Oleh : Eko Eddya Supriyanto*[2]
Sepanjang
sejarah hubungan diplomatik Indonesia-Australia mengalami pasang surut, ada
beberapa kejadian yang cukup sentimentil diantara hubungan bilateral kedua
negara yang berbeda karakter dimana Indonesia lebih menekankan budaya ketimuran
yang menggunakan hati nurani, sementara Australia lebih Anglo Saxion atau
mengedepankan rasionalitas dalam memutuskan masalah.
Politik
luar negeri Indonesia-Australia pernah mengalami titik rendah kala provokasi
jajak pendapat Timor-timur (sekarang Timor Leste). Ketika itu Australia begitu
gencar melakukan provokasi baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
rakyat Timor Leste dalam memberikan pendapatnya untuk memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan pasca keputusan jajak
pendapat yang memenangkan pro-integrasi Timor Leste, Presiden Indonesia saat
itu B.J Habibie menarik duta besar untuk Australia.
Beberapa
pengamat politik Indonesia ketika itu menjuluki Australia sebagai Tetangga
Sebelah Selatan yang usil. Yang teranyar hubungan Indonesia-Australia kembali
renggang akibat eksekusi hukuman mati (1/04/2015) terhadap terpidana mati Bali Nine yang tak lain adalah warga
negara Australia. Hal ini menimbulkan protes keras dari Perdana Menteri
Australia Tony Abott, bahkan sebelum eksekusi mati dilakukan oleh pemerintah
Indonesia. Pasca eksekusi terpidana mati Bali Nine, PM Australia memanggil Duta
Besarnya untuk Indonesia pulang.
Namun
yang menjadi pandangan saya, Australia tidak mungkin bertahan lama “ngambek”
kepada Indonesia, karena negara-negara besar seperti Amerika dan sekutunya pun
tahu bahwa Indonesia itu terlalu sexy untuk dilewatkan begitu saja. Bahkan
akademisi sekelas Gordon Flake sangat menyayangkan aksi “ngambek” Australia,
bagi Gordon Indonesia itu adalah peluang, peluang, dan peluang.
Menurutnya, pesatnya pertumbuhan kelas menengah
dan besarnya jumlah penduduk di Indonesia menjadikan negara ini sangat
menggiurkan untuk perdagangan dalam menggenjot perekonomian. "Jumlah
penduduk yang besar, dengan kelas menengah yang akan melampaui 100 juta pada
2050, Indonesia adalah pasar yang luar biasa besar". Australia terbiasa
mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap politisi Indonesia. Tapi sekarang
mereka bergerak berdasarkan opini publik, jadi di sinilah contoh bagaimana
demokrasi bisa mempersulit diplomasi[3]
Krisna
Sen yang juga seorang pengamat politik dan media Indonesia berpendapat, Kita harus menempatkan isu penghapusan
hukuman mati sebagai salah satu agenda kerja sama bersama negara-negara yang
lain, karena saat ini media di Indonesia mempertanyakan di mana Australia
ketika negara-negara lain melakukan eksekusi mati terhadap non-warga Australia?
Saat ini, masyarakat Australia sedang beradaptasi
dengan jenis demokrasi baru di Indonesia. Presiden Indonesia yang sekarang Joko
Widodo, adalah orang yang bertindak berdasarkan opini publik, sangat berbeda
dengan presiden sebelumnya yang kebijakannya sedikit banyak mendapat pengaruh
dari politisi Australia.
Namun
buat saya pribadi, ada beberapa hal postif yang bisa diambil oleh pemerintah
Indonesia dari sikap Australia yang melakukan safety terhadap warganya yang
menghadapi hukuman mati di luar negaranya.
Pertama,
ini menjadi PR mengenai perlindungan pekerja migran Indonesia (TKI) yang juga sedang
mengalami nasib vonis hukuman mati di beberapa negara seperti Arab Saudi,
Hongkong, Malaysia dll. Pemerintah paling tidak bisa meniru sikap Australia
dalam hal melindungi warganya.
Kedua,
Pemerintah juga perlu melakukan pendekatan kepada negara-negara yang banyak
melakukan vonis hukuman mati kepada warga negara Indonesia dengan pula
mempelajari kasus hukum yang menjeratnya.
Dan
ketiga, menunjukan kedaulatan bangsa Indonesia yang urusan dalam negerinya
tidak bisa di campuri oleh kepentingan luar negeri.
Terlepas
dari semua itu, negeri ini sebenarnya mampu melakukan itu asalkan pemimpinnya
mau untuk memberikan safety kepada warganya di luar negeri seperti yang sudah
diamanatkan oleh konstitusi kita Undang-Undang Dasar 1945. Wallahua’alam.
Tag :
Artikelku
,
geopolitik
,
HAM
,
Komunikasi Politik
,
Opini
,
Pendidikan Politik
,
Politik Luar Negeri
0 Komentar untuk " Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia-Australia "