkan semangat nasionalisme mereka. Pada 1916, perguruan ini mendapat
Rechtsperson (resmi berbadan hukum), dengan susunan pengurus: KH Abdul Kahar
sebagai Direkur, KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai pimpinan Dewan Guru dan
Keulamaan dan KH Mas Mansur sebagai Kepala Sekolah dibantu KH Ridwan Abdullah.
Sejak itu Nahdlatul Wathan dijadikan markas penggemblengan
para pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah
air. Setiap hendak memulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih
dahulu menyanyikan lagu perjuangan kebangsaan dalam bahasa Arab, yang telah
digubah oleh Kiai Wahab dalam bentuk syair seperti berikut:
Ya
ahlal wathan, ya ahlal wathan....
Hubbul wathan minal-iman
Wahai bangsaku, wahai bangsaku...
Cinta tanah air adalah bagian dari iman
Cintailah tanah air ini wahai bangsaku
Jangan kalian menjadi orang terjajah
Sungguh kesempurnaan dan kemerdekaan
harus dibuktikan dengan perbuatan...
Setelah Mas Manshur aktif di
Muhammadiyah kemudian kepala sekolah dijabat oleh Mas Alwi mengembangkan sayap Nahdlatul
Wathan di berbagai daerah. Madrasah Akhul Wathan (Saudara Setanah
Air) di Semarang, Far'ul Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Malang,
Hidayatul Wathan (Petunjuk Tanah
Air) di Jombang dan Jagalan, Ahlul
Wathan (Warga Tanah Air) di Wonokromo dan Khitabul Wathan di
Pacarkeling[9].
Pendirian madrasah-madrasah kebangsaan ini tidak lain adalah sebagai bentuk
upaya kaum santri untuk menumbuhkembangkan semangat nasionalisme-religius ala pesantren ke dalam jiwa putera-puteri
bangsa kita.
Inilah amal dan perbuatan
Kiai Wahab Chasbullah untuk bangsa ini di masa penjajahan Belanda.
Kemudian, di masa pendudukan Jepang, ide-ide
yang sudah dipupuk di masa kolonial Belanda dilanjutkan pada level aksi nyata.
Yakni melalui pembentukan laskar rakyat-pemuda. Mengapa beralih ke pembentukan
laskar rakyat? Kiai Wahab sendiri pernah mengatakan: “Kalau kita mau keras, harus mempunyai keris!” Artinya, bahwa kita baru
bisa bertindak jika kita telah mempunyai kekuatan. Kekuatan politik, kekuatan
militer, dan juga kekuatan batin atau rohani, demikian yang ditulis KH
Saifuddin Zuhri, menafsirkan ucapan gurunya itu.[10]
Ide ini awalnya untuk kepentingan pertahanan
rakyat dalam konteks menghadapi Perang Pasifik. Tapi niat pemerintah militer
Jepang itu dimanfaatkan oleh Kiai Wahab untuk menggembleng kalangan santri
dalam latihan fisik-kemiliteran untuk jaga-jaga. Kiai Wahab lalu memebri nama
laskar-santri itu Laskar Hizbullah. Ini dengan memanfaatkan keterlibatan para
kiai dalam rekrutmen tentara PETA di Cibarusa, Jawa Barat, tahun 1944. Sepulang
dari latihan militer ini, para kiai ini kemudian mengkader pasukan-pasukan
Laskar Hizbullah di daerahnya masing-masing.
Laskar ini kemudian menjadi komponen utama perlawanan rakyat dan kaum
santri dalam perang kemerdekaan di tahun 1945-1949.[11]
Nah, selama dalam perang kemerdekaan itu,
peranan Kiai Wahab Chasbullah tidak bisa dikesampingkan.
Peran Kiai Wahab
Chasbullah dalam Resolusi Jihad
Ketika
pasukan Sekutu dan Belanda tiba di Surabaya pada Oktober 1945, Presiden
Soekarno menemui Hadlratusysyekh KH Hasyim Asy'ari menanyakan hukum membela
tanah air ini. Hadlratusysyekh kemudian memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai
Bisri Syamsuri dan para kiai kharismatik lainnya untuk menyikapi permintaan
Soekarno tersebut. Kemudian, Kiai Wahab
dan sejumlah kiai mengumpulkan para ulama se-Jawa dan Madura. Mereka berkumpul
di Bubutan, Surabaya, pada 22-23 Oktober 1945. Rapat dipimpin oleh Kiai Wahab
Chasbullah sendiri setelah dibuka oleh Kiai Hasyim Asy’ari dengan amanah khusus
tentang pentingnya jihad membela agama dan negara dan bangsa. Menurut Kiai
Hasyim Latif dan Kiai Saifuddin Zuhri, rapat tersebut memang dipimpin oleh Kiai
Wahab dan beliau sendiri yang mendraft teks naskah Resolusi Jihad, setelah
meminta pertimbangan Kiai Hasyim Asy’ari dan para hadirin.[12]
Rapat
maraton itu kemudian melahirkan pernyataan Resolusi Jihad yang dibacakan oleh KH
Hasyim Asy’ari pada 23 Oktober 1945. Isinya berupa jawaban mendeklarasikan
seruan jihad fi sabilillah yang terkenal dengan istilahResolusi Jihad. Segera
setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas pasukan non
regular pasukanHizbullah dan Sabilillah dan tinggal menunggu komando.
Resolusi
Jihad inilah yang kemudian mendorong semangat rakyat Surabaya untuk berjuang
pada 10 November 1945. Dan Kiai Wahab disebut hadir sehari sebelumnya dalam
pertemuan para tokoh nasioanlsi dalam rangka persiapan mengahdapi ultimatum
tentara Inggris.[13]
Selama revolusi kemerdekaan Kiai Wahab Chasbullah
juga bergabung dalam gerakan gerilya menentang kembalinya kekuasaan Belanda. Ia
menyumbangkan hartanya untuk perlengkapan militer, berhubungan dengan unit-unit
grilya dan membantu mengkoordinasi rekrutmen-rekrutmen dan pelatihan terhadap
santri di Jawa Timur. “With the onset of the Indonesian Revolution Wahab became
involved in the guerilla movement against the returning Dutch forces. He raised
money for military equipment, addressed guerilla units and helped coordinate the
recruitment and training of santri in EastJava”, demikian yang ditulis Fealy
berdasarkan sumber dari KH Saifuddin Zuhri[14] dan
juga dari wawancara dengan KH Hasyim latif, salah seorang aktor Laskar
Hizbullah di Jawa Timur, di Sepanjang, 11 September 1991.[15] Kiai
Hasyim Latif sendiri pernah menulis buku berjudul Laskar Hizbullah: Berjuang
Menegakkan Negara RI (Jakarta: Lajnah Ta'lif wan Nasyr PBNU, 1995). Buku
ini juga mengungkap peranan Kiai Wahab Chasbullah selama Perang kemerdekaan.
Kiai Wahab Chasbullah juga berjasa membentuk laskar-laskar did
aeraqhnya sendiri, di Jombang. Laskar Hizbullah Jombang didirikan atas desakan
KH Hasyim Asy’ari kepada KH Wahab Chasbullah, akhir Agustus 1945, tak lama
setelah kemerdekaan RI diproklamasikan.
Perintah K.H. Hasyim Asy’ari untuk
memobilisasi pemuda di Kabupaten Jombang segera disampaikan KH Wahab Hasbullah
kepada H Affandi, seorang dermawan yang pernah ditahan oleh Jepang bersama KH
Hasyim Asy’ari. Kemudian H Affandi menghubungi A Wahib Wahab, putra KH Wahab
Hasbullah yang menjadi Syodanco PETA. H Affandi meminta agar A Wahib Wahab
bersedia memimpin Laskar Hizbullah yang akan didirikan.Ketika di Surabaya
terjadi pertempuran 10 Nopember, Hizbullah Karesidenan Surabaya disatukan dalam
satu divisi yang diberi nama Divisi Sunan Ampel, dipimpin oleh A Wahib
Wahab. Penggabungan ini bertujuan untuk memperkokoh serta meningkatkan
badan perjuangan umat Islam.
Kiai Wahab Chasbullah
dan Barisan Kiai
Nah, setelah Resolusi Jihad
dicetuskan, Kiai Wahab kemudian bergerak di lapangan. Itu ditunjukkan dari
peran beliau sebagai komandan Barisan Kiai. Barisan Kiai tidak popular di
kalangan kaum pergerakan merebut kemerdekaan. Tidak seperti Laskar Hisbullah pimpinan KH Zainul Arifin
yang bermarkas di Malang atau Laskar Sabilillah di bawah komando KH Masykur.
Barisan laskar kiai khos ini, so dikutip dari KH Saifuddin Zuhri di atas, sudah
muncul sejak masa pendudukan Jepang. Pasca Resolusi Jihad, misinya kemudian
lebih mengental untuk tujuan-tujuan khusus perjuangan mempertahankan
kemerdekaan bangsa kita.
Apa itu Barisan Kiai dan apa
peran Kiai Wahab di sana?
Dalam buku-buku sejarah resmi,
apalagi yang diajarkan kepada anak-anak sekolah, nama Barisan Kiai tidak
muncul. Sebutan ini dimunculkan eprt kali oleh seorang santri Kiai Wahab, yang
juga aktif dalam pergerakan nasional, KH Saifuddin Zuhri. Dalam buku yang
terbit setahun setelah Kiai Wahab wafat, KH Saifuddin Zuhri menulis “Di samping ada ‘Tentara Pembela Tanah-Air’, juga tersusun Laskar HIZBULLAH
di bawah pimpinan Almarhum Zainul Arifin, Laskar SABILILLAH di bawah pimpinan
Kiai Haji Masjkur, dan BARISAN KIAI dipimpin sendiri oleh Kiai Wahab.”[16]
Mengungkap
peran Kiai Wahab sebagai komandan Barisan Kiai di era Revolusi Kemerdekaan
tahun 1945-1949 memang amat
susah. Karena Kiai Wahab sendiri menutupi keberadaan laskar kiai-kiai khos ini.
Dan hanya orang-orang tertentu saja yang tahu.
Kalau Peran Kiai Wahab ini bisa terungkap, sudah selayaknya beliau dapat penghargaan anugerah pahlawan nasional untuk tahun ini. Karena dengan barisan ini, perjuangan kemerdekaan di kalangan rakyat benar-benar menjadi dinamit yang mengekalkan semangat heroik dan daya juang rakyat kita di lapangan dalam berperang melawan penjajah.
Kalau Peran Kiai Wahab ini bisa terungkap, sudah selayaknya beliau dapat penghargaan anugerah pahlawan nasional untuk tahun ini. Karena dengan barisan ini, perjuangan kemerdekaan di kalangan rakyat benar-benar menjadi dinamit yang mengekalkan semangat heroik dan daya juang rakyat kita di lapangan dalam berperang melawan penjajah.
Di antara
sedikit orang yang tahu tentang Barisan Kiai itu, setidaknya dan tiga sumber
yang bisa saya tunjukkan di sini:
Pertama, sumber yang ditulis oleh murid beliau sendiri, KH Saifuddin Zuhri. Pernah
menjabat sebagai Menteri Agama di era Sukarno, KH Saifuddin Zuhri menulis tiga
buku yang mengangkat kiprah Kiai Wahab selama Perang Kemerdekaan. Ketiga buku
ini sudah sering saya kutip di atas.
Dalam buku
ini Kiai wahab disebut sebagai komandan Barisan Kiai pusat.
Kedua, penuturan para informan pelaku sejarah yang pernah bergabung dalam
Kesatuan Laskar Hizbullah Surakarta. Pengalaman mereka sudah dibukukan dengan
judul Hizbullah Surakarta (UMS Karanganyar, 1992).
Dalam buku
ini disebut struktur pimpinan Barisan Kiai dan naman-nama kiainya. Karena ini
kasusnya Hizbullah Surakarta, maka yang disebut di sana adalah Barisan Kiai
Jawa Tengah pimpinan Kiai Ma’ruf; dan Barisan Kiai Surakarta pimpinan Kiai
Abdurrahman. Barisan Kiai Sragen dipimpin Kiai Haji Bolkin, KH Muslim, Kiai
Ridwan, Kiai Sujak dan Kiai Djarkasi.
Disebut
juga: “Semula Sabilillah merupakan laskarnya Barisan Kiai. Tetapi para kiai
menyadari, akhirnya Sabilillah yang ditampilkan.”[17]
Ketiga, penuturan seorang informan bernama Tamsiri Hadi Supriyanto, mantan
komandan Hizbullah di wilayah Surakarta, yang kemudian ditulis oleh Tashadi
dalam satu artikelnya berjudul “Hizbullah-Sabilillah Divisi Sunan Bonang dalam
Revolusi Kemerdekaan: Lahir dan Pertumbuhannnya”.[18]
Dari sumber
terakhir ini, kita temukan satu karakter Barisan Kiai. Tidak mendapat gaji,
tidak mendapat jabatan tertentu, keiktu sertaan mereka dalam perjuangan
kemerdekaan didasarkan pada keikhlasan dan semangat mempertahankan negara dan
agama.
“Penasehat
Laskar Hizbullah-Sabilillah adalah para ulama atau kiai yang memiliki peran
dalam pembinaan mental dan ideologi, tetapi kadang-kadang mereka juga ikut
berjuang di medan perang. Gabungan para ulama atau kiai dalam laskar
Hizbullah-Sabilillah diberi nama Barisan Kiai”.[19]
Barisan Kiai tidak kalah gigihnya
dengan ketiga lasykar di atas, dan langsung di bawah pimpinan Kiai Wahab
Chasbullah sendiri. Keberadaan Barisan Kiai ini memang sangat dirahasiakan,
karena anggotanya terdiri dari para kiai sepuh, yang memang tidak pernah muncul
dipermukaan. Bahkan di antaranya sudah tua renta, yang berjalan dan melihatpun
pun sudah tidak mamapu. Namun demikian, mereka tokoh yang disegani.
Kelahiran Barisan Kiai ini tidak
diketahui persis, karena ia merupakan komitmen para kiai sejak lama dan ‘khas’.
Tapi, Jepang mengetahui pergerakan mereka. Dan tak lama mereka menangkap serta
memenjarakan tokoh-tokoh kunci, seperti Hadrotusy Syekh KH Hasyim Asy’ari, KH
Machfudz Siddiq. Dan ternyata, para kiai yang ditangkapi tidak hanya di Jombang
dan Surabaya, tapi juga di Wonosobo, Banyumas, Magelang.Sikap Jepang yang keras
membuat Kiai Wahab Chasbullah, keliling Jawa, selama empat bulan, guna membela
para koleganya yang dipenjara.
Disebutkan dalam buku ketiga di
atas, Ketua Barisan Kiai Jawa Tengah KH Ma’ruf, Barisan Kiai Solo dipimpin KH
Abdurrahman yang usianya sudah sangat uzur, Barisan Kiai Sragen dipimpin KH Bulkin.
Para kiai itu menjadi pembimbing kapan musuh datang dan harus menyerang. Dan
para kiai pula yang tergabung dalam Barisan Kiai yang memberi doktrin bela
negara-bela agama di kalangan para anggota laskar perjuangan. Dan itu semua
berkat perjuangan al-maghfur-lah Kiai Wahab Chasbullah.
Penutup:
Kiai Wahab dan Habib Syekh Sayid Idrus al-Jufri: Merat-Putih Total.....
Sebagai penutup saya mau kutip
pandangan kebangsaan seorang ulama kharismatik kawan dekat Kiai Wahab. Yakni
Habib Syekh Sayid Idrus bin Salim al-Jufri (w. 1969), pendiri Pesantren
al-Khairat yang tetap fenomenal hingga kini di Palu pada 30 Juni 1930. Beliau
lahir di Tarim, Hadlramaut, dari ayah yang seorang mufti, dan ibu yang berdarah
Bugis (dari keluarga Arung Matoa Sengkang). Karakter nasionalis pendiri al-Khairat
ini tergambar dalam satu syair yang dilantungkan oleh sang pendiri pada
pengimbaran Sang Saka Merah Mutih pada 17 Desember 1945 di tanah Sulawesi:
Likulli ummatin ramzu izzin
(Setiap bangsa punya simbol kebanggaan
Dan simbol kebanggan bangsa kami adalah warna Merah-Putih!)
Masihkah kini ada yang menganggap
nasionalisme dan hormat bendera merah putih syirik dan thaghut? Keturunan
Rasulullah shallallahualaihiwasallam saja, darah biru, dan dijamin masuk surga,
dan tidak ada yang ragukan keislaman beliau, begitu kuat nasionalisme
ke-Indonesia-annya. Bahkan beliau hormat dan ta’zhim kepada simbol bangsa kita:
Merah Putih!***
[1] Makalah
dipresentasikan dalam Temu Santri untuk Negeri di Aula Pendopo Kab. Tegal, 21
Mei 2014, diselenggrakan oleh Keluarga Alumni Universitas Wahid Hasyim Semarang
(KAWAH) dan RMI Kab. Tegal.
[2]Penulis adalah Wakil Ketua PP Lakpesdam PBNU, penulis Agama NU untuk
NKRI, PESANTREN STUDIES (kini sudah 3 jilid), NU Studies, Islam
Pascakolonial, dan beberapa buku lainnya; dan pengajar di Pasca Sarjana
“Studi Kepesantrenan” INSTIKA Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep; dan pengajar di
Pasca Sarjana Islam Nusantara di STAINU Jakarta.
[3]Lihat dalam PESANTREN
STUDIES 2a.
[4]Ilmu “bismillah” ini,
jika ditelusuri lebih jauh hingga ke teks-teks Wali Songo dan murid-muridnya,
tampak sudah diajarkan sejak lama oleh kalangan pesantren. Dalam teks Jawa dari
abad 16 yang disebut berasal dari Sunan Bonang, ada pengajaran tentang ilmu ini.
demikian pula dalam teks-teks turunannya, seperti dalam teks-teks “primbon”
dari Ngawi dan Sumedang dari abad 19, seperti disebut Kraemer dalam bukunya, Een Javaansche Primbons, hal. 177-80,
dan 213.
[5]Lihat dalam KH Aziz Masyhuri, Kiai Bisri Syansuri: Cita-cita dan
Pengabdiannya; dan dalam Saifullah Ma’shum (editor), Karisma Ulama.
[6]Lihat Sejarah Kebangkitan Nasional di Jawa Timur (Jakarta: Departemen
pendidikan dan Kebudayaan, 1982).
[7]Lihat
Choirul Anam, Gerak Langkah Pemuda Ansor:
Seputar Sejarah Kelahiran (Jakarta: Duta Aksara Mulia, 2010), cet. 2, hal.
5-7.
[8]KH. Saifuddin Zuhri, Almaghfur-lah K.H.
Abdul Wahab Chasbullah, Bapak dan Pendiri Nahdlatul Ulama (Jakarta:
Penerbit Yamunu, 1972), hal. 109.
[9]M. Masyhur Amin, Dinamika Islam: Sejarah Transformasi dan Kebangkitan, LKPSM,
Yogyakarta, 1995, hlm. 134-135.
[11]Tentang
peranan Kiai Wahab Chasbullah di masa pendudukan tentara Jepang, lihat KH
Saifuddin Zuhri, al-Maghfur-lah KH Abdulwahab Chasbullah, hal. 50; Guruku
Orang-orang dari Pesantren; dan Berangkat dari Pesantren.
[12]KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, hal. 254; Kiai Hasyim Latif sendiri pernah
menulis buku berjudul Laskar Hizbullah: Berjuang Menegakkan Negara RI
(Jakarta: Lajnah Ta'lif wan Nasyr PBNU, 1995)., ahl. 53.
[13]Zainul Milal Bizawie,
Laskar ulama-Santri dan Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia
(1945-1949) (Ciputat: psutaka Compas, 2014), hal. 227-8.
[14]Kiai
Saifuddin Zuhri menulis demikian:
“Kiai Wahab menjelajahi hampir semua
pelosok dan daerah di seluruh Jawa, menggembleng semangat para pemuda dan
kiai-kiai akan arti dan suatu perjuangan kemerdekaan. Dikobarkan semangat
‘JIHAD’ menghadapi musuh yang hendak menghancurkan Kemerdekaan, apakah dia
Belanda atau Sekutu, ataukah Jepang sendiri. Kiai Wahab sendiri mempelopori
‘Barisan Mujahidin’ dan ‘Barisan Kiai’ dengan dalih untuk mempersiapkan perlawanan terhadap Belanda dan
Sekutu, padahal dalam hatinya disiapkan pula kemungkinan melawan Jepang sendiri
jikalau ia memusuhi perjuangan kita.
Kiai Wahab bukanlah Kiai Wahab jikalau
dalam perjuangannya tidak menyusun semua kekuatan baik kekuatan politik, fisik
maupun rohani. Ucapannya yang populer ialah: ‘Kalau kita mau keras, harus
mempunyai keris!” Artinya, bahwa kita baru bisa bertindak jika kita telah
mempunyai kekuatan. Kekuatan politik, kekuatan militer, dan juga kekuatan batin
atau rohani.
Dimana-mana Kiai Wahab menyebar ijazah
macam-macam hizib, doa maupun wirid kepada seluruh warga Nahdlatul Ulama dan
kepada siapa saja yang memerlukan. Tentulah telah diperhitungkan bahwa
kaki-tangan musuh setiap saat bisa saja menyusup di tengah-tengah kita.
Maka tersusunlah kekuatan militer di
kalangan bangsa Indonesia. Di samping ada ‘Tentara Pembela Tanah-Air’, juga
tersusun Laskar HIZBULLAH di bawah pimpinan Almarhum Zainul Arifin, Laskar
SABILILLAH di bawah pimpinan Kiai Haji Masjkur, dan BARISAN KIAI dipimpin
sendiri oleh Kiai Wahab.”
KH Saifuddin Zuhri, al-Maghfur-lah KH
Abdulwahab Chasbullah, hal. 50-1.
[15]Lihat
Greg Fealy, “Wahab Chasbullah, Traditionalism and the Political Development of
Nahdlatul Ulama”, dalam Greg Fealy, & Greg Barton (editor), Nahdlatul
Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia (Clayton: Monash Asia
Institute Monash University, 1996).
[17] Soepanto, Hizbullah Surakarta (UMS Karanganyar, 1992), hal.
31.
[18]Dimuat
dalam Zulfikar Ghazali (penyunting), Sejarah Lokal: Kumpulan Makalah Diskusi
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional, 1995), hal. 221-34.
[20]Sejarah Pendidikan Daerah Sulawesi
Tengah, hal. 102-6; lihat juga dalam buku Biografi Syekh Sayid Idrus bin Salim al-Jufri, Pendiri al-Khairat dan
Kontribusinya bagi Pembinaat Umat (Palu: Yayasan al-Khairat,
2013).
Makalah ini adalah bahan untuk presentasi pada acara Sarasehan Kebangsaan Temu Santri untuk Negeri yang diadakan di kota Slawi Kabupaten Tegal pada tahun 2013
Silahkan meng-copy tetapi cantumkan sumbernya terima kasih
Makalah ini adalah bahan untuk presentasi pada acara Sarasehan Kebangsaan Temu Santri untuk Negeri yang diadakan di kota Slawi Kabupaten Tegal pada tahun 2013
Silahkan meng-copy tetapi cantumkan sumbernya terima kasih
0 Komentar untuk " Belajar dari Pengalaman KH Wahab Chasbullah sebagai Aktor Resolusi Jihad dan Perjuangan Revolusi Kemerdekaan "