BERNEGARA SECARA ANGKARA
Oleh : Prof. Mochtar Pabottingi
Dalamdua
bulan pertama tahun 2015, kemelut politik di Tanah Air berlangsung dengan menonjolnyakemiskinan
visi maupun integritas di dalam maupun di sekitar pusat pemerintahan.Kemiskinan
dua dimensi yang membuat negara kita sempat limbung berminggu-minggu ini telah mengarah
pada praksis bernegara secara angkara dan jika dibiarkan bisa membahayakan
kondisi Republik kita.
Kemiskinan dua dimensi ini
terlihat pada laku segelintir kalangan pimpinan partai yang memperlakukan
Presiden kita sebagai “petugas partai” atau yang hendak memaksakan agenda
kenegaraan mereka secara menyimpang dari rel reformasi. Begitu pula laku
sebagian pimpinan di lembaga-lembaga penegak hukum yang memvulgarkan proses
atau praktek penegakan hukum demi pemberantasan korupsi, termasuk laku sebagian
pengacara. Keadaan menjadi kian parah ketika BG diberi jalan dan dimenangkan
dalam sidang praperadilan–sesuatu yang berdampak sangat negatif bagi tuntutan
kepastian hukum.Semua ini jelas bersifat angkara dan bisa meruakkan laku
angkara dalam bernegara.
Ada dua penyebab dari semua
itu. Pertama, dikacaukannya rasionalitas hukum serta rasionalitas pemerintahan,
yang menggerus iklim kepastian di kedua ranah tersebut. Kita tahu bahwa ketakpastian
di bidang hukum sudah merupakan undangancelaka bagi merajalelanya praktek angkara,
apalagi jika dibarengi dengan ketakpastian pemerintahan.
Inisiator dan para praktisi
prapradilan Kasus BG sebaiknya menyadari bahaya ini. Pada 1780 Edmund Burke sudah
menyatakan: “Bad laws are the worst sort of tyranny.” Juga Kitab Latoa dari abad ke-16, salah satu
warisan tertulis leluhur kita di Tanah Bugis. Sebagian besar melampaui
kebersahajaan zamannya, kitab ini telah menandai secara rinci 29lakuyang harus
ditolak oleh para penegak hukum demi menegakkan prinsip getteng bicara--kepastian hukum.Lebih awal lagi, Islam mengajarkan betapa
berbahayanya membiarkan penjamuran fitnah lantaran tiadanya kepastian hukum itu.
Kedua, karena semua kalangan
pelaku di atas sama-samasengaja bertindak atau bersekongkol untuk memanfaatkan
daya paksa monopolistik dari negara secara atau untuk tujuan-tujuan menyimpang
dan tidak sah (baca: tidak legitimat), baik dalam paradigma demokrasi dan nasion,
maupun dalam paradigma hukum yang semestinya.
Dalam hitungan kedua
paradigma itu, mereka tak mengindahkan prinsip-prinsip negara hukum di mana patokankeadilan
substantif-dialektis mutlak sifatnya. Dengan demikian mereka juga melecehkanideal-ideal
historis kemerdekaanyang kita junjung tinggi, yang dalam skala makropolitik
juga bertumpu pada patokankeadilan substantif-dialektis itu.Keadilan substantif
lahirdari prinsip-prinsip hukum dan/atau yurisprudensi dalam hitungan
sinkronik. Dan keadilan dialektis merupakan respon politik rasional terhadap arus
tantangan evolusi besar-nyata yang silih berganti dihadapi setiap bangsa dalam
hitungan diakronik. Kedua hitungan keadilan ini sama-sama lahir dari kekuatan
akal-budi --the power of reason,
sumber kaidah-kaidah utamadalam politik maupun hukum.
Pelecehan ideal-ideal
kemerdekaan kitadalam praksis bernegara itu sendiri sudah berarti penggiringan
bangsa ke kubangan kekuasaan yang bersifat angkara dan khianat. Ia bersifat
khianat karena selain mencampakkan prinsip keabsahan cara dan keabsahan tujuan dalam
berdemokrasi, ia pun bekerja menista bangsa. Sama sekali tak boleh dilupakan
bahwa per definisi tiap bangsa/nasion merupakan kolektivitas politik yang
terbentuk dari seperangkat proyek dan kesepakatan makropolitik. Mencampakkan
himpunan ideal kemerdekaan kita berarti mengingkari tujuan makropolitik
Republik kita, yaitu transformasi bangsa kita ke tingkat kehidupan
bernegara-bangsa yang luhur.
Sifatangkara dalam praksis
bernegaraterutamamencekam dalam perseteruan mutakhir antara Komisi
Pemberantasan Korupsidengan Kepolisian Republik Indonesia. Kita tercekam kala
KPK menetapkan Kombes Budi Gunawan sebagai tersangka. Tapi selanjutnya kita menjadi
lebih tercekam lagi dengan penetapan para pimpinan KPK berturut-turut juga sebagai
tersangka oleh Polri, termasuk kehendak untuk juga menersangkakan para penyidik
lembaga anti rasuah tersebut serta melakukan insinuasi pada sebagiannya.Ini
bisa dibaca sebagai perpanjangan laku tangkap-borgol plus senjata laras panjang
di keramaian jalan raya pagi hari terhadap pimpinan KPK, Bambang Widjojanto. Seolah
itu semua belum cukup, tokoh-tokoh penegak hukum pejuang pemberantasan korupsi di
luar KPK ikut disasar Polri untuk juga dijadikan tersangka.
Seorang narasumber
otoritatifperihal aneka praktek penyalah-gunaan kekuasaan oleh kepolisian di
Tanah Air menyatakan bahwa kita sudah berada di ambang “Negara Polisi”. Dan
bagi bangsa kita yang memperjuangkan kemerdekaan dengan pengorbanan jiwa-raga
dan harta benda yang sungguh tak terkira (ratusan tahun di sepanjang masa
proto-nasion dan bertahun-tahun di sepanjang Revolusi Kemerdekaan) tak ada yang
lebih keji, lebih sarkastik, dan lebih kita pantangkan daripada prospek “Negara
Polisi” itu!
Penilaian luas bahwa telah
terjadi praktek kriminalisasi terhadap personel KPK oleh Polri di awal 2015 pastilah
sulit dibantah, sebab praktek buruk yang sama telah terjadi dua kali sebelumnya.
Presiden Jokowi sendiri(usai menerima masukan dari Tim Sembilan) tiga kali
menekankan agar “jangan ada kriminalisasi”. Dadang Trisasongko dari tim kuasa
hukum Bambang Widjojanto secara tepat merumuskan kriminalisasi sebagai praktek
“rekayasa kasus”. Dalam persepsi kritis, tindakan kriminalisasi ini pulalah
yang menimpa mantan pimpinan KPK Antasari Azhar secara luar biasa zalim.
Kita bisa menjelaskan
berlakunya praktek kriminalisasi dan/atau laku angkara sebagaimana ditunjukkan
oleh aparat kepolisian Republik kita
terhadap para pejuang pemberantasan korupsi dengan memperhadapkannya pada empat
kriteria nalar akal-budi untuk menakar ada tidaknya sifat angkara. Keempat
kriteria itu adalahmomen, motif, proporsi, dan rasionaleyang
terjalin erat satu sama lain.Dalam keempat hitungan ini kita bisa secara
gamblang menunjukkan pada ekuasi prinsip keadilan mana KPK dan Polri
masing-masing berdiri.
Tilikan ke “momen” adalah
salah satu pintu masuk penting dalam upaya menyimak pelanggaran hukum. Di situlah
sebab-akibat suatu peristiwa mudah atau bisa terungkap. Momen kriminalisasi
dimulai oleh Bareskrim Polri dan secara langsung bertubi-tubi tak lama setelah
ditetapkannya BG sebagai tersangka KPK. Ini sejalan dengan momen-momen
kriminalisasi terhadap KPK pada kedua babak “cicak vs. buaya” sebelumnya. Pada
ketiga momen perseteruan itu tak ada atau sedikit sekali waktu jeda di antara
“aksi” dan “reaksi” atau apa yang dipandang sebagai “offense” dan “response”.
Di atas “momen”, “motif”
merupakan pintu masuk yang lebih penting lagi untuk menyimak atau menjelaskan
ujung pangkal suatu tindakan.Di sini ada semacam pertemuan antara ajaran agama
dengan pemikiran filosof. Islam mencanangkan bahwa amal ditentukan oleh niat
atau tujuan. Immanuel Kant menekankan bahwa tindakan, tujuan, dan moralitas tak
bisa dipisahkan dari motif. Dan filosof ulung ini menjelaskannya dengan jernih:
“Im Reiche der Zwecke hat alles
entweder einen Preis oder eine Würde.”(Dalam totalitas
khasanah tujuan, segala sesuatu memiliki harga atau harkat.)Kendati motif selalu tersembunyi, setiap orang dewasa
yang berpikiran jernih hampir selalu bisa menangkapnya dan seorang penuntut
umum piawai di pengadilan akan sanggup membongkarnya dalam “cross-questioning” yang
intens dan cerdas.
Sehubungan dengan “Kasus Cicak vs. Buaya III”, motif kriminalisasi bisa dilacak dalam serangkaian
kemungkinan seperti kehendak Polri untuk membela diri/korsa. Atau kehendak
untuk melumpuhkan, dan jika perlumenghancurkan, pihak yang dipandang sebagai “penyerang”
(offender) demi menutupi dan
sekaligus memelihara kelangsungan praktek korupsi yangjika terbongkar bisa ternyata
sangat nista bagi lembaga. Termasuk di sini pulalah kemungkinan motif
kriminalisasi terhadap Abraham Samad, Ketua KPK, yang dituduh menersangkakan BG
lantaran dendam tak berhasil menjadi Wapres. Pada gilirannya kita pun bisa
mempertanyakan motif pimpinan PDIP yang membiarkan Hasto Kristianto, Plt. Sekjen
PDIP, berusaha begitu gencar hendak menjadikan AS sebagai
tersangka.
“Proporsi”bobot ketersangkaandarikasus-kasus
pelanggaranyang ditujukan kepada para pimpinan/staf KPK sama sekali tak
sebanding dengan proporsi bobot ketersangkaan yang dikenakan pada BG –suatu
proporsi yang sungguh tepat tergambarkan dalam perumpamaan“cicak versus buaya”
itu.Terlepas dari persoalan tepat tidaknya lembaga KPK menangani Kasus BG, bobot
ketersangkaan menyangkut penyalah-gunaan jabatan sebagai Karobinkar di Polri,
jika itu benar terjadi di bawah BG, bisa dikatakan berdampak seribuan kali
lebih merusak bagi negara-bangsa kita.
Praktek terima sogok dalam
pengangkatan dan penempatan para pejabat menengah dan tinggi kepolisian akan
disambut dan dimanfaatkan secara eksponensialolehsosok-sosok hitam oligarki.
Itu bisa memuluskan niat atau praktek “perampokan” besar-besaranmereka atas
seluruh kekayaan dan sumber-sumber daya milik bangsa kita di segenap pelosok
Tanah Air. Laku memperjual-belikan jabatan dan penempatan di lembaga
kepolisian, sekali lagi jika betul ada, sungguh ibarat menyodorkanhimpunan hewan
korban kepada himpunan buaya. Laku demikian merisikokan penggadaian seluruh
bagian Tanah Air serta kekayaan negara-bangsa kita, termasuknasib
generasi-generasi masa depannyakepada kaum oligarki.
Maka sungguh tak salah jika
pada ke-29 daftar laku yang semestinya diharamkan bagi para penegak hukum,
Kitab Latoa menyebut laku menerima sogok di urutan pertama. Di sini penegak
hukum penerima sogok disebut “torianre warang parang” (orang yang dimakan oleh
harta benda). Mereka kehilangan status sebagai manusia terhormat.
Timbangan tertinggi dari
ada-tidaknya laku angkara dalam praksis bernegara dalam hal ini tak lain dari perbedaan
rasionale antara tindakan KPK menersangkakan BG dengan rangkaian tindakan Polri
menersangkakan personalia KPK.Rasion
d’etre pembentukan KPK dinyatakan sangat gamblang pada konsiderans UU RI
No. 30 Tahun 2002:upaya pemberantasan korupsi selama ini “tidak optimal” dan
lembaga-lembaga pengurusnya “belum berfungsi secara efektif dan efisien”
sehingga diperlukan suatu komisi “yang independen”. Semua konsiderans ini
sedikit pun belum berubah. Korupsi di negeri kita masih tetap merupakan
“kejahatan luar biasa” dan Negara-bangsa kita masih berada dalam cengkeraman
keadaan “darurat korupsi”. Atas dasar rasionale bersifat urgen, luar biasa atau
“compelling” dari undang-undang itulah KPK menersangkakan BG.
Sebaliknya, selain atas nalar
rutin penegakan hukum untuk menindak-lanjuti laporan masyarakat, Polri tak
memiliki rasionale setara untuk menersangkakan personalia KPK, apalagiin toto. Kalau pun untuk itu suatu
rasionale diada-adakan, itu tetaplah ditarik dari kondisi rutin-normal. Itu punpada
umumnya juga bersifat “abu-abu” dan “keroco”.
Sudah kewajiban para penegak
hukum, termasuk Menhumkam Laoly dan siapa pun penurutnya(yang dengan nalar biasabegitu
bernafsu hendak merevisi PP 99 Tahun 2012), untuk membandingkan kedua rasionale
tersebut, begitu juga momen, motif dan proporsi, dalammenyikapi,menangani,dan
memutuskan hal-ihwal perkara korupsi. Seperti halnya kubu pembela BG, Menhumkam
hanya melihat pelanggaran hak individual narapidana korupsi. Dia menolak
melihat penderitaan puluhan tahun dari jutaan manusia Indonesia yang hak-haknya
telah dirampas secara sewenang-wenang oleh para koruptor.
Dalam kondisi darurat
korupsi, sudah sepantasnyalah kita juga mengindahkan keprihatinan Hakim Agung
Artidjo Alkostar yang ingin menjatuhkan hukuman mati kepada para koruptor kakap,
sebab dia sungguh mewakili aspirasi puluhan juta manusia Indonesia. Jika kita
berpikir waras, dalam perkara tindak pidana korupsi kakap bukanlah kerugian
negara yang harus lebih diutamakan, melainkan penderitaan panjang dan parah
dari segenap warga bangsa kita yang dizalimi oleh para koruptor. Harap
dicamkan, negara lahir dari, bertahan, dan berkiprahdengan pengorbanan dan
dukungan bangsa.
Pada keseluruhan drama laku angkara
dalam praksis bernegara ini peranan kalangan pengacara tidak kecil. Para
pengacara yang memilihberseberangan dengan KPK bukan hanya tak pernah mengangkat
raison d’etre dari tindakan KPK
terhadap BG, melainkan secara terus menerus berusaha menyingkirkannya atau
memperlakukannya sebagai tiada. Mereka juga tidak membaca kriteria momen,
motif, dan proporsi sebagaimana mestinya. Di atas semuanya, mereka termasuk
dalam barisan “penegak hukum” yang tidak mengindahkan bangsa dan prinsip
keadilan sejati. Atas perilaku seperti inilah berlaku dakwaan Jeremy Bentham
(1748-1832): “Lawyers are the only persons in whom ignorance of the law is not
punished.”***
*dimuat di KOMPAS, 27 Maret 2015
0 Komentar untuk " BERNEGARA SECARA ANGKARA "