Belajar Menapaki Kehidupan & Berevolusi Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik.
Mutiara Hati

Visi :
"Menapaki Revolusi Era Baru Bangsa Indonesia Tahun 2045"
Sang Mutiara Hati. Diberdayakan oleh Blogger.
Anda Butuh Training Manajemen, Training SDM, Survey Kepuasan Pelayanan dan Research di Perusahaan Anda?

Mengembalikan Politik ke Sawah



Mengembalikan Politik ke Sawah:
(Sebuah Mimpi tentang Politik Pertanian di Kabupaten Tegal)

Oleh: H Moch Marsinggih MD


BAHWA setiap bentuk kemajuan berangkat dari mimpi, sebagian besar penghuni bumi tentu mengamini. Tentu saja mimpi yang tak hanya dipahami sebagai seonggok khayalan konyol, melainkan cita-cita dan harapan yang berdaya gerak, mendayagugah dan menghantarkan pada apa yang diimpikan. Bahkan, kemajuan peradaban dunia dewasa ini, pun tak lepas dari titik pijak mimpi.

Derita penjajahan berkepanjangan yang dialami masyarakat Indonesia lampau, pun mendorong lahirnya mimpi dan cita-cita tentang kemerdekaan, sebuah situasi negara bangsa yang bebas menentukan nasib dan masa depannya sendiri. Ketika akhirnya kemerdekaan itu dicapai, semua komponen bangsa pun berkonsensus untuk mempercayakan cita-cita pembangunan itu pada negara, melalui perangkatnya: pemerintah.

Mimpi-mimpi besar rakyat, kelak menjadi semacam kontrak sosial dengan negara, yang dituangkan dalam konstitusi Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Oleh seganap founding father kita, mimpi itu diformulasikan secara jelas dan tegas menjadi tujuan negara, yang memuat empat aspek, sebagaimana termaktub dalam preambule UUD 1945.

Itulah cita-cita mulia bernegara yang diimpikan masyarakat bangsa ini setelah merebut kemerdekaan. Sayangnya, hingga kini, kondisi ideal tersebut belum juga mendekat, untuk tak menyebutnya gagal. Proses pembangunan yang dilakukan selama lebih dari enam dasawarsa, masih kecil efektivitasnya mewujudkan mimpi kesejahteraan. Kalau kita mau menapaktilas sejarah, maka sejatinya kegagalan merealisasikan kesejahteraan adalah lantaran bangsa ini telah banyak menelikung dari semangat awal bernegara-bangsa. Proses pembangunan yang ada banyak yang tak lagi berpijak pada ruh kemerdekaan, sehingga pemerintah terkesan berjalan sendiri. Daftar rencana pembangunan tak sedikit yang tak bersinggungan dengan daftar aspirasi rakyatnya. Secara sederhana, saya menyimpulkan pembangunan yang ada cenderung tak lebih sebagai proses yang artifisial, miskin ruh.

Situasinya tak jauh berbeda dengan konteks pemerintah di tingkat daerah (pemda), yang juga dibentuk oleh rakyat. Proses pembangunan yang diformulasikan dan disepakati, baik oleh eksekutif, maupun legislatif, kerap kali abai terhadap apa yang sesungguhnya diingini masyarakatnya. Ini bukan melulu persoalan kuantitatif tentang daftar pembangunan fisik, tetapi menyangkut aspek kualitatif tentang kian lunturnya komitmen kerakyatan atau pembangunan yang pro rakyat.

Kondisi sejahtera, hak atas pendidikan, akses kesehaatan dan yang lainnya, adalah sebuah jaminan sosial yang mengandaikan tanggung jawab negara di dalamnya. Karena itu, persoalan ini erat kaitannya dengan komitmen bernegara. Dalam hal ini, pemerintah, baik pusat maupun daerah wajib memenuhi cita-cita yang tercatat sebagai sebuah kontrak sosial tersebut. Untuk merealisasikannya, mau tidak mau, pemangku kekuasaan, eksekutif maupun legislatif harus mampu menyatukan persepsi, menyamapandangkan mimpi pembangunan itu dengan rakyatnya. Maka butuh keberanian dan tekad untuk mensekunderkan kepentingan individu dan kelompok, guna memprioritaskan kepentingan yang lebih primer: rakyat! Kedua, guna melipuri kepercayaan masyarakat yang kian merosot atas komitmen penyelenggara negara, reformasi birokrasi karenanya mutlak dilakukan.

Kabupaten Tegal dan Mimpi tentang Pertanian
BAHWA bumi Indonesia adalah surga dunia, tak banyak yang menampiknya. Bahkan batu dan kayu saja dilempar jadi tanaman, sindir Koes Plus. Inilah anugerah Tuhan atas tanah air, menjadikannya sebagai hamparan yang gemah ripah loh jinawi. Disebut demikian karena menegaskan pengakuan atas adanya aspek kodrati. Sebut saja, potensi gunung berapi di Indonesia, selain persoalan letusan vulkanik juga menggambarkan kesuburan tanahnya. Maka bersyukurlah warga Kabupaten Tegal, karena secara geografis beraada di hamparan kaki Gunung Slamet.

Tak hanya itu, karakter geografis wilayah kita pun unik, karena memuat kawasan tinggi (pegunungan) maupun dataran rendah dan bahkan pesisir pantai. Garis pantai kita bahkan mencapai sekitar 23 kilometer. Setiap kondisi geografis tersebut tentu memiliki karakter dan kelebihannya sendiri sendiri. Tetapi menurut hemat saya, semuanya bisa dipersatukan melalui sektor pertanian. Tulisan ini mencoba mengajak kita semua untuk merekonstruksi ulang orientasi pembangunan, agar kembali merujuk pada pertanian.

Tabel
Potensi Lahan di Kabupaten Tegal
No
Kategori Lahan
Luas (Ha)
I
LAHAN SAWAH


1. Berpengairan Teknis
  28. 428

2. Berpengairan ½ Teknis
    1. 705

3. Berpengairan sederhana
    2.570

4. Irigasi Desa/ Non PU
    1.220

5. Tadah Hujan

Total
   6.756

40.679
II
LAHAN KERING


1. Tegalan
10.670

2. Pekarangan
14.490

3. Hutan Negara
18.834

4. Tambak/ Empang
     324

5. Lain-lain (makam-lapangan)

Total
 2. 882

47.200

Total
87. 879
                                                                  Sumber: Dinas Tanbunhut Kabupaten Tegal
Menilik sejarah, Kabupaten Tegal sebagai bagian dari tlatah Jawa Dwipa, adalah karena daya dukung sektor pertanian, terutama tanaman pangan, semisal padi. Potensi lahan yang terhampar, baik di kawasan dataran tinggi maupun rendah pun lebih dari cukup untuk menjadi sumber mata pencaharian di sektor pertanian. Seperti tergambar dalam tabel di atas, luasan lahan yang ada, jika dioptimalkan pastilah mampu menjadi sumber pencaharian yang menghidupi sekitar 1,5 juta jiwa penduduknya.

Kita memiliki potensi alam dan SDM  masyarakatnya yang mumpuni. Tak hanya tanaman pangan, tetapi juga produk perkebunan di kawasan atas pernah menunjukkan kualitasnya di pasar nasional.

Dulu, di zaman Belanda Jawa Tengah terbilang sukses penjadi pioneer pengekspor kapuk, hingga dikenal istilah Java Kapook. Dan Kabupaten Tegal adalah daerah andalan untuk produksi jenis ini. Jatinegara yang kini sering dihantui krisis air bersih saat kemarau, dulu adalah pemasok kopi, dikenal dengan Kopi Jatinegara. Belum lagi kejayaan bawang putih Tuwel, Kecamatan Bojong, yang kualitasnya konon mengalahkan bawang bombay. Belum lagi produk agrobisnis sayur dan buah di kawasan Bojong dan Bumijawa yang telah dikenal luas itu.

Kabupaten Tegal juga memiliki potensi sumber daya air yang memadai. Asal dikelola secara benar, melalui tata guna air yang baik, niscaya lahan pertanian kita tak akan kekurangan air. Ini sebangun dengan konsep Ki Gede Sebayu, yang secara gotong royong membangun Bendung Danah Warih, guna mengoptimalkan tata guna air ke sawah-sawah di Kabupaten Tegal. Dia sadar betul, betapa vitalnya peran Kali Gung untuk sumber kehidupan.

Bapak saya termasuk perintis pembangunan Waduk Cacaban. Dia pun pernah menyampaikan, Kabupaten Tegal akan makmur kalau aliran sungai yang melimpah itu mampu terangkat ke sawah-sawah. Untuk kawasan timur, kita pun memiliki Kali Rambut. Artinya, daya dukung air kita cukup memadai.

Komitmen Politik
Setelah memahami betapa potensi sektor pertanian kita cukup prospektif untuk menghantarkan masyarakat Kabupaten Tegal pada kesejahteraan, maka segalanya kembali pada komitmen politik pemerintah daerah. Sebab bola kebijakan ada di tangan mereka, yang duduk di birokrasi maupun di gedung wakil rakyat. Lagi-lagi, untuk merealisasikannya kita membutuhkan simpul kesepahaman antar alit penguasa, agar satu persepsi, menjadikan sektor pertanian sebagai gerbong pembangunan yang diiimpikan rakyat semua.

Sungguh ironis, kalau sampai saat ini petani kita masih saja menghadapi permasalahan-permasalahan mendasar di sekitar pertanian, seperti kelangkaan dan mahalnya harga pupuk saat masa tanam, terjebak rentenir, mandulnya kiprah koperasi pertanian, hingga iklim usaha yang kapitalistik. Mesti berstatus negara agraris, produk pertanian kita melulu kalah bersaing dengan produk pertanian impor.

Keberpihakan kekuasaan menjadi sangat vital, oleh sebab merekalah yang menyusun dan mengemudikan laju dan arah pembangunan. Setidaknya, komitmen keberpihakan mereka harus mampu ditunjukkan dalam politik anggaran, yakni bagaimana anggaran daerah menjadikan pembangunan sektor pertanian sebagai prioritas. Lalu, dari mana keberpihakan itu dimulai?

Pertama, karena sebagian besar penduduk Kabupaten Tegal hidup dari pertanian, maka mau tak mau, alokasi anggaran untuk sektor ini harus mendapatkan prioritas yang memadai. Jangan sampai komitmen politik itu sekadar janji, slogan, seperti halnya Pertiwi, tetapi miskin daya dukung anggaran. Kedua, untuk menguatkan penggalian potensi pertanian di Kabupaten Tegal, pemerintah perlu menggandeng kalangan akademisi Perguruan Tinggi maupun lembaga ilmiah yang kompeten, guna mengidentifikasi dan memetakan potensi dan keunggulan pertanian daerah.

Kedua, secara teknis, pemerintah harus menjamin agar tata guna air bisa optimal. Selain memanfaatkan sumber daya air yang ada, Dinas Pekerjaan Umum pun perlu menggali kembali potensi sumber air lainnya. Sistem irigasi kita mesti diperbaiki, infrastruktur pengairan harus dibenahi. Untuk soal irigasi hingga drainase, kita harus mengakui bahwa Belanda lebih cakap membangunnya. Konon, sistem drainase mereka adalah yang terbaik di dunia. Maka tak dipungkiri pula, selain meninggalkan jalan dan rel, Belanda pun pernah membangun sistem irigasi dan drainase yang memadai, termasuk di Kabupaten Tegal.

Saya termasuk yang mula-mula mengusulkan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk kembali melacak titik-titik waduk lapangan (embung), termasuk di Kabupaten Tegal. Dulu Belanda banyak membangun infrastruktur ini, selain sebagai bagian dari sistem drainase saat musim hujan, waduk lapangan juga berfungsi menjadi sumber pengairan saat musim kemarau.

Ketiga, sebagai wujud komitmen atas nasib petani, pemerintah pun perlu memikirkan produksi pertanian paska panen. Artinya, pemerintah harus membuat sistem regulasi pemasaran dan distribusi agar menguntungkan petani. Bila perlu, pemerintah memutus mata rantai distribusi yang berkepenjangan, hingga petani dibuat rugi olehnya. Keempat, karena pertanian adalah sektor yang terbilang kompleks, karena melibatkan lintas dinas, seperti Tanbunhut (urusan benih), PU (pengairan), Perindag (pupuk dan distribusi hasil panen), maka perlu ada regulasi yang memadai guna menghasilkan kebijakan-kebijakan yang integrated, komperhensif. Kelima, perbankan kita pun harus dididik untuk lebih peduli atau berkomitmen dalam memberdayakan petani, sehingga mereka tak perlu terjebak pada lilitan utang para tengkulak.

Terakhir, semua impian itu menjadi mustahil terwujud seandainya tak didukung oleh sistem birokrasi yang compatible. Bukan rahasia, kalau kinerja birokrasi kita masih buruk, karena lunturnya kepedulian, komitmen untuk menyejahterakan rakyat juga ngambang, tererori oleh semangat memperjuangkan kepentingan pribadi. Karenanya, reformasi menjadi mutlak guna mengembalikan peran birokrat dari penguasa menjadi pelayan masyarakat.
Ini saatnya birokrasi dan politisi untuk cun in, agar satu persepsi dan mainset, guna melayani masyarakat. Mereka tak boleh lagi bermental konsumtif, tetapi justru dituntut berjiwa wirausaha. Kalau selama ini mereka doyan belanja, itu pub lantaran rapuhnya kontrol dari politisi. Maka mengembalikan mereka ke track nya, itulah sejatinya reinventing government.

Tak perlu ragu, karena banyak negara-negara besar yang maju dari sektor pertanian. Kedua, sektor pertanian pun bisa menjadi ikhtiar pemberdayaan masyarakat desa, agar mentas dari kemiskinan. Sebab faktanya, kemiskinan itu tersebar terutama di pedesaan. Maka memajukan pertanian adalah berbanding lurus deengan peningkatan derajat kesejahteraan masyarakat desa. Kebijakan ini juga menjadi antisipasi bagi tingginya angka urbanisasi penduduk desa ke kota-kota besar seperti Jakarta. Kalau selama ini banyak pemuda desa yang memilih mengadu nasib ke Jakarta, tak lain adalah karena sektor pertanian dianggap tak lagi menjanjikan kesejahteraan.

Maka mengembalikan pertanian sebagai sektor andalan, adalah sebuah ikhtiar untuk mengatasi semua itu, menuju pintu gerbang kesejahteraan. Kalau masyarakat desa sudah sejahtera, otomatis akan mendongkrak minat pada pendidikan, sehingga kelak mereka kan memanen SDM-SDM yang berkualitas, yang berjuang untuk memajukan desanya. Inilah mimpi saya, mimpi seorang Marsinggih, untuk tlatah Kabupaten Tegal tercinta.***




H MOCH MARSINGGIH MD

Pria yang lahir di Tegal, 7 Juli 1943 ini, enggan disebut teoritisi. Ia justru lebih senang menyebut dirinya praktisi. Tentu bukan tanpa alasan ia menyebut dirinya demikian. Meski secara akademik hanya berstatus jebolan Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang, Marsinggih memiliki setumpuk pengalaman di dunia organisasi, dan terutama politik praktis, ruang yang pernah melambungkan namanya. Ia mengasah kemampuan berpolitiknya di Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Memulai karir politiknya sebagai pimpinan Komisi di DPRD Tingkat II (1971-1977), lalu meningkat DPRD Tingkat I Provinsi Jawa Tengah (1977-1982), dan akhirnya melenggang ke senayan sebagai anggota DPR RI (1992-1997).

Selama kiprahnya, ia seolah ditakdirkan menjadi pelopor. Marsinggih adalah penginterupsi pertama di sejarah legislatif Indonesia, yakni saat menjadi wakil rakyat di DPRD Jateng. Dia pun termasuk dalam jajaran pendiri PDI (1973), juga pendiri Kamar Dagang Indonesia (KADIN), Asosialiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan ikut mendirikan sejumlah LSM di Jakarta. Akbar Tandjung pernah menjulukinya sebagai pemikir yang orisinil. Kini, setelah usianya tak lagi muda, ketika ia memilih kembali ke kota asalnya, Slawi, ia pun masih tak hentinya menjadi pelopor, yakni dengan mendirikan Simphoni Kebangsaan yang prihatin sekaligus peduli terhadap dinamika keIndonesiaa. Di dalamnya berkumpul anak-anak gerakan lintas organisasi. Dan di sinilah Marsinggih menebarkan virus kepedulian dan komitmen kebangsaan, di tengah kian merapuhnya rasa nasionalisme.
 

0 Komentar untuk " Mengembalikan Politik ke Sawah "
Back To Top