Belajar Menapaki Kehidupan & Berevolusi Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik.
Mutiara Hati

Visi :
"Menapaki Revolusi Era Baru Bangsa Indonesia Tahun 2045"
Sang Mutiara Hati. Diberdayakan oleh Blogger.
Anda Butuh Training Manajemen, Training SDM, Survey Kepuasan Pelayanan dan Research di Perusahaan Anda?

Makalah Dilema Desentralisasi

BAB I
 PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Desentralisasi muncul ke permukaan di tahun 1970-an sebagai kritik terhadap gagalnya perencanaan terpusat dan dominasi paradigm pertumbuhan dengan pemerataan  (growth with equity). Selain itu desentralisasi juga sebagai manifestasi kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan penuh ketidakpastian yang tidak dapat dengan mudah direncanakan dari pusat. Sejarah system pemerintahan di Indonesia mencatat pasang surut antara sentralisasi dan desentralisasi sebagai system administrasi pemerintahan, dimana sejarah mencatat dsentralisasi di Indonesia mengalami pasang surut seiring dengan perubahan konstelasi politik dalam pemerintahan di Indonesia.
            Pada hakekatnya desentralisasi dan otonomi daerah merupakan bentuk system penyerahan urusan pemerintahan dan pelimpahan wewenangan daripada pemerintah di atasnya kepada daerah yang berada di bawahnya [1]. Penerapan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia diyakini akan mampu mendekatkan pelayanan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan memupuk demokrasi local. Indonesia yang memiliki banyak keragaman budaya diikat oleh semboyan Bhineka Tunggal Ika [2]. Semboyan angat penting untuk menikat kebersamaan bangsa ini yang terdiri adari ribuan pulau,ratusan kultur dan subkultur yang menyebar di seluruh nusantara. Berdasarkan pada variasi lokalitas yang beragam itu maka sangat tepat untuk  menerapkan otonomi daerah.
Otonomi daerah merupakan sarana atau alat yang memberi peluang seluas-luasnya bagi daerah untuk berkembang sesuai potensi alam dan sumber daya manusia yang ada di masing-masing daerah dan kemudian akan menciptakan suasana kompetisi antar daerah dalam mewujudkan kesejahteraaan bagi rakyatnya. Hal ini senada dengan pendapat Syamsuddin Haris sebagaimana dikutip mengatakan bahwa:
Otonomi daerah bertitik tolak dari asumsi pada cita-cita demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat tidak semata-mata ditentukan oleh bentuk negara, dalam pengertian sebagai negara kesatuan atau negara federal . namun bagaimana tumbuhnya system politik yang menjamin berlakunya mekanisme check and balance, distribusi kekuasaan secara sehat dan fair, pelaksanaan akuntabilitas pemerintahan dan tegaknya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan struktur ekonomi yang adil dan berorientasi kerakyatan.[3]
Defenisi di atas, menujukkan bahwa otonomi daerah bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat dengan penekanan pada tumbuhnya mekanisme system politik yang menjamin check and balance serta distribusi kekuasaan secara sehat dan fair antara pusat dan daerah lewat pemberaian pelayanan publik yang memuaskan dan mecapai seluruh  rakyatnya.
            Dalam upaya pencapaian kesejahteraan rakyat lewat otonomi daerah, maka akan tumbuh kompetisi antar daerah untuk berjuang mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Suasana kompetisi antar daerah di masa lalu hamper tidak dikenal karena semua kebijakan fiscal, administrasi dan politis diatur dari pusat. Hampir tidak ruang bagi eksekutif di daerah untuk menentukan kebijakan sendiri. Bupati dan Walikota yang telah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat ditolak oleh otoritas pusat jika tidak sesuai dengan kepentingan elit di pusat. Ini menunjukkan elit di daerah pada masa orde baru hanya merupakan kaki tangan pemerintah pusat yang ada di daerah. kondisi DPRD waktu orde baru sebagai wakil rakyat tidak berfungsi optimal karena rejim orde baru melestraikan status quo authoritarian dan DPRD dikooptasi.
            Perjuangan reformasi berhasil menumbangkan rejim orde baru tahun 1997 sangat membuka peluang untuk merombak tata pemerintahan yang sentralistik. Satu diantara pilar reformasi adalah penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Pemerintah pusat telah menjalankan desentralisasi sebagai konsekuensi reformasi, namun desentralisasi dan otonomi daerah lebih dilihat sebagai hadiah (kemurahan hati) pusat membagi kekuasaan kepada daerah. namun, kenyataannya sebagai satu keharusan dan menjadi pilihan kebijakan paling tepat bagi Indonesia yang paling heterogen dari segi variasi wilayah dan keanekaragaman kultur local yang harus dijalankan oleh berbagai daerah demi mempercepat tercapainya kesejahteraan masyarakat dan pendekatan pelayanan publik.[4] Reformasi melahirkan perubahan system dari sentralistik ke desentralistik, walaupun terkesan desentralisasi yang setengah hati paling tidak system ini memberikan kesempatan kepada masyarakat local untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sesuai dengan aspirasinya. Ini berarti local diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri  di bawah koridor peraturan perundang-undangan yang telah ditentukan. Dalam hal ini adalah  UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
            Kecurigaan terhadap adanya usaha sengaja kembali ke sentralisasi telah mulai mencuat ketika pemerintah melakukan revisi UU/1999 dengan UU Otonomi Daerah No. 32/2004 yang sering dikaitkan dengan ketidakrelaan pusat membiarkan daerah mengurus dirinya sendiri. Hal  senada juga terlihat dalam berbagai Formula UU pemerintahan Daerah yang mengandung kontroversi, terutama dalam hal mekanisme pemilihan Kepala Derah yang tertuang dalam PP No. 06/2005.
            Apapun kelemahan yang terdapat dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, maka hal yang harus dipegang teguh bahwa demokratisasi rakyat di daerah dan peningkatan kesejahteraan rakyat berupa terpenuhinya kebutuhan masyarakat lewat pelayanan publik, bukanlah suatu proses yang instant tetapi merupakan suatu proses yang panjang dan berkelanjutan. Dalam upaya mencapai kesejahteraan rakyat lewat pendekatan pelayanan publik di era otonomi daerah ini seringkali desentralisasi/otonomi diperhadapkan dengan berbagai dilemma dan factor-faktor kendala dalam pelaksanaan desentralisasi.
Bertolak dari uraiandi atas, maka penulis tertarik menulis makalah ini dengan judul: KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN KENDALA-KENDALA PELAKSANAANNYA DI DAERAH.   



B.     PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan di atas dalam bentuk pertanyaan sebagai:
1.      Apa dasar pertimbangan dilaksanakan kebijakan desentralisasi dalam rangka mendukung otonomi daerah?
2.      Apa saja kendala-kendala  dalam pelaksanaan desentralisasi dan
      otonomi daerah?

C.     TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:
1.      Untuk menjelaskan apa dasar pertimbangan dilaksanakan dalam rangka mendukung otonomi daerah. 
2.      Untuk menjelaskan apa saja kendala-kendala dihadapi daerah dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.
              Sedangkan kegunaan penulisan ini untuk:
1.      Untuk memperluas wawasan penulis tentang desentralisasi dan otonomi daerah
2.      Untuk memenuhi tuntutan tugas Mata Kuliah Manajemen Publik.  





BAB II.
PEMBAHASAN

Masalah yang diangkat pada Bab I, akan dibahas dari tinjuan teoritis atas konsep Desentralisasi dan pembahasan megenai kebijakan desentralisasi yang dilaksanakan di tingkat lokal serta membahas kendala-kendala desentralisasi yang dihadapi daerah. untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai beikut: 
A.           DESENTRALISASI
Permasalahan yang diangkat pada latar belakang penulis menjawabnya dengan mengunakan beberapa landasan teori  sebagai berikut:
A.1.  MAKNA DESENTRALISASI
Berbagai ahli memberikan pendapat yang berbeda mengenai desentralisasi, antara lain:
Koswara  mengemukakan pendapat PBB mengenai desentralisasi sebagai berikut:
Desentralisasi merujuk pada pemindahan kekuasaan dari pemerintah pusat baik melalui dekonsentrasi(delegasi) pada pejabat wilayah maupun melalui devolusi pada badan-badan otonom daerah.[5]
Senada dengan pendapat di atas, Rondinelli  dan  Cheema merumuskan desentralisasi dalam arti yang luas yakni:
Decentralization is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from the central government to is field organizations, local administrative units,  semi-autonomous and parastatal organizations,local government, or nongovernmental organization (desentralisasi adalah penyerahan perencanaan, pembuatan keputusan, atau kewenangan administrative daerah, organisasi semi otonom, pemerintah daerah, atau organisasi non pemerintah/lembaga swadaya masyarakat).[6]
Kedua pendapat di atas, diperkuat dengan pendapat dari Dewi Erowati yang mengatakan bahwa pada hakekatnya Makna desentralisasi yaitu:
1.     Adanya penyerahan kewenangan  (transfer of authority)
2.     Adanya pemerintah daerah  (local authority/Local Government)
3.     Adanya daerah otonom
4.     Pejabat dipilh (electoral system)
5.     Policy dibuat atas nama sendiri  [7]
Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa Desentralisasi memiliki makna yang sama atau sering pula disebut dengan:
1.    Devolusion
2.    Democratis decentralization, karena para pejabatnya dipilih. Election merupakan sendi demokrasi atau perwujudan kedaulatan rakyat
3.    Political decentralization, karena adanya hak untuk membuat policy
Berdasarkan berbagai pandangan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri, termasuk pemilihan pemimpin untuk memberikan pelayanan publik guna mempercepat tercapainya kesejahteraan masyarakat.

A.2.   BENTUK-BENTUK DESENTRALISASI
Desentralisasi yang dijalankan mempunyai beberapa bentuk. Menurut Logemann dalam Hanif Nurcholis, membagi desentralisasi menjadi dua(2) macam yaitu:
a).   desentralisasi jabatan (ambtelijke decentralisatie) yaitu pelimpahan kekuasaan dai alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahan guna memperlancar pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan.
b).   desentralisasi ketatanegaraan (staatkundige decentralisatie) atau desentralisasi politik, yaitu pelimpahan kekuasaan perundang-undangan dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya. Di dalam sentralisasi politik semacam ini, rakyat dengan menggunakan dan memanfaatkan saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta di dalam pemerintahan dengan batas wilayah daerah masing-masing.
Desentralisasi ini dibagi 2 lagi yaitu:
1.      Desentralisasi territorial, yaitu penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan batas pengaturannya adalah daerah.
2.      Desentralisasi fungsional, yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu. Batas pengaturannya adalah jenis fungsi. [8]

Pendapat Logemann diperkuat dengan pendapat Bayu Suryaningrat membagi desentralisasi atas:
1.      Desentralisasi jabatan, yaitu pemudaran kekuasaan atau lebih tepat pelimpahan wewenangan dari atasan kepada bawahanny dalam rangka kepegawaian untuk meningkatkan kelancaran pekerjaan.
2.      Desentralisasi kenegaraan, yaitu penyerahan kekuasaan untuk mengatur daerah dalam lingkungannya untuk mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara. [9]

Sehubungan dengan pendapat terdahulu, maka Dewi Erowati mengemukakan Bentuk-bentuk desentralisasi sebagai berikut:
1.    Desentralisasi politik: menyangkut kerangka kerja konstitusional, legal dan pengaturan serta masyarakat (partsipasi) menuju informasi dan monitoring, kemampuan manajerial dan teknis, serta pertanggungjawaban dan transparansi.masyarakat madani
2.    Desentralisasi administrasi: menyangkut pelayanan publik,
3.    Desentralisasi Fiskal : menyangkut pertanggungjawabab pembiayaan, pendapatan, transfer dan pinjaman. [10]
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa bentuk-bentuk desentralisasi pada umumnya ada dua (2) yaitu desentralisasi jabatan (politik) dan desentralisasi kenegaraan (meliputi desentralisasi administrasi dan desentralisasi fiscal).  



A.3. TUJUAN DESENTRALISASI
Desentralisasi yang dilaksanakan tentu mempunyai tujuan utama adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat di daerah demi terwujudnya masyarakat sejahtera, adil dan makmur sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 sebagaiaman yang tercantum dala alinea keempat UUD 1945. Berkenaan dengan itu ,menurut Smith 1985) dalam Lili Romli tujuan Negara menerapkan desentralisasi adalah:
1)      Desentralisasi diterapkan dalam upaya untuk pendidikan politik.
2)      Untuk latihan kepemimpinan politik.
3)      Untuk memelihara stabilitas politik.
4)      Untuk mencegah konsentrasi kekuasaan di Pusat.
5)      Untuk memperkuat akuntabilitas public.
6)      Untuk meningkatkan kepekaan elit terhadap kebutuhan masyarakat.[11]
Sehubungan dengan pendapat di atas, A.F.Leemans (1970) dalam Sarundajang mengatakan tujuan desentralisasi:
1.      Terjadi kecenderungan untuk memangkas jumlah susunan daerah otonom.
2.      Terjadi kecenderungan mengorbankan demokrasi dengan cara membatasi peran dan partisipasi lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai lembaga kebijakan dan lembaga control.
3.      Kecenderungan keenganan pusat untuk menyerahkan wewenang dan diskresi yang lebih besar pada daerah otonom
4.      Kecenderungan mengutamakan demokrasi daripada desentralisasi  [12]
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa tujuan utama desentralisasi adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan utnuk mengurangi beban kerja pemerintah pusat dalam upaya mensejahterakan masyarakat yang ada di daerah. dengan kata lain tujuan desentralisasi adalah untuk merangsang kepekaan elit lokal terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat daerah.
A.4.   CIRI-CIRI DESENTRALISASI
 Menurut Smith desentralisasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: [13]
a)      Penyerahan wewenang untuk melaksanakan fungsi pemerintahan tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.
b)      Fungsi yang diserahkan dapat dirinci, atau merupakan fungsi yang tersisa (residual functions).
c)      Penerima wewenang adalah daerah otonom.
d)     Penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan, wewenang mengatur dan mengurus kepentingan yang bersifat local.
e)      Wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang berlaku umum dan bersifat abstrak.
f)       Wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang bersifat individual dan konkrit.

B.           KEBIJAKAN DESENTRALISASI DI TINGKAT  LOKAL
B.1. KEBIJAKAN DESENTRALISASI MENURUT UU NO. 22/1999 DAN UU NO. 32/2004
B.1.1. KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH MENURUT UU NO. 22/1999
Era reformasi merupakan titik tolak perubahan kebijakan desentralisasi Indonesia kearah yang nyata. Reformasi memberi hikmah yang sangat besar kepada daerah-daerah untuk menikmati otonomi daerah yang sesungguhnya karena pada masa orde baru daerah-daerah begitu terkekang tidak memiliki kewenangan apapun dalam melakukan pembangunan daerah, kini di era reformasi melalui UU No. 22 / 1999, daerah memiliki kebebasan dan berprakarsa untuk mengatur daerahnya sendiri. Hal ini berarti kebebasan di era keterbukaan politik semakin baik dan masalah disintegrasi bisa terkikis. Ketika daerah diberikan otonomi yang seluas-luasnya maka tidak akan terjadi gerakan sparatis. Oleh karena itu pemerintah merestui pemekaran-pemekaran provinsi atau kabupaten/kota dalam satu konteks yaitu menjaga gerakan sparatis.


Ada beberapa cirri yang menonjol dari UU No.22/ 1999 menurut Lili Ramli:
1)      Demokrasi dan demokratisasi.
Ciri ini menyangkut dua hal yaitu mengenai rekruitmen pejabat politik di daerah dan menyangkut proses legislasi didaerah.
2)      Mendekatkan pemerintah dengan rakyat.
Titik berat otonomi ada pada daerah Kabupaten / Kota dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
3)      System otonomi luas dan nyata.
Dengan system ini pemerintah daerah berwenang melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan kecuali dibidang politik luar negeri, moneter dan fiscal, pertahanan dan keamanan, peradilan dan agama.
4)      Tidak menggunakan system otonomi bertingkat.
UU ini tidak mengenal daerah tingkat I dan daerah tingkat II juga tidak ada hierarkhi antara provinsi dengan Kabupaten/Kota.
5)      No mandate without funding.
Penyelenggaraan tugas pemerintah didaerah harus dibiayai dari dana APBN.
Adapun kewenangan yang dimiliki daerah menurut ketentuan kebijakan desentralisasi UU No.22 / 1999 terdapat pada pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 yang mengisyaratkan bahwa:
Kewenangan bidang lain yang merupakan kewenangan daerah meliputi kebijakan tentang perencaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, system administrasi negara, pembinaan dan pemberdayaan SDM, pemberdayaan SDA serta teknologi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional.
            Berkenaan dengan hal diatas maka ada penafsiran ganda tentang wewenang yang dimiliki oleh daerah kabupaten dan kota yaitu pertama, wewenang yang akan diserahkan kepada daerah Kabupaten dan Kota merupakan bagian dari 111 wewenang yang telah diserahkan kepada daerah provinsi. Kedua, wewenang yang akan dimiliki oleh kabupaten dan daerah dapat berarti wewenang lain diluar wewenang yang telah dimiliki oleh pemerintah pusat dan provinsi.
            Salah satu kekuatan UU No. 22/ 1999 bisa dilihat dari implementasinya yaitu keleluasaan daerah untuk berprakarsa sendiri secara relative, mandiri dalam mengatur dan mengurus kepentingannya, yaitu:
a)      Daerah tidak lagi harus menunggu petunjuk pelaksanaan, Juknis, dan instruksi dari pusat.
b)      Pemberdayaan DPRD dan relasi kekuasaan dan kepala daerah dimungkinkan.
c)      Kembalinya sebagian putra daerah kekampung halaman untuk membangun daerah.

B.1.2. KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH MENURUT UU NO. 32 TAHUN 2004
Kelahiran UU No. 32 / 2004 sebagai revisi UU No. 22/ 1999. Dalam UU ini disebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomu seluas-luasnya dan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab.
Maka urusan yang menjadi kewenangan daerah terbagi atas urusan wajib dan urusan pilihan. Oleh karena itu urusan pemerintahan provinsi maupun urusan pemerintahan kabupaten atau kota terdiri atas:
1)      Perencanaan dan pengendalian pembangunan.
2)      Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang.
3)      Penyelenggaran ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
4)      Penyediaan sarana dan prasarana umum.
5)      Penanganan bidang kesehatan.
6)      Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
7)      Penanggulangan masalah social
8)      Pelayanan bidang ketenagakerjaan
9)      Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah.
10)  Pengendalian lingkungan hidup
11)   Layanan pertanahan.
12)   Pelayanan kependudukan dan catatan sipil
13)   Pelayanan administrasi umum pemerintahan
14)   Pelyanan administrasi penanaman modal
15)   Penyelenggaraan pelayanan dasar
16)   Dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.[14]
Berdasarkan pemaparan di atas secara umum bahwa UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah bersifat resentralisasi yang terlihat dari beberapa indicator. Pertama, dihilangkannya atau digantinya kata kewenangan menjadi urusan.  Kedua, dalam pembagian kewenangan juga terjadi resentralisasi. Ketiga, resentralisasi itu juga terlihat dari posisi Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Keempat, berkaitan dengan yang ketiga di atas maka baik DPRD maupun Bupati/ Walikota, tidak memiliki kewenangan apa pun dalam pembuatan Perda karena perda yang dibuat dapat dibatalkan oleh Pusat manakala dianggap bertentangan dengan ‘kepentingan umum’, suatu terminology yang rancu dan ambigu karena kerap definisi kepentingan umum dalam praktik tidak jelas. Kelima, masalah kepegawaian daerah atau perangkat daerah juga mengalami resentralisasi. Keenam, di DPRD ternyata ‘kawin paksa’ dalam pembentukan fraksi-fraksi. Ketujuh, menuurt UU No. 32 / 2004, posisi DPRD secara politis cenderung lebih lemah dalam berhubungan dengan Kepala Daerah dan Pemerintah Pusat. Kedelapan, dalam hal pengaturan masalah pendapatan dan keuangan daerah tidak ada kemajuan, sama seperti UU No.22 /1999. Kesembilan, apabila dalam UU No. 22 / 1999 daerah memiliki kewenangan dalam mengelola SDA, maka pada UU No.32 / 2004 hal itu dikelola secara bersama-sama antara pemerintah Pusat dan pemeritah daerah. Kesepuluh, berkaitan dengan badan perwakilan desa yang bukan saja namanya diganti menjadi badan permusyawaratan desa, tetapi fungsi dan pembentukannya berbeda.



B.2.  ALASAN-ALASAN PENTINGNYA KEBIJAKAN DESENTRALISASI DI TINGKAT LOKAL.
Beberapa hal yang perlu dipahami dalam membedah kebijakan desentralisasi yaitu harus dilihat dasar pertimbangan atau alasan pembentukkannya; keuntungan dan kelemahannya, akan tetapi hal yang sangat krusial adalah tujuan utamanya adalah mensejahterakan rakyat dan adanya keseimbangan hubungan antara pusat dan daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pemerintahan daerah terkait 2 unsur yaitu otonomi daerah dan desentralisasi, kedua unsur ini sekilas sama tapi keduanya harus bisa dipilahkan. Otonomi daerah lebih menyangkut aspek politik sedangkan desentralisasi menyangkut aspek administrasinya. Maksudnya otonomi daerah berhubungan dengan bagaimana kekuasaan dan kewenangan pada satuan pemerintah daerah dijalankan sedangkan desentralisasi berhubungan dengan bagaimana kewenangan administrasi dari pemerintah pusat diserahkan kepada satuan pemerintah dibawahnya.  
Kebijakan desentralisasi sangat diperlukan bagi negara-negara berkembang. Kebijakan desentralisasi suatu negara disesuaikan dengan siatem pemerintahan yang dianutnya. Sesuai dengan dinamika pemerintahan daerah, maka system desentralisasi yang diterapkan dari waktu ke waktu juga mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan untuk lebih efisien dan efektifnya pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.
Bertolak dari pendapat di atas,  maka ada beberapa hal yang menjadi alasan perlunya kebijakan desentralisasi, Cheema dan Rondinelli mengemukakan beberapa alasan tersebut:
1.      Suatu cara untuk mengatasi berbagai kegawatan keterbatasan
2.      Mengatasi prosedur terstruktur ketat suatu perencanaan terpusat
3.      Peningkatan sensivitas terhadap masalah dan kebutuhan masyarakat
4.      Penetrasi politik dan administrasi negara
5.      Perwakilan lebih baik
6.      Kapasitas dan kemampuan administrasi publik yang lebih baik
7.      Pelayanan lapangan dengan efektivitas lebih tinggi di tingkat lokal
8.      Meningkatkan koordinasi dengan pimpinan setempat
9.      Melembagakan partisipasi masyarakat setempat
10.  Menciptakan cara-cara alternative pengambilan keputusan
11.  Administrasi publik yang lebih fleksibel,inovatif dan kreatif
12.  Keanekaragam fasilitas pelayanan yang lebih baik
13.  Stabilitas politik yang lebih baik.  [15]

Berkaitan dengan pendapat di atas. The Liang Gie dalam Hanif Nurcolis menjelaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia menganut asas desentralisasi. Dianutnya kebijakan desentralisasi dengan alasan:
1.      Desentralisasi dapat mencegah penunpukkan kekusaaan pada pemerintah pusat yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani
2.      Desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, yaitu untuk ikut menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.
3.      Dari segi teknik organisatoris, desentralisasi mampu menciptakan pemeliharaan yang efisien. Hal-hal yang lebih utama untuk diurus pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah. sedangkan hal-hal yang lebih tepat ditangani pusat tetap diurus oleh pemerintah pusat.
4.      Dari segi Kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan kepada daerah, seperti keadaaan geografi, penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan dan latar belakang sejarahnya.
5.      Dari segi kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut. [16]

Kedua pendapat di atas, Lili Romli mengemukakan 3 alasan pemerintah menerapkan kebijakan desentralisasi yaitu: pertama, menciptakan keefisiensi penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Kedua, untuk memperluas otonomi daerah. Ketiga, strategi untuk mengatasi instabilitas politik. Sedangkan menurut Nelson Kasfir (dalam Lili Romli), alasan menerapkan desentralisasilebih didasarkan pada pertimbangan untuk meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan untuk mempercepat proses pembangunan ekonomi.[17] Bertolak dari pendapat-pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa desentralisasi lebih banyak membawa keuntungan pada daerah atau tingkat lokal. Namun hal ini sangat terkait dengan system penyelenggaraan pemerintahan yang dianut guna memperlancar upaya pencapaian kesejahteraan rakyat lewat pendekatan pelayanan publik.
 Desentralisasi lebih menekankan pada dampak atau konsekuenssi penyerahan wewenang untuk mengambil keputusan dan control oleh badan-badan otonom daerah menuju pada pemberdayaan (empowerment) kapasitas lokal. Desentralisasi merupakan salah satu cara mengembangkan kapasistas lokal.  Dimana kekuasaan dan pengeruh bertumpu pada sumber daya. jika suatu badan lokal diberi tanggung jawab dan sumber daya,   maka kemampuan untuk mengembangkan otoritasnya akan meningkat. Hal ini berarti pemeintah pusat akan memperoleh respek dan kepercayaan karena menyerahkan proyek dan sumber daya kepada daerah dan daerah mengatur dan mengurus dengan baik. Semuanya ini akan berjalan dengan baik apabila kebijakan pemerintah terkait desentralisasi (UU No. 22/1999 junto UU No. 32/2004 yang mengatur tentang pemerintahan daerah betul-betul diterapkan dengan baik oleh semua pihak yang terkait, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah dan elit lokal, serta masyarakat daerah tersebut. Singkatnya demi menciptkan kepemerintahan yang baik  maka sangat diperlukan kemitraan antar pemerintah, swasta dan masyarakat yang dipayungi dengan kebijakan desentralisasi yang mengarah pada pendekatan pelayanan demi mempercepat tercapainya masyarakat sejahtera.

B.3.KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN KEBIJAKAN      DESENTRALISASI
Kebijakan desentralisasi yang memberi banyak peluang kepada daerah agar dapat mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri ini, tentu membawa banyak dampak baik segi keuntungan maupun daer segi kelemahan. Berkenaan dengan itu, penulis akan menjabarkan beberapa keuntungan dan kelemahan kebijakan desentralisasi.

B.2.1. KEUNTUNGAN DESENTRALISASI
Menurut Smith (1985) dalam Hanif Nurcholis menjelaskan bahwa kebijakan desentralisasi ini memiliki keuntungan-keuntungan sebagai berikut:
1.      Desentralisasi diterapkan dalam upaya pendidikan politik
2.      Untuk latihan kepemimpinan politik
3.      Untuk memelihara stabilitas politik
4.      Untuk mencegah konsentrasi kekuasaan di pusat.
5.      Untuk memperkuat akuntabilitas publik.
6.      Untuk meningkatkan kepekaan elit terhadap kebutuhan masyarakat lewat pendekatan pelayanan publik. [18]
Menurut Smith, keenam hal tersebut di atas bisa tercapai apabila administrasi pemerintah tertata dengan baik. Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan daerah diperlukan admininstrasi pemerintahan daerah yang respon dengan aspirasi dam kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, dengan memahami system administrasi demikian pada tingkat daerah maka hubungan saling terkait antara semua komponen yang terdapat dalam administrasi pemerintahan daerah sebagai satu kesatuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan semakin cepat tercapai. Hal ini sangat dibutuhkan kemitraan dari semua komponen darah.
            Berkaitan dengan keuntungan desentralisasi, Sarundajang mengemukakan beberapa keuntungan kebijakan desentralisasi  sebagai berikut:
1.      Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan
2.      Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak membutuhkan tindakan yang lebih cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu instruksi dari pemerintah pusat.
3.      Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan.
4.      Dalam system desentralisasi, dapat diadakan pembedaan dan pengkhususan yang berguna bagi kepentingan tertentu,yakni daerah dengan lebih mudah menyesuaikan diri dengan kebutuhan khusus daerah.
5.      Dengan adanya desentralisasi territorial, daerah otonom dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh wilayah negara. Hal yang baik diterapkan pada seluruh wilayah negara sedangkan yang kurang baik dibatasi pada daerah tertentu saja.
6.      Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat.
7.      Dari segi psikologi, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan yang lebih besar kepada daerah.
8.      Desentralisasi akan memperbaiki kualitas pelayanan karena lebih dekat dengan masyarakat yang dilayani. [19]
Sehubungan dengan pendapat ditarik kesimpulan bahwa desentralisasi membawa banyak keuntungan yang dapat membuat daearh lebih mandiri, kuat dan dapat menyelenggarakan pemerintahan dengan daya, inovatif dan kreativitas tinggi untuk mensejahterakan rakyat di daerahnya.  

B.2.2. KELEMAHAN DESENTRALISASI
Adapun kelemahan desentralisasi dalam pelaksanaannya, antara lain:
kelemahan desentralisasi antara lain, menurut Agus Sumarsono (dalam makalahnya Otonomi Daerah dan good governace dalam rangka mewujudkan keberhasilan pembangunan daerah (2010 ; hal. 4) dikatakan bahwa:
a.       Karena jumlah organ-organ pemerintah bertambah banyak sejalan dengan kewenangan yang dimiliki daerah, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks sehingga mempersulit koordinasi.
b.      Hubungan keseimbangan dan keserasian antara berbagai macam kepentingan daerah mudah terganggu.
c.       Desentralisasi teritorial dapat mendorong timbulnya ”sentimen kedaerahan” (etnocentries).
d.      Pengambilan keputusan memerlukan waktu yang lama karena melalui perundingan yang rumit.
e.       Penyelenggaraan desentralisasi memerlukan biaya yang lebih banyak dan sulit dilaksanakan secara sederhana dan seragam.[20]

Selanjutnya, Kelemahan-kelemahan  desentralisasi menurut Dewi Erowati yaitu:
a.       Karena besarnya organ-organ pemerintah, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks yang mempersulit koordinasi.
b.      Keseimbangan dan keserasian berbagai macam kepentingan daerah akan lebih terganggu.
c.       Dapat mendorong timbulnya daerahnisme ataupun provinisme
d.      Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang bertele-tele.
e.       Dalam penyelenggaraan desentralisasi diperlukan biaya yang lebih banyak.
f.       Sulit untuk memperoleh keseragaman/uniform dan  kesederhanaan
g.      Desentralisasi pada taraf tertentu akan mengancam integrasi politik, mengganggu stabilitas nasional dan pada akhirnya mengancam pemerintah pusat.
h.      Jika desentralisasi diterapkan secara mutlak dalam sistem  pemerintahan negara maka ada beberapa ancaman lain yang bisa menyertainya, seperti: dalam meningkatkan perbedaan/kesenjangan yang tajam antar daerah (dispariy), dan bahkan justru dapat mengurangi efisien. [21]

C.       KENDALA-KENDALA DALAM PELAKSANAAN DESENTRALISASI DI DAERAH
Pelaksanaan desentralisasi tidak lepas dari banyak factor yang turut mempengaruhinya, baik factor pendukung mencapai keberhasilan maupun factor penghambat/kendala yang merintangi upaya pencapaian tujuan desentralisasi yakni pendekatan pelayanan kepada masyarakat lewat pelayanan publik.
Berkenaan dengan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan desentralisasi, maka Rondinelli (1983) dalam Hanif Nurcholis mengemukakan factor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan desentralisasi adalah:
1.         Derajat komitmen dan dukungan administrasi yang diberikan terutama oleh pemerintah pusat dan elit serta masyarakat daerah itu sendiri.
Komitmen antara ketiga komponen ini sangat menentukan. Wujud komitmen ini ditunjukkan dalam bentuk berbagai tindakan yang didukung oleh legal framework  yang jelas sehingga pelaksanaan desentralisasi terlaksana dengan baik. Selain itu factor yang tidak kalah penting adalah kesiapan elit dan masyarakat lokal, sebab tanpa kesiapan maka elit dan masyarakat lokal hanya menunggu perintah dan petunjuk dari pusat tidak akan mampu menyelenggarakan pemerintahan yang baik.   
2.         Sikap, perilaku, dan budaya masyarakat terhadap kebijakan desentralisasi.
Sikap, perilaku, dan budaya masyarakat yang ditunjukkan para elitnya baik aparat, anggota DPRD, maupun tokoh-tokoh masyarakat yang menganut pola paternalistic dan feodalistik akan menghambat pelaksanaan desentralisasi. desentralisasi menuntut kreativitas, kemampuan dan kemandirian masyarakat lokal dalam mengidentifikasi, merumuskan, mengatur dan mengurus urusan-urusannya yang bersifat lokal. Tanpa adanya kemampuan ini desentralisasi tidak akan berjalan dengan baik.
3.         Dukungan organisasi pemerintah mampu menjalankan kebijakan desentralisasi secara efektif dan efisien. Dukungan organisasi ini sangat penting karena kebijakan desentralisasi tidak dapat diimplementasikan tanpa didukung oleh organisasi pelaksanaannya.
4.         Tersedianya sumberdaya yang memadai: manusia, keuangan, dan  infrastruktur. Kebijakan desentralisasi tidak akan berjalan jika tidak didukung dengan sumber daya (manusia, keuangan dan infrastruktur) yang memadai merupakan factor penentu dalam kesuksesan desentralisasi. Dukungan organisasi ini sangat penting karena kebijakan desentralisasi tidak dapat diimplementasikan tanpa didukung oleh organisasi pelaksanaannya. [22]
Pada dasarnya, desentralisasi bertujuan membangun partisipasi masyarakat  dan mengundang publik seluas-luasnya dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan yang dijalankan, akan tetapi dalam pelaksanaan system ini mendapat tantangan yang cukup besar. Tantangan tersebut menjadi kendala dalam pelaksanaan desentralisasi.  menurut  Pheni Chalid  Kendala-kendala dalam pelaksanaan system desentralisasi di daerah desentra lain:
1.      Mindset atau mentalitas aparat birokrasi yang belum berubah
2.      Hubungan antara institusi pusat dengan daerah
3.      Sumber daya manusia yang terbatas.
4.      Pertarungan kepentingan yang berorientasi pada perebutan, penguasaan asset dan aparat pemerintah
5.      Keinginan pemerintah untuk menjadikan desa sebagai unit. [23]
Pendapat-pendapat  di atas, diperkuat dengan pendapat Dewi Erowati dalam Materi Kuliah Desentralisasi  mengemukakan  beberapa faktor yang mempengaruhi Pelaksanaan Desentralisasi yaitu:
1.      Derajat komitmen politik serta dukungan administratif yang diberikan, terutama oleh pemerintah pusat dan elit, serta masyarakat daerah bersangkutan.
2.      Sikap dan perilaku serta kondisi kultural yang mendukung atau mendorong pelaksanaan desentralisasi di daerah.
3.      Adanya suatu rancangan organisasi yang dapat mendukung berjalannya program-program desentralisasi.
4.      Tersedianya sarana pendukung berupa: sumberdaya keuangan, tenaga kerja serta infrastruktur yang memadai bagi penyelenggaraan program-program desentralisasi. [24]
Berdasarkan semua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi membawa dampak positif/ keuntungan tapi di satu sisi desentralisasi dapat membawa dampak negatif/kelemahan. Oleh karena  itu untuk mengantisipasinya diperlukan komitmen politik serta dukungan administrasi yang tertata baik untuk mewujudkan  tata kepemerintahan yang baik (good governance) dalam memberikan pelayanan publik yang menjawab kebutuhan masyarakat.





BAB III
 PENUTUP
A.    SIMPULAN
1.      Kebijakan desentralisasi sangat penting demi mendekatkan pelayanan kepada masyarakat di daerah. desentralisasi diwujudnyatakan dengan lahirnya otonomi daerah. dalam hal ini UU n0. 32/2004 tentang pemerintah daerah. namun sebenarnya keduanya berbeda. Otonomi daerah lebih menyangkut aspek politik sedangkan desentralisasi menyangkut aspek administrasinya. Maksudnya otonomi daerah berhubungan dengan bagaimana kekuasaan dan kewenangan pada satuan pemerintah daerah dijalankan sedangkan desentralisasi berhubungan dengan bagaimana kewenangan administrasi dari pemerintah pusat diserahkan kepada satuan pemerintah dibawahnya.
2.      Desentralisasi diwujudnyatakan dalam bentuk otonomi daerah.  Pada dasarnya, desentralisasi bertujuan membangun partisipasi masyarakat  dan mengundang publik seluas-luasnya dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan yang dijalankan, guna bermitra dalam mencapai kesejahteraan rakyat. Akan tetapi dalam pelaksanaan system ini mendapat tantangan yang cukup besar.
3.      Pelaksanaan desentralisasi tidak lepas dari factor-faktor yang mendukung maupun yang menghambat/kendala. Adapun Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan desentralisasi antara lain: derajat komimen dan dukungan administrasi belum memadai,
Sikap dan perilaku yang paternalistik dan feodalisme, sumber daya (manusia,keuangan, dan infrastruktur) belum menunjang.




A.    SARAN
Saran yang dapat diberikan dalam penulisan makalah ini adalah ksebijakan desentralisasi bisa terlaksana dengan baik bila terwujudnya good governance, namun kendala-kendala di atas dapat dikurangi dengan cara;
1.       Mainset atau mentalitas aparat birokrasi perlu dirubah dari paternalistik dan feodalisme ke mentalitas yang berdemokrasi dan system merit/berdasarkan prestasi, kreatif, inovatif, dapat menerima perbedaan sebagai hal yang wajar serta mampu bekerjasama dalam team (networking).
2.      Pemenuhan ketersediaan sumber daya (manusia, keuangan dan infrastruktur) penunjang kerja dan  kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat demi peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat daerah.
3.      Perimbangan kekuasaan, keuangan dan pengelolaan asset daerah antara pemerintah daerah dan pusat.















DAFTAR PUSTAKA

Chalid,Pheni,  2005 : Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan dan Konflik, Kemitraan Partnership, Jakarta.

Cheema & Rondenelli, 1983 : Decentralization and Development,Policy Implementation in Development Countries, London, Sage
Erowati, Dewi, 2010 : Materi Kuliah Desentralisasi Pada Magister Ilmu Politik, UNDIP, Semarang

Haris, Syamsudin,  2007 : Paradigma Baru Otonomi Daerah, IPI Press, Jakarta.

Koswara, 2001  : Otonomi Daerah Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Jakarta, Pariba.


Nurcholis, Hanif,  2005: Teori dan Praktek Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, Jakarta, PT.   Gramedia Widiasarana Indonesia.

Romli, Lili,  2007 :   Potret Otonomi Daerah dan wakil Rakyat Di Tingkat lokal, Pustaka  Pelajar, Yogyakarta.

Sarundajang, 2002 :  Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah,  Pustaka Pelajar Sinar  Harapan, Jakarta.
                                           
Surianingrat, Bayu, 1980 : Desa dan kelurahan Menurut UU No. 5/1979, Jakarta, Metro Pos.
Sumarsono,Agus, 2010: Makalah otonomi Daerah dan Good Governance Dalam Rangka mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah, dikutip dari www//http: Scribd.com.mobile


[1] . Pheni  Chalid, 2005 : Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan dan Konflik, Kemitraan Partnership, Jakarta, Hal. 16
[2].  Ibid,  2005
[3] . Syamsuddin Haris, 2007: Paradigma Baru Otonomi Daerah, IPI Press, Jakarta, hal. 5
[4]Opcit, Pheni Chalid, hal. 3
[5] . Koswara, 2001 : Otonomi Daerah Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Jakarta, Pariba, hal. 48.
[6] . Cheema dan Rondenelli, 1983 : Decentralization and Development,Policy Implementation in Development Countries, London, Sage
[7] . Dewi Erowati, 2010 : Materi Kuliah Desentralisasi Pada Magister Ilmu Politik, UNDIP, Semarang
[8] . Hanif Nurcholis, 2005: Teori dan Praktek Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, Jakarta, PT.    Gramedia Widiasarana Indonesia, hal. 8

[9] . Bayu Suryaningrat,1980 : Desa dan kelurahan Menurut UU No. 5/1979, Jakarta, Metro Pos, hal.28 – 29 
[10].  Op.Cit, Dewi Erowati
[11] . Lili Romli, 2007: Potret Otonomi Daerah dan wakil Rakyat Di Tingkat lokal, Pustaka  Pelajar, Yogyakarta, hal. 7
[12] . Sarundajang, 2002 : Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah,  Pustaka Pelajar Sinar  Harapan, Jakarta,  Hal. 57
[13] . Opcit, Hanif Nurcholis, Hal. 11.
[14] Opcit, Lili Ramli, Hal. 26.
[15] . Cheema dan Rondinelli, 1983: Decentralization and Development,Policy Implementation in Development Countries, London, Sage
[16] . Opcit, Hanif Nurcholis, Hal. 1
[17] . Opcit, Lili Romli, hal. 8
[18] . Opcit, Hanif Nurcholis, Hal. 38
[19] . Opcit, Sarundajang, hal. 62
[20] . Agus Sumarsono, 2010: Makalah otonomi Daerah dan Good Governance Dalam Rangka mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah, dikutip dari www//http: Scribd.com.mobile
[21] . Opcit, Dewi Erowati
[22] . Opcit, Hanif Nurcholis, Hal. 38 – 39.

[23] . Pheni  Chalid, 2005 : Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan dan Konflik, Kemitraan Partnership, Jakarta, Hal. 16
[24] . Opcit, Dewi Erowati,




Makalah ini Tugas pada Mata Kuliah Manajemen Pelayanan Publik
0 Komentar untuk " Makalah Dilema Desentralisasi "
Back To Top